Evan mengendarai motornya melalui jalanan sempit di tengah-tengah area persawahan dan kebun, sampai akhirnya Evan sampai di sebuah rumah sederhana yang dihiasi damainya suasana pedesaan. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan latarnya dipenuhi pepohonan rindang, diselingi suara ayam berkokok dan kambing milik tetangga sebelah.
"Assalaamu'alaikum!" teriak Evan sambil mengetuk pintu.
Cukup lama tidak ada jawaban, sampai Evan mengulang salamnya tiga kali, barulah pintu itu terbuka.
"Wa'alaikumussalaam…"
Sesosok laki-laki berusia limapuluhan muncul dari balik pintu. Hanya mengenakan kaos partai dan celana pendek. Rambutnya sebagian sudah mulai memutih.
"Lho, Evan? Wah… Ayo masuk, masuk! Kok ngga kabar-kabar dulu?" ajak laki-laki itu.
"Iya pakdhe, HP Evan kebetulan sedang rusak." Jawab Evan sambil mencium tangan Pakde Maman.
Evan masuk ke rumah itu dengan aura yang berbeda. Tidak ada lagi beban kerja, dikejar deadline artikel, hutang, dan yang terpenting, bayangan Zahra sedikit terlupakan. Meski pasti akan hadir lagi.
Evan kemudian duduk di kursi kayu, persis di samping Pakde Maman.
"Gimana kabarmu? Sehat?"
"Alhamdulillah, Pakde. Pakde sendiri gimana?"
"Yah, seperti yang kamu lihat. Masih sama seperti dulu kan?"
"Iya sih, pakde ini termasuk awet muda lho. Dari jaman Evan masih kecil sampai sekarang, wajahnya masih gitu-gitu aja."
"Cuma bedanya sekarang udah mulai putih ini rambut pakde," kata Pakde Maman sambil tertawa.
Obrolan basa-basi itu berakhir saat Evan mengutarakan niatnya untuk tinggal sementara disitu. Evan juga bercerita tentang kisah sedihnya dengan Zahra.
"Pakde kan dari dulu sudah sering menawaran Evan tinggal disini, karena bapak ibumu sudah tidak ada, kakak adik juga kamu ngga punya. Mending disini nemenin pakde kan? Tapi ya maaf, rumahnya begini kondisinya."
"Iya, kemarin kan Evan masih punya kewajiban di tempat kerja soalnya," jawab Evan mantap.
"Oya, terus disini kamu mau kerja apa?"
"Kalau Evan bantu-bantu pakde saja di sawah bagaimana?"
"Boleh-boleh saja, tapi apa kamu bisa heh?" tanya Pakde Maman.
"Ya nanti belajar dulu awal-awalnya. Lama-lama juga pasti bisa," jawab Evan mantap.
"Oh, atau kamu coba melamar kerja di Toko Barokah saja, di deket perempatan sana"
"Toko apa itu pakde?"
"Toko macem-macem, ada sembako, snack, alat tulis, pulsa juga ada. Kemarin pemiliknya ketemu sama pakde di masjid, terus dia bilang kalau lagi butuh karyawan laki-laki. Kebetulan yang punya toko itu temennya pakde," terang Pakde Maman.
"Oh gitu. Ya coba deh nanti Evan kesana."
Setelah berbincang hampir satu jam, Pakde Maman berangkat ke sawah. Sementara Evan mencoba berjalan menyusuri jalanan pedesaan. Kemudian mampir ke warung untuk makan siang. Disitu ia berkenalan dengan banyak warga setempat.
Hari demi hari Evan lalui dengan tenang di rumah Pakde Maman. Ia juga langsung diterima kerja di Toko Barokah. Ia bekerja mulai pagi pukul 08.00 WIB hingga sore pukul 16.00 WIB. Toko Barokah itu ada tiga orang, empat jika ditambah dengan Evan. Toko itu selalu disambangi pembeli dan memang terkenal ramai setiap harinya. Dengan sibuknya melayani pelanggan, pelan-pelan Evan mulai bisa melupakan kenangan buruknya tentang Zahra.
Waktu yang berat adalah saat malam hari menjelang tidur. Bayang-bayang Zahra selalu hadir tanpa diminta di dinding kamar dimana Evan ingin beristirahat. Dinding kayu itu selalu berubah menjadi video rekaman masa-masa indah maupun kelam yang sudah dilalui Evan bersama Zahra.