Hari ini Evan berniat pulang lebih awal untuk istirahat di kosnya. Ia sudah menutup laptopnya sejak tadi dan bergegas berjalan langsung keluar ruangan. Jam dinding di kantornya sudah menunjuk pukul 14.10. Di kejauhan ia juga melihat Dewi sudah absen finger print sebagai tanda pulang kantor.
"Hei, Evan! Aku duluan ya!" sapa Dewi ramah.
"Tumben jam segini udah pulang?"
"Iya, ada janji sama bapakku. Kamu juga tumben udah mau pulang?"
"Ngantukk!" jawab Evan sekenanya sambil tertawa.
"Hahaha, iya mata kamu udah bengkak tuh. Ya udah ya, Van... Bye!"
Dewi melanjutkan langkahnya menuju parkiran motor. Sementara Evan harus absen finger print dulu sebelum menuju motornya. Setelah itu ia pulang ke kos, dan langsung menyerahkan badannya ke kasur lesehan di kamarnya. Ia tertidur pulas sekali.
Jam 17.05 Evan terbangun karena suara petir yang menyambar. Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Ia kemudian mengecek smartphone, hal yang sebenarnya ia hindari mengingat ia takut akan mendapat kabar tentang Zahra yang membuatnya kembali overthinking.
Benar saja, ia melihat Zahra menulis pesan di status WA :
Terima kasih yah, semoga kita bisa bertemu lagi
Sudah pasti Evan geram dengan status WA Zahra yang jelas-jelas tidak ditujukan untuk dirinya itu. Ia kemudian mencoba menelepon Zahra dan mengajaknya untuk bertemu.
"Halo? Ada apa, Van?"
"Heh, kok begitu tanyanya? Kan biasanya juga aku telepon kamu tiap hari"
"Iya, ngga usah marah-marah begitu dong. Tinggal jawab aja, ada apa telepon? Kan gampang"
"Oke, aku mau tanya. Kamu serius buat status WA kaya gitu?"
Zahra tak bersuara. Evan menebak Zahra sedang bingung mencari alasan.
"Hei, Zahra… Jawab!" kata Evan dengan nada agak tinggi.
"I-iya, aku emang nulis status itu"
"Ya terus maksudmu apa? Siapa yang kamu maksud hah? Nggak mungkin aku kan?"
"Oh, eh… Yaa… Kamu kok, siapa lagi?" jawab Zahra terbata-bata.
"Jangan bohong. Ngga mungkin kamu nulis itu buat aku. Lagian kita juga tiap hari ketemu."
Zahra membisu lagi.
"Oke, sudah cukup. Aku mau nanti malam kita ketemuan. Di kafe biasa. Jam delapan. Kalau hujan, nanti aku jemput…"
"Jemput pake apa?"
Evan kini yang bingung harus menjawab, sebab ia hanya punya motor.
"Ya, maksudnya aku ke rumahmu pakai motor. Kita ketemuan di rumahmu aja."
"Ngga usah. Kita ketemu di kafe aja, kalau hujan nanti aku berangkat pakai taksi online"
Evan agak malu mendengarnya, namun demi tuntasnya masalah ini, ia menuruti kata Zahra.
Hujan nyatanya masih terus awet turun hingga menjelang pukul delapan malam. Evan mencoba menelepon Zahra namun tidak aktif. Dia mulai merasa ada yang janggal, tidak biasanya Zahra sulit dihubungi begini. Hatinya yang semula sudah bisa menjauh dari overthinking, kembali dihinggapi rasa itu.
Evan kemudian memutuskan berangkat menggunakan motor, menerobos hujan. Sepanjang perjalanan, ia terus menebak-nebak, apa yang terjadi dengan Zahra? Sudah tidak cintakah Zahra dengan dirinya? Apakah laki-laki misterius itu yang akan menggantikan posisinya di hati Zahra? Tiba-tiba lirik lagu Westlife yang berjudul Fool Again terngiang di benak Evan.
Sesampainya di parkiran kafe, hujan sudah reda. Kafe juga nampak lebih ramai dari biasanya. Evan lantas berjalan menyusuri jembatan kecil yang dibuat oleh pihak kafe untuk memperindah latar mereka. Kafe itu memang dikelilingi oleh sungai kecil, arusnya tak terlalu deras. Pemandangan sungai kecil itu yang membuat kafe itu istimewa dan disukai Evan dan Zahra selama ini.
Saat berjalan, Evan mencoba menoleh ke arah meja langganan mereka dari kejauhan, mengecek apakah Zahra sudah sampai disitu. Seharusnya sudah, seperti biasanya.
Dan ternyata benar, Zahra sudah duduk disitu.
Tapi tunggu, dia duduk dengan seorang laki-laki. Berjaket hitam, menggunakan masker, dan anehnya lagi ia menggunakan kacamata hitam pula. Cukup aneh mengingat sekarang sudah malam hari. Nampak jelas laki-laki itu seperti ingin menyamar supaya tidak dikenali oleh orang lain.
Jantung Evan berdegup kencang. Wajahnya merah memendam amarah yang muncul tiba-tiba. Merasa kekhawatirannya tentang perselingkuhan Zahra dengan laki-laki lain terbukti, ia reflek mempercepat langkahnya menuju kursi itu.
Laki-laki yang duduk bersama Zahra ternyata menyadari kehadiran Evan. Ia kemudian mengajak Zahra untuk pergi dari kursi itu, dan anehnya Zahra mau dengan senang hati ikut laki-laki itu.
"Hei! Zahra!! Tunggu!" teriak Evan yang melihat Zahra dan laki-laki itu lari hendak kabur dari kafe melalui pintu belakang.
Para pengunjung kafe semua menoleh ke sumber suara. Entah paham dengan situasi dramatis yang terjadi atau memang kebetulan, hujan turun lagi dengan tiba-tiba. Dalam hujaman air hujan itu, Evan berlari sekuat tenaga menyusul Zahra. Sementara laki-laki itu menggandeng Zahra kuat-kuat dalam larinya.
Evan ternyata berhasil menyusul. Ditariknya Zahra hingga terlepas dari genggaman laki-laki itu. Evan yang sudah memuncak emosinya karena terbakar api cemburu, langsung menghajar laki-laki itu hingga tersungkur.
BUGG!!!
Anehnya, Zahra justru ingin menolong laki-laki itu. Evan yang melihat adegan itu benar-benar merasa hancur, bisa-bisanya Zahra justru berpihak kepada laki-laki asing itu daripada dia, calon suaminya.
"Zahra? Ngapain kamu?" tanya Evan yang masih heran dengan yang diperbuat calon istrinya itu.
Namun laki-laki itu memberi isyarat kepada Zahra untuk segera lari saja pergi dari kafe itu. Lagi-lagi, Zahra menurut. Ia berlari menjauhi Evan, tanpa sedikitpun menoleh ke arahnya.
"Zahra! Kemana kamu?" teriak Evan.
Evan lantas bergerak untuk menyusul Zahra. Namun ternyata laki-laki itu sudah bangkit, dan tanpa dinyana, laki-laki itu mendorong Evan hingga terjatuh ke arah sungai kecil di pinggir kafe tadi.
Semua pengunjung kafe berteriak histeris. Beruntung, Evan sempat berpegangan pada pergelangan tangan laki-laki itu. Kebetulan laki-laki itu mengenakan arloji sehingga bisa Evan gunakan sebagai pegangan sementara.
Beberapa pengunjung mulai berdatangan akan menolong Evan. Namun laki-laki itu dengan dingin melepas arlojinya supaya Evan terjatuh ke sungai. Evan terperosok ke arah sungai dengan menggenggam arloji laki-laki itu. Sementara laki-laki berjaket hitam itu berlari menjauh dari kafe. Sempat dikejar oleh karyawan kafe, namun tak terkejar. Sementara Evan yang tercebur ke sungai, ditolong oleh beberapa pengunjung dan security kafe.
Evan yang sudah basah kuyup itu dipapah menuju kafe, dan langsung berusaha mencari kemana Zahra meski dengan terpincang-pincang. Namun usahanya sia-sia. Ia sudah mencari ke setiap sudut lokasi, namun tetap tak menemukan Zahra ataupun laki-laki itu.
Hal terbesar yang menjadi kekhawatirannya terbukti dan terjadi tepat di depan matanya : Zahra mencintai orang lain.