下載應用程式
45% First of April / Chapter 9: Bab Sembilan

章節 9: Bab Sembilan

"Mandy, cepat turun! Aku dan Hyeong sudah menunggu selama hampir satu jam! Kalau kau belum juga muncul dalam lima menit, kupastikan kau tidur di jalan malam ini." Samuel menutup telepon dan mendengus dengan kasar. Ia menyalakan CD player dan membiarkan musik dari radio melantun memenuhi mobil.

Ji Hwan melayangkan pandangannya ke arah jalan trotoar di luar jendela. Kedua matanya menangkap pejalan kaki yang berlalu-lalang namun isi pikirannya memikirkan pria tua berambut putih yang akan ditemuinya sebentar lagi.

Won Sang Min. Sudah 29 tahun Ji Hwan mengenal pria itu sebagai pamannya namun baru 4 tahun terakhir ia menyadari kalau orang itu jauh lebih baik dari ayahnya sendiri. Bagaimana tidak? Pria itu melakukan hal-hal yang hampir tidak pernah dilakukan oleh ayahnya. Pria itu selalu mengunjunginya saat ia merintis karir, selalu mendukung keputusannya dan selalu memastikan bahwa segala hal akan baik-baik saja.

Terkadang kebaikan hati pria itu membuatnya berharap kalau-kalau ia bisa menukar ayahnya dengan orang lain. Ia akan memilih Won Sang Min sebagai ayah kandungnya.

Sudah satu tahun berlalu sejak Paman Won mengunjungi keluarganya di Kyoto dan Ji Hwan sudah tidak sabar bertemu kembali dengannya.

"Hei, guys!"

Sebuah suara gadis yang terdengar seperti kucing tercekik tiba-tiba muncul di kursi belakang mobil diiringi dengan suara pintu mobil yang tertutup. Ji Hwan menoleh ke arah sumber suara tersebut lalu memutar bola matanya. Ia menyikut Samuel sedetik setelahnya, "Lihat adikmu itu."

Samuel memutar badan dan meletakkan sikutnya di atas bahu jok mobil. Reaksi Samuel saat melihat Mandy Han tidak jauh berbeda dengan Ji Hwan. Ia sama-sama tidak habis pikir.

"Mandy... apa-apaan?" Samuel memijat pelipisnya sambil memejamkan mata.

"Apa? Ada apa?"

Ji Hwan setengah mendesah dan tertawa mendengar jawaban Mandy.

"Kau mengenakan gaun hitam robek-robek... matamu kau buat seperti vampir... rambutmu pirang... dan kau menggunakan kontak lens," jelas Samuel perlahan-lahan, mencoba menahan kekesalannya yang sudah menyentuh ubun-ubun.

Mandy bersandar pada jok mobil dan melipat kedua tangannya. "Memangnya kenapa?"

"Kau menggunakan kontak lens, Mandy. Dan warnanya merah! Kau ini gila atau apa? Kita hanya akan bertemu paman, makan malam lalu kembali pulang dan kau membuat dirimu terlihat seperti vampir? Kau mau mempermalukan kami?!" Samuel akhirnya berteriak.

"Aku harus menghadiri pesta temanku di Hongdae nanti dan mereka bilang temanya gothic* jadi aku berdandan seperti ini. Kenapa ini jadi masalahmu?"

"Astaga."

Samuel mengibaskan sebelah tangannya lalu mulai menjalankan mobil.

Mereka tiba di restoran Korea yang terletak di kawasan Namdaemun itu saat waktu menunjukkan pukul 4 sore. Saat mereka memasuki gedung bertingkat dua itu, beberapa pengunjung yang sedang bercengkerama menoleh ke arah pintu masuk. Lebih tepatnya ke arah Mandy yang terlihat seperti preman harajuku tidak tahu malu.

Mereka berjalan menuju lantai dua dan langsung memasuki ruang VIP tempat paman mereka sudah menunggu. Saat Ji Hwan menggeser pintu kayu ruangan itu dan melongok ke dalam, orang pertama yang dilihatnya bukanlah pamannya yang beruban, tapi seorang wanita. Wanita berambut cokelat keemasan dengan mata yang lebar, sangat lebar sampai Ji Hwan bisa mengetahui dengan mudah kalau wanita itu orang Jepang.

Won Sang Min menengadah saat mendengar suara pintu yang bergeser.

"Ah... anak-anakku," sapa Won Sang Min dengan suara parau. Sejak anak dan isterinya meninggal dunia beberapa tahun lalu, ia selalu senang menyebut keponakannya dengan sebutan 'anak-anakku'. Dan kegirangannya itu terpancar di wajahnya sampai saat ini. "Masuk, masuk."

Ji Hwan, Mandy dan Samuel berjalan bersamaan memasuki ruangan bercat cokelat muda itu lalu duduk berlutut di atas bantalan putih yang mengelilingi meja pendek di tengah ruangan. Tidak ada tempat duduk atau meja tinggi di sini. Itulah yang paling disukai Ji Hwan dari restoran ini. Kesan tradisionalnya.

"Amanda, penampilanmu terlihat luar biasa. Kau ada pesta malam ini?" tanya Won Sang Min dalam bahasa Inggris pada Mandy yang duduk di seberangnya.

"Paman, panggil aku Mandy. Ya, aku ada pesta malam ini dan ya, aku merindukanmu," Mandy menaikkan nada suaranya pada kata-kata terakhir.

"Aku juga merindukanmu. Aku merindukan kalian semua. Sebelum kita mulai makan, perkenalkan...," Won Sang Min mengulurkan sebelah tangannya ke arah wanita muda di sampingnya, "...ini Jini Yuhara, putri dari sahabat baikku di Jepang."

Ji Hwan, Samuel dan Mandy membungkuk memberi salam bersama-sama.

"Yang mengenakan topi di sana bernama Joo Ji Hwan, di sebelahnya adalah Samuel Han dan gadis paling cantik di antara mereka... panggil dia Mandy," jelas Won Sang Min dalam bahasa Korea.

Ji Hwan dan yang lainnya memikirkan hal yang sama saat mendengar pamannya mengucapkan kalimat bahasa Korea. Wanita itu bisa bahasa Korea?

"Senang bertemu kalian. Aku Jini Yuhara." Jini mengucapkan salam bahasa Korea dan membungkukkan badan.

"Wah, paman, dia bisa bahasa Korea?" Mandy mengacungkan jari telunjuk ke arah Jini Yuhara.

"Ya. Dia bisa bahasa Korea sejak kecil karena dia pernah tinggal selama sepuluh tahun di Jeju." Won Sang Min menjelaskan dalam bahasa Inggris pada Mandy yang tidak mengerti bahasa Korea.

"Mandy, kau benar-benar harus belajar bahasa Korea. Kau memang besar di Sydney, tapi bukan berarti kau bisa melupakan bahasa tempat kelahiranmu begitu saja. Dia saja bisa. Kau tidak malu? Pokoknya kau benar-benar harus belajar, kau mengerti?" Samuel berbisik pada Mandy dengan kepala dimiringkan.

"I tried to learn, remember?!" Mandy balas berbisik.

"Samuel," Won Sang Min menegaskan suaranya. Suara tegas yang sekilas terdengar menyeramkan itu membuat Samuel dan Mandy mendelik. Termasuk Ji Hwan.

"Kedatangan Jini ada hubungannya denganmu," sambung Won Sang Min dengan pandangan yang tidak lepas dari Samuel.

***

"Baru kali ini aku sangat senang bertemu dengan paman," celetuk Samuel setelah menurunkan Mandy di salah satu klub pinggir jalan di Hongdae.

Ji Hwan menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak percaya kalau wanita itu ternyata akan dijodohkan denganmu."

"Aku benar-benar beruntung, Hyeong. Maksudku, lihat saja wanita itu. Tubuh seksi, betis sempurna, mata lebar... dang! Aku belum pernah bertemu wanita secantik itu sebelumnya. Paman benar-benar baik. Kenapa dia mengenalkannya padaku dan bukan padamu, ya?"

Jelas saja. "Karena paman tahu aku tidak suka wanita Jepang."

"Oh, ya? Lantas wanita seperti apa yang kau suka?"

Ji Hwan terdiam sesaat dan melemparkan tatapannya ke luar jendela. "Wanita yang memiliki senyum yang indah. Aku suka wanita yang seperti itu."

***

"Apakah tidak ada pilihan tanggal lain? Aku masih harus bekerja pada tanggal itu."

"Tidak ada. Lebih cepat lebih baik. Jika Anda ingin mengulurnya lebih lama, tanggal yang tepat hanya jatuh di akhir bulan Maret atau awal bulan April. Jika diundur lebih lama lagi, saya tidak bisa menjamin kondisi Anda akan sebaik hari ini. Karena untuk melakukan operasi ginjal, kondisi tubuh Anda harus dalam keadaan baik. Jika Anda benar-benar ingin mengulur tanggal operasi yang ditentukan, mohon pastikan tubuh Anda dalam keadaan sehat pada hari H."

"Kalau begitu, mohon undur sampai awal bulan April."

Percakapan itu terus memenuhi pikirannya sejak sepuluh menit yang lalu.

Na Yeon memperhatikan layar telepon genggamnya yang mati. Ia harus memberitahu Ji Hwan mengenai hal ini. Jadwal operasi tranplantasi ginjal Jeong Mi hanya bisa diundur paling lama sampai bulan April. Dengan kata lain, ia tidak bisa ikut Ji Hwan dan tim yang lain sebagai penerjemah di Taiwan nanti. Dan mereka akan membutuhkan penerjemah pengganti.

Astaga. Ia sudah berusaha keras membujuk Dokter Min untuk mengundur tanggal operasi sampai pertengahan bulan April -atau setidaknya beberapa hari setelah acara peluncuran album Ji Hwan di Taiwan- tapi tidak berhasil. Tanggal paling lambat yang berhasil disepakatinya dengan Dokter Min adalah tanggal 1 April -tanggal ulang tahunnya dan hari peluncuran album Ji Hwan di Taiwan.

Ia harus segera memberitahu Ji Hwan mengenai hal ini tapi anehnya, jarinya tidak mau bergerak. Berat sekali baginya untuk menekan tombol telepon berwarna hijau pada nomor Ji Hwan. Mungkin lebih baik ia menghubungi Samuel saja.

Setelah beberapa detik ia membulatkan tekadnya, ia menelepon Samuel. Beberapa deringan berlalu sebelum terdengar jawaban. "Halo? Na Yeon-ssi?"

Na Yeon menelan ludah sejenak sebelum menjawab, "Hai, Samuel. Bisakah aku meminta waktumu sebentar siang ini? Aku ingin membicarakan sesuatu mengenai pekerjaanku."

"Pekerjaanmu? Ada apa? Kau tidak nyaman? Apa sikap Hyeong mengganggumu?"

"Tidak," Na Yeon menggeleng, "Tidak ada hubungannya dengan Ji Hwan. Aku hanya ingin memberitahu beberapa hal. Beberapa hal penting."

"Oh, okay. Baiklah. Kau bisa bertemu di Cheongdam?"

"Tentu. Aku segera ke sana sekarang. Terima kasih, sampai jumpa."

Na Yeon menutup telepon dan menatap layar ponselnya dengan helaan napas. Semoga saja Samuel bisa mengerti keadaannya nanti.

Na Yeon bangkit berdiri dari bangku tunggu di depan ruang rawat Jeong Mi. Ia hendak berjalan menuju lift di ujung koridor saat matanya tiba-tiba menangkap sesuatu. Perhatiannya tertarik pada ibu-ibu yang sedang duduk dengan putranya di bangku tunggu di seberangnya. Alisnya berkerut. Bukan pada ibu-ibu paruh baya itu, tapi pada majalah yang sedang dibacanya. Lebih tepatnya sampul majalah itu.

Na Yeon menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Ia sudah mengerjap dua kali dan ternyata ia tidak salah lihat.

Di sampul majalah itu, terdapat tulisan 'Joo Ji Hwan dan kekasihnya?' dengan ukuran besar. Di belakang tulisan itu, terlihat foto Ji Hwan dan seorang wanita berambut pirang -sedang berjalan keluar dari pintu restoran- memenuhi halaman. Foto itu sangat besar. Besar dan jelas sampai-sampai Na Yeon tidak perlu memastikan apakah wajah dalam gambar itu benar-benar pria itu atau bukan.

Setelah beberapa detik mengamati gambar itu dari jauh, Na Yeon mendapati dirinya menggigit bibirnya dengan kuat. Ada rasa berat dalam dadanya yang membuatnya mengulangi tulisan pada sampul majalah itu.

Joo Ji Hwan dan kekasihnya? Wanita itu kekasihnya?

***

"Jadi, kalau begitu kau tidak bisa ikut kami dalam peluncuran album Hyeong tanggal 1 April nanti?" Samuel menyesap Espresso dingin di salah satu kafe kopi di kawasan Cheongdam.

Suasana di kafe bernuansa Eropa itu sangat eksklusif. Semua tempat duduk disediakan berupa sofa kecil berlengan berwarna hitam dengan meja kayu pendek di tengah-tengahnya. Pajangan-pajangan vintage tergantung di hampir setiap sisi tembok bercat abu-abu di kafe itu dan lagu yang diputar adalah alunan instrumen jazz dengan saxophone. Pengunjung yang berdatangan pun mengenakan pakaian formal. Hanya Na Yeon yang tidak mengenakan rok ketat atau jas kerja di tempat itu. Tapi itu tidak mengganggunya.

Na Yeon memutar-mutar cangkir kopi panas di depannya. "Aku sudah memohon untuk menunda operasinya sampai setelah hari peluncuran album itu tapi dokter bilang kondisi tubuhku tidak akan sebaik sekarang jika aku menundanya lebih lama. Apalagi setelah bekerja. Jadi, hanya tanggal itu yang terbaik." Na Yeon berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Kuharap kau tidak keberatan mencari penggantiku sebagai penerjemah Ji Hwan di tanggal 1 April nanti."

Saat Na Yeon menengadah, kedua matanya menangkap Samuel sedang menatapnya dengan alis berkerut. "Aku sih tidak keberatan harus menggantimu tapi kenapa kau tidak mau aku memberitahu Ji Hwan Hyeong?"

"Karena...," Na Yeon ragu-ragu sejenak. Karena apa? Kenapa ia tidak mau memberitahu Ji Hwan? Ia sendiri tidak tahu. Tapi yang pasti pria itu tidak boleh tahu. "...suatu saat aku yang akan memberitahunya. Tapi tidak sekarang."

"Tapi Hyeong tahu masalah operasi dan penyakit adikmu?"

Sudut-sudut bibirnya membentuk senyum tipis. "Dia tahu. Dia hanya tidak tahu mengenai tanggal operasinya."

"Oh, begitu rupanya. Jadi aku hanya tidak boleh memberitahunya bahwa kau akan diganti dengan penerjemah lain di hari peluncuran albumnya nanti," Samuel membuat gerakan memotong udara dengan sebelah tangannya sambil mengangguk-angguk. "Baiklah, aku mengerti."

"Terima kasih atas pengertianmu, Samuel. Aku berhutang banyak."

***

Ji Hwan melipat kedua tangannya di dada. Kedua matanya menatap lurus ke arah majalah yang tergeletak di atas meja ruang duduk di hadapannya. Majalah yang memuat artikel tentang dirinya itu memajang fotonya dan Mandy saat berjalan keluar dari restoran paman Won sebagai sampul majalah. Dan tidak hanya itu, mereka juga membuat tulisan besar-besaran yang mempertanyakan status Mandy sebagai kekasihnya.

Pagi-pagi tadi, Samuel datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan buku itu. Buku dengan foto yang diambil diam-diam sebagai sampulnya dan berita-berita bohong di dalamnya. Ji Hwan tidak habis pikir kalau ternyata ada penguntit yang diam-diam mengambil gambarnya dari jauh kemarin malam. Astaga.

Ji Hwan beranjak dari kursi berlengannya. Ia baru hendak membuang majalah yang mengusik pikirannya tersebut saat ia mendengar suara pintu depan rumahnya terbuka. Ji Hwan melayangkan pandangannya ke arah ruang tamu sambil setengah berteriak, "Sam? Ada apa lagi?"

"Ini aku," sebuah suara wanita tiba-tiba menyahut disusul dengan suara gemerisik plastik setelahnya.

Deg. Suara itu. Suara yang ingin didengarnya. Ji Hwan melangkahkan kakinya menuju ruang tamu untuk mengecek namun ia berhenti berjalan saat melihat Na Yeon terlebih dulu berjalan masuk. Gadis itu memasuki ruang duduk dengan sebuah plastik putih besar di sebelah tangannya.

Ji Hwan senang melihat Na Yeon kembali ada di rumahnya. Dan sepertinya ia tidak bisa menyembunyikan kesenangan itu dari wajahnya karena ia menyeringai sekarang. "Kau datang," kata Ji Hwan.

"Maaf aku terlambat, aku harus membantu ibuku menjaga Jeong Mi dulu tadi. Kau sudah makan siang? Aku membeli sup kepiting di restoran Cina di samping rumah sakit dalam perjalanan kemari. Aku akan menyiapkannya untukmu kalau kau mau." Na Yeon berceloteh sambil memasukkan beberapa barang belanjaan ke dalam lemari es di dapur.

Seperti magnet berkekuatan tinggi, Ji Hwan langsung menghampiri Na Yeon di ruang dapur. Ia duduk di bangku tinggi meja barnya lalu mengamati gadis itu berjalan mondar-mandir di sekeliling dapurnya. Ia senang melihat Na Yeon berada di sana. Ia tidak tahu apa alasannya tapi ia jauh merasa lebih nyaman melihat dapurnya seperti ini.

"Aku belum makan. Tapi aku akan makan kalau juga ikut makan."

"Ah, ternyata nasib perut Joo Ji Hwan berada di tanganku," balas Na Yeon dengan nada mengejek, masih sibuk dengan lemari es. "Baiklah, aku akan makan."

Beberapa saat setelah itu, Na Yeon meletakkan panci berisikan sup kepiting dan beberapa lauk di atas piring kecil ke atas meja bar. HIdangan Korea itu berjejer rapih di hadapan Ji Hwan dan anehnya, nafsu makannya tidak terganggu. Ini pertama kalinya sejak sekian lama ia bisa bergairah memakan masakan Korea.

"Selamat makan," Na Yeon berkata sambil tersenyum pada Ji Hwan.

Ji Hwan menengadah. Ia membuka mulut hendak membalas namun ia menahannya saat melihat ada yang aneh dari Na Yeon. Dari jarak sedekat ini, Ji Hwan baru bisa menyadari kalau gadis yang duduk di depannya saat ini terlihat pucat. Tatapannya sayu dan ada garis hitam di bawah kedua matanya.

Ji Hwan menatap Na Yeon curiga. "Apa ada lagi yang kau lupakan selama kau mengurus adikmu di rumah sakit?"

Na Yeon mendongak. "Hmm?"

"Sepertinya selain lupa makan kau juga lupa istirahat."

Dan di luar dugaan Ji Hwan, gadis itu terkekeh. "Benarkah? Ternyata kaca di rumah sakit itu tidak berbohong. Aku memang terlihat seperti zombie ya?"

Ji Hwan mengerutkan alisnya. "Kau menyadarinya. Kau benar-benar tidak tidur semalaman?"

"Aku sudah mencoba tidur tapi tidak bisa. Aku selalu terjaga setiap dua jam. Aku juga tidak mengerti kenapa."

Beberapa detik berlalu tanpa suara. Ji Hwan tidak bisa melepaskan tatapannya dari Na Yeon selama ia menghabiskan makanannya. Ia merasa harus memperhatikan gadis itu. Pertama, karena ia ingin menebak lewat sorot matanya apa gadis itu benar-benar baik-baik saja; kedua, -ia tahu alasan ini tidak masuk akal tapi- Na Yeon terlihat manis jika sedang mengunyah; dan yang ketiga, ia menikmati keberadaannya dengan Na Yeon.

Merasa sedang diamati, Na Yeon mengangkat wajah ke arah Ji Hwan. Saat itu juga Ji Hwan berdeham dan menatap makanannya. Ia yakin ia terlihat bodoh barusan.

"Kau berbohong padaku," Na Yeon memecahkan keheningan.

Pandangan mereka kembali bertemu dan Ji Hwan mengerjap bingung. "Apa?"

"Kau berbohong padaku," ulang Na Yeon dengan nada suara yang sama.

"Aku tidak mengerti."

"Aku pernah bertanya padamu apakah lagu-lagu yang kau buat itu tentang kekasihmu dan kau bilang kau tidak punya pacar."

"Aku memang tidak punya pacar."

Na Yeon mencibir. "Kau yakin? Kau tidak mau mengakui pacarmu sendiri?"

Ji Hwan menatap gadis itu dengan alis dan dahi berkerut. Ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Na Yeon. Apa maksudnya dengan pacar....

Astaga. "Apa kau juga melihat berita itu di majalah?"

Na Yeon mengiyakan dengan anggukan serta senyum kecil. "Di rumah sakit tadi ada ibu-ibu yang sedang membaca majalah yang memuat fotomu di sampulnya lalu aku membacanya sekilas. 'Joo Ji Hwan dan kekasihnya?'"

Nada suara Na Yeon terdengar aneh pada kalimat terakhir dan itu mengganggu Ji Hwan. Sangat mengganggu. "Kau percaya berita macam itu? Memangnya menurutmu seleraku seburuk itu? Aku tidak akan pernah mengencani wanita dengan rambut pirang aneh seperti gadis gila di foto itu. Dia bukan pacarku."

"Benarkah?"

JI Hwan menegakkan posisi duduknya. "Dia bukan pacarku. Dia sepupuku, namanya Mandy. Kemarin aku dan Samuel serta gadis gila itu pergi mengunjungi pamanku yang baru tiba dari Jepang di sebuah restoran di Namdaemun dan ternyata ada orang yang diam-diam mengambil foto kami. Ternyata mereka mengirimnya kepada media dan membuat berita aneh-aneh."

"Hmm, ternyata begitu."

Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti namun nada suaranya jelas menunjukkan kalau ia tidak percaya. Demi Tuhan! Apa yang dipikirkan gadis itu?

"Kau tidak percaya dengan ceritaku?" tanya Ji Hwan sambil meletakkan alat makannya.

"Aku percaya," jawab Na Yeon dengan senyum singkat.

Tidak. Raut wajah itu, nada suara itu, jelas menunjukkan gadis itu belum percaya. Ji Hwan tidak boleh membiarkan ini begitu saja, ia harus membuat Na Yeon mempercayai ucapannya. Bagaimana pun caranya.

Ji Hwan mendengus lalu bangkit dari bangku tingginya. Ia tidak percaya ia akan melakukan ini tapi tidak ada cara lain. Dengan langkah cepat, Ji Hwan menghampiri Na Yeon lalu meraih pergelangan tangan Na Yeon. Ia tidak menarik gadis itu dengan kasar tapi ia berhasil membuat Na Yeon berdiri hanya dengan menyentuhnya.

"Ikut aku," perintah Ji Hwan.

Na Yeon mengikuti Ji Hwan yang mulai berjalan dengan langkah lebar. "Ke mana?"

"Lihat saja nanti."

***

Tiga puluh menit kemudian, Na Yeon dan Ji Hwan sudah berdiri di dalam lift gedung apartemen mewah yang berada di kawasan Dongdaemun. Na Yeon tidak mengerti apa yang sedang terjadi karena pria yang berdiri di sampingnya dengan wajah datar ini tidak mengatakan apapun sepanjang perjalanan. Bahkan begitu sampai di tempat ini pun, pria itu belum melontarkan sepatah kata.

Bunyi bel berdenting. Dua detik setelah itu, pintu lift terbuka dan Ji Hwan kembali berjalan dengan cepat. Na Yeon mau tidak mau mengikuti pria itu. Ia tidak bisa mengelak sekarang kalau ia mulai kesal melihat tingkah pria itu. Akhirnya ia bertanya, "Sebenarnya kita mau kemana?"

"Membuktikan omonganku," balas pria itu.

Na Yeon masih tidak mengerti. Karena itu ia hanya bisa diam sampai mereka berdua berhenti di depan pintu apartemen bernomor 17. Ji Hwan menekan bel yang ada di samping pintu dan beberapa saat setelahnya, pintu terbuka.

Seorang gadis berdiri di sana. Gadis berambut pendek pirang dengan kaus ketat tanpa lengan dan celana tidur juga wajah yang kotor. Butuh lima detik yang lama bagi Na Yeon mengenali gadis itu sebagai orang yang muncul bersama Ji Hwan di sampul majalah yang ia lihat sebelumnya. Na Yeon mendelik dengan cepat begitu menyadarinya.

"James! Apa yang kau lakukan di sini?" Gadis itu bertanya dalam bahasa Inggris, membuat kedua mata Na Yeon terbuka lebih lebar. Dan apa katanya tadi? James?

"Ada yang ingin bertemu denganmu," balas Ji Hwan.

Percakapan dalam bahasa Inggris itu membuat Na Yeon merasa kikuk. Jelas saja, karena ia tidak menguasai bahasa itu dengan baik.

Tatapan gadis dengan makeup yang luntur tidak keruan itu mengarah pada Na Yeon. "Dia? Oh, hai. Aku Mandy, sepupu Ji Hwan. Maaf aku tidak bisa menyapamu dalam bahasa Korea. Aku sudah lama tidak menggunakan bahasa Korea dan bahasa Koreaku benar-benar... kau tahu, rubbish," celoteh gadis itu sambil memaksa bersalaman dengan Na Yeon yang bahkan belum sempat mengangkat tangan.

Na Yeon tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan Mandy tapi ia tahu maksudnya. Dan setelah mendengar kata 'sepupu', Na Yeon langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Jadi, Ji Hwan membawanya kemari hanya untuk ini menunjukkan ini? Menunjukkan bahwa ia tidak berbohong.

"Kau masih tidak percaya?" Ji Hwan menoleh padanya.

Pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dalam bahasa Korea itu membuat Na Yeon melonjak kaget. Ia mengangkat dagu ke arah Ji Hwan dan menatap pria itu tanpa mengatakan apapun.

Belum sempat Na Yeon menyuarakan isi pikirannya, pria itu lebih dulu berpaling pada gadis di depan mereka. Ji Hwan mengatakan sesuatu pada gadis itu yang sulit dicerna oleh otak Na Yeon namun ada kalimat yang berhasil ia tangkap: 'Ia tidak percaya padaku.'

Sesaat setelah ia menyadari arti kalimat itu, gadis di depannya menggoyang-goyangkan tangannya sambil tertawa. "Aku... bukan... pacarnya. No way!" Mandy mencoba menjelaskan dalam bahasa Korea yang patah-patah.

Na Yeon hanya tersenyum kaku menanggapinya.

Lalu Mandy melanjutkan, "Kau tidak perlu cemburu! Kami tidak memiliki hubungan seperti ini...," Mandy mengerucutkan kedua tangannya dan membuat gerakan seperti orang berciuman. "...hubungan kami itu seperti ini," Mandy mengacungkan kedua jari telunjuknya lalu mengaitkannya satu sama lain.

Sebenarnya ia tidak perlu mendengar penjelasan seperti ini tapi entah kenapa ia merasa lega sekarang saat tahu ucapan Ji Hwan benar.

Mandy menawarkannya dan Ji Hwan untuk masuk ke dalam tapi Ji Hwan menolak dengan berkata, "Tidak, tidak mau. Aku dan dia harus kembali bekerja. Cepatlah belajar bahasamu sendiri, bodoh. Kau harus bisa memberikan penjelasan lebih rinci pada gadis ini suatu saat nanti. Dan bersihkan tempat ini sebelum Samuel membakarmu hidup-hidup."

Na Yeon tidak tahu kenapa tapi Ji Hwan mengatakan ucapannya itu dalam bahasa Korea. Dan Ji Hwan mengarahkan dagunya pada Na Yeon saat mengatakan kata 'gadis itu'. Sepertinya perkataan itu memang ditujukan kepadanya.

Beberapa saat berlalu dan Na Yeon sudah kembali berada dalam mobil Ji Hwan. Kali ini, suasana tidak terasa setenggang sebelumnya karena Ji Hwan memulai percakapan dalam perjalanan.

"Kau sudah percaya sekarang?" tanya pria itu sambil berfokus ke arah jalan di depannya.

Na Yeon berpikir sejenak lalu menjawab, "Aku sudah bilang sejak awal kalau aku percaya padamu. Kau tidak perlu membawaku jauh-jauh ke tempat itu hanya untuk membuktikan ucapanmu."

"Aku tahu persis kau tidak mempercayai kata-kataku sepenuhnya saat kau bilang kau percaya padaku."

Na Yeon menahan tawa. "Aku tidak begitu," katanya. Lalu sebelum Ji Hwan sempat menyela, Na Yeon kembali membuka mulut, "Kenapa kau perlu repot-repot membawaku ke sana? Maksudku, kau bisa meneleponnya saja."

"Percayalah, kalau pun aku menghubungi Mandy tadi, kau tetap tidak akan mempercayaiku karena kau akan berpikir: 'orang Korea tidak mungkin tidak bisa bicara bahasa Korea' dan pada akhirnya aku akan tetap membawamu ke sana untuk membuktikan omonganku."

"Kenapa aku harus memercayaimu?" tanya Na Yeon.

"Karena aku tidak suka melihatmu tidak percaya padaku."

Ada sesuatu dalam nada bicara pria itu yang membuat Na Yeon tanpa sadar menahan napas seketika ia mendengarnya. Dan sebelum ia tenggelam dalam lamunan yang membuatnya harus menggigit bibir, Na Yeon kembali melontarkan pertanyaan, "Kalau gadis itu bukan pacarmu, lalu... siapa yang kau maksud dalam wawancara di televisi waktu itu?"

Mobil sedan hitam Ji Hwan berhenti di lampu merah saat ia menoleh pada Na Yeon. "Kalau kuceritakan padamu, apa kau akan percaya padaku?"

Na Yeon tertegun. Mata hitam itu menatapnya lekat. Astaga, dia tidak bernapas lagi. Ia harus mencegah dirinya terlihat kikuk. Setelah menyadari mereka sudah bertatapan cukup lama, Na Yeon berdeham. "Tentu. Aku percaya padamu."

"Benarkah? Karena kalau kau tidak memercayaiku kali ini, aku tidak bisa membuktikan apapun."

Na Yeon memasang raut muka yang seolah bertanya 'kenapa'. Setelah itu Ji Hwan melirik ke arah lampu merah yang kini berubah hijau. Saat mobil mereka sudah memasuki arus kendaraan, Ji Hwan tiba-tiba menyahut, "Aku berbohong."

Na Yeon bergeming.

"Aku benci dengan rumor yang terus beredar mengenaiku dan Baek Yoon Jeong jadi aku berbohong untuk menghentikan gosip itu. Aku sudah membuat pernyataan lisan dan tertulis berulang kali mengenai hubunganku dan Yoon Jeong tapi media tidak pernah puas dengan jawabanku sampai akhirnya mereka mempertemukanku dan Yoon Jeong di acara televisi itu.

"Mereka terus mengulang pertanyaan sama dan aku muak. Pikiranku buntu saat itu dan yang terpikirkan olehku hanyalah bagaimana cara menghentikan mereka. Dan satu-satunya cara yang terpikir olehku saat itu hanya berbohong," Ji Hwan menjelaskan panjang lebar tanpa menatap Na Yeon sedetik pun.

Na Yeon tidak melihat kebohongan sedikit pun di sinar mata pria itu. Ia tidak memiliki alasan untuk tidak percaya pada penjelasan Ji Hwan.

Tidak mau membuat suasana canggung, Na Yeon menyeletuk, "Apa aku orang pertama yang tahu hal ini?"

"Kau orang kedua setelah Samuel dan mungkin yang terakhir."

"Kenapa?"

"Kenapa? Kau ingin aku mengatakan di depan umum kalau aku berbohong aku punya pacar hanya untuk menghentikan gosip antaraku dan Baek Yoon Jeong? Kau pintar, Na Yeon."

Walaupun komentar Ji Hwan barusan terdengar seperti ejekan, Na Yeon tertawa menanggapinya. "Terima kasih," ucap Na Yeon lalu menambahkan, "James."

Na Yeon dapat melihat pria yang sedang mengemudi itu sedikit terkejut.

"Apa itu nama lainmu? Atau nama buatanmu?" tanya Na Yeon lagi.

Ji Hwan menggeleng pelan sambil tersenyum. "Itu namaku selama aku tinggal di London. Apa aku sudah bercerita padamu? Kalau aku tinggal di London bersama ayahku sejak berumur 10 tahun."

"Ah, benarkah? Tidak kau belum memberitahuku."

"Sekarang kau tahu."

"Aku juga baru tahu kalau kau dan Samuel ternyata saudara sepupu."

Ji Hwan tertawa. "Oh, ya? Lalu apa lagi yang baru kau ketahui tentang aku?"

"Hmm," Na Yeon mengetuk dagu dengan jeri telunjuknya. "Aku baru tahu ternyata kau suka pura-pura membaca di depan umum, kau bisa bermain piano solo dengan sangat baik dan...,"

"Dan apa?"

"Dan kau bisa memikat hati anak-anak dengan sangat mudah."

Ji Hwan berpaling sejenak pada Na Yeon. "Sebenarnya aku bisa memikat hati semua orang. Termasuk wanita. Aku bisa saja membuatmu terpesona tapi aku menahannya. Aku takut kau jatuh cinta padaku nanti," Ji Hwan terkekeh jahil.

"Wah, lihat siapa yang percaya diri di sini. Asal kau tahu saja, aku bukan wanita yang mudah dirayu."

"Aku tidak perlu merayu. Aku punya caraku sendiri."

Ji Hwan tersenyum miring. Selama beberapa detik Na Yeon teringat akan perkataan Ji Hwan saat pria itu membantunya membujuk adiknya di rumah sakit. Ucapannya itu awalnya terdengar meragukan tapi saat pria itu membuktikannya, Na Yeon harus mengakui kalau kemampuannya memang hebat.

Na Yeon jadi penasaran sekarang. Seperti apa cara memikat wanita yang dimaksudnya kali ini? Apa pria ini benar-benar serius atau hanya bercanda? Apa dia akan membuktikannya padanya atau pada wanita lain? Astaga, ia sangat ingin tahu. Dan memikirkannya membuat sekujur tubuhnya terasa panas. Ya, Tuhan.


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C9
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄