"Oh..." desah Zaki. Lalu menatap layar komputernya nanar. Dan tentu, itu membuat Yusuf tambah heran,
"Kenapa, Ki?" tanya Yusuf. "Khawatir Khilmy memberi pengaruh negatif ke Hanin, ya?"
"Apa? Ndak..." kata Zaki tanpa sadar. "Maksudku, ya... sedikit," tambahnya segera. "Memang sedekat apa mereka berdua?"
Yusuf melihat Zaki yang tampak lebih stress daripada sebelumnya. Entah kenapa. Tapi yang pasti, itu membuatnya terkekeh geli daripada prihatin. "Tenang saja, Ki..." katanya. "Khilmy itu baik kok. Jadi insyaallah... Hanin ndak masalah berteman dengannya, hm?"
"Begitu," gumam Zaki.
"Yah... seendaknya begitu yang saya tahu," kata Yusuf. "Kan Khilmy tipe yang suka sekali dengan anak-anak. Jadi dia bisa ngimbangin lah... kalau ngomong sama Hanin."
"Sebegitunya kamu."
Yusuf mengendikkan bahu. "Buktinya tahun ini dia diangkat jadi ustadz sifir juga, kan?"
"Benar juga..." desah Zaki. Kali ini dia memijit pelipis dengan jemari. Pertanda pikirannya tak berkurang samasekali.
"Kenapa lagi, Ki?" tanya Yusuf penasaran.
"Ah, ndak..." kata Zaki. "Aku Cuma kaget, Suf. Soalnya Hanin kan ndak punya teman 3 tahun ini. Sampai-sampai Bude Luluk selalu nanyain perkembangannya sama aku."
"Oh, ya?"
"He-em. Mulai dari pola makan, jatah mandi, kesehatan, keseharian, mau belajar atau ndak, siapa saja temannya, baik atau ndak mereka ke dia, dan bahkan... kalau ndak bisa sambang, beliau tetap nelpon-nelpon kesini buat nanyain itu..."
Seketika Yusuf pun tertawa lepas. "Hahaha... ada-ada saja kamu, Ki... Ki..." katanya. "Masak sampai sebegitunya, sih?"
"Kalau ndak percaya... lihat saja nanti pas sambangan berikutnya," kata Zaki. "Cerrrrrrewetnya minta ampun Bude Luluk itu!" serunya kesal.
"Hahaha... parah sekali," tawa Yusuf. Dia sampai tak kuat melanjutkan ketak-ketiknya di mouse. Padahal tinggal mematikan komputer itu lewat satu klik saja. dan begitulah dia kalau memang sudah terlanjur senang.
"Kamu tahu kan... Hanin itu seperti apa," kata Zaki. "Dia itu ndak dewasa sekali, Suf. Masih kebingungan dalam hal apapun dan membingungkan siapapun. Makanya, Bude Luluk sampai nyuruh aku ngawasin dia."
"Oke-oke... saya ngerti sekarang," Kata Yusuf. Yang tengah berusaha meredakan tawanya sendiri.
"Jadi, kalau ada apa-apa sama Hanin lagi, langsung bilang ke aku, ya?" pinta Zaki. "Biar ndak teledor lah... minimal."
"Tentu, Ki," kata Yusuf. "Kalau soal begituan saya siap-siap saja kok."
"Untung kamu bilang Khilmy baik," kata Zaki. "Coba kalau ndak pasti langsung kutegur Hanin nanti."
Yusuf pun takjub mendengarnya. "Uwwaaaahhh.... semangat sekali, Ki?" godanya gemas.
"Hah? Maksud kamu?"
"Yahhh... kamu kan anak tunggal kesayangan, Ki," celutuk Yusuf. "Tapi sejak Hanin ikutan nyantri, kulihat-lihat perubahanmu jadi semakin jelas sekali..."
Raut wajah zaki langsung diliputi kebingungan. "Tunggu-tunggu-tunggu... perubahan?"
"Ada lah," seloroh Yusuf. "Buktinya lagakmu jadi seperti kakak ribet yang kelewat sayang sama adiknya—"
"Apa? Masak aku sebegitunya..."
"Hahaha... beneran, Ki..." tawa Yusuf lagi. "Ndak sadar, ya... baru ngelarang-larang orang, tapi kamu sendiri malah manjain dia sampai begitu. Dasar..."
"Ah, kamu itu..." desah Zaki. Padahal kentara sekali dia berusaha tak memikirkannya sedikit pun. "Bisa saja, Suf... Suf..."
Sementara Yusuf tetap tertawa sepuas hati saat itu.
***