Kiai Nasiruddin pun menghela nafas panjang. "Njenengan lak mboten kepengen putrone niru lelakonmu, to?" tanyanya balik.
"Tentu saja, Yai," kata Gaman cepat. "Sudah cukup saya yang begini. Jangan sampai ada Gaman Patih kedua atau ketiga lagi mulai sekarang."
"Bagus itu..." puji Kiai Nasiruddin. "Sekarang boleh saya memberi beberapa saran kepada njenengan?"
"Saran, Yai?" tanya Gaman.
"Iya. Memang hanya beberapa, tapi sangat baik bila dilakukan betul," kata Kiai Nasiruddin.
"Memang apa saja, Yai?" tanya Gaman lagi.
Kiai Nasiruddin memandang perawakan Geni sekilas. "Sebelum itu, boleh saya tahu kenapa njenengan menamainya Geni Langit?"
Gaman tampak berpikir. Bola matanya tampak bergulir ke samping sepersekian detik sebelum mengerjap. "Oh, itu..." desahnya pelan. "Saya hanya berharap dia mampu bertahan hidup saja, Yai," katanya. "Mungkin seperti api yang membakari siapapun yang menjadi musuhnya suatu hari."
Mendengarnya, Kiai Nasiruddin pun terkekeh. "Begitu rupanya..." katanya senang. "Bagus sekali. Setidaknya saya tahu... njenengan ternyata paham bahwa nama sebagian dari doa."
Gaman tersenyum kecut. "Tidak sebagus itu, Yai," katanya pelan. "Nyatanya anak ini malah sering berkelahi sampai sekarang. Padahal sudah saya suruh berhenti sejak masuk kesini. Benar-benar..."
"Nah, kalau begitu... boleh saya memanggilnya Ghoniy, Pak?" tanya Kiai Nasiruddin.
"Maaf—Ghoniy, Yai?" tanya Gaman balik. Sebab nama-nama Arab sangat asing dalam keluarganya. Dan itu sudah berlaku sejak leluhur-leluhur terdahulu.
"Iya. Abdul Ghoniy," tegas Kiai Nasiruddin dengan senyum meyakinkan. "Dan maknanya adalah hamba yang kaya. Bagaimana?"
"Ah, itu..."
"Syukur-syukur nanti dia bisa jadi pria hebat yang hidup kaya, 'kan?" tukas Kiai Nasiruddin. "Apalagi kalau dia potong rambut lebih rapi. Lihat, Pak. Pasti bagus sekali anak ini, hm?"
Gaman justru diam.
"Tapi kalau njenengan ndak berkenan ya ndak papa..." kata Kiai Nasiruddin segera. "Saya ini Cuma mencoba membentuk pendapat orang lain tentang dia. Mumpung sudah mulai nyantri dan belajar agama... paling ndak biar tak disebut berandalan lagi nantinya."
"Begitu, ya..." kata Gaman. Lalu melirik Geni yang tak jadi menatapnya diam-diam.
Kiai Nasiruddin tahu Gaman itu seperti apa. Dia keras, kasar, tempramental, kolot, aristokrat, dan selalu memiliki pemikiran sendiri yang absolut. Namun dia yakin Gaman hari ini telah berubah, meski sedikit. Karena itu, dia pun mencoba meyakinkannya sekali lagi.
"Pak, njenengan pernah dengar cerita tentang Syaikh Harist ndak?" tanya Kiai Nasiruddin.
"Syaikh Harist, Yai?" tanya Gaman.
Kiai Nasiruddin pun mengangguk. "Iya. Syaikh Harist bin Luqman Hakim dari kota Madinah."
"Belum, Yai," jawab Gaman jujur.
"Beliau adalah guru besar dalam seni membaca Al-Qur'an, Pak," terang Kiai Nasiruddin. "Dan apa njenengan tahu? Sekarang pun beliau ini masih menjadi panutan di seluruh Khurasan, Irak."
Gaman tampak bingung. "Jujur saya tidak terlalu paham, tapi... kedengarannya hebat sekali, Yai."
"Lho... memang iya," tukas Kiai Nasiruddin. "Dan apa njenengan tahu seperti apa si Luqman Hakim ini?"
"Tidak..." gumam Gaman. "Tentu saja tidak, Yai."
Kiai Nasiruddin pun terkekeh lagi. "Luqman Hakim ini hanyalah penjual susu, Pak," katanya. "Yang seumur hidup ndak pernah mengenyam pendidikan apapun tapi punya satu kelebihan istimewa."
"Satu kelebihan istimewa, Yai?" tanya Gaman memastikan.
"Iya. Cukup satu kelebihan saja," tegas Kiai Nasiruddin. "Dan itu adalah siafat patuhnya yang tiada banding..." katanya senang. "Jadi, sewaktu Syaikh Umar Al-Jalal mengarahkan puteranya untuk beliau didik, dia pun setuju mengikuti."
Bibir Gaman pun membentuk segaris tipis. Sebab dia cukup paham maksud Kiai Nasiruddin barusan. Itu membuatnya tak berkomentar, lalu justru menjadikan Geni sebagai sasaran. "Kamu sendiri bagiamana, Gen?" tanyanya dengan nada tinggi. "Mau nyantri bener-bener atau tidak, hah?"
Geni mengangguk. "Nggih, Bapak." Jawabnya tanpa mengangkat wajah.
"Jawabanmu begitu tapi kenapa lagi awakmu?" tanya Gaman lagi. "Nakal kok diterus-terusin..."
Kiai Nasiruddin pun menoleh ke Geni langsung. "Oh, iya..." gumamnya. "Soal ini bisa jelaskan pada kami, Cong? Ada apa tadi kok sampai begini, hm?"
Geni mengusap tengkuknya tanpa sadar. "Anu, ini..."