下載應用程式
55% First of April / Chapter 11: Bab Sebelas

章節 11: Bab Sebelas

24 Desember.

Ji Hwan tersenyum memandangi kalender pada layar ponselnya yang semakin hari semakin mendekati angka 25 yang ditandainya dengan tanda bintang. Ia sudah memastikan segalanya berjalan lancar pada hari itu dan ia sangat yakin ia akan berhasil membuat Na Yeon terkesima nanti. Semua gadis di dunia pasti menyukai rencana yang sudah dibuatnya ini dan ia berani bertaruh kalau Na Yeon pun akan menyukai ini. Satu-satunya alasan yang akan membuat gadis itu tidak puas hanya kalau gadis itu tidak suka hal yang berbau romantis. Tapi Ji Hwan meragukan itu.

Ia sedang duduk menghadap ruang rekam studionya dan baru hendak menyelesaikan lagu terakhir untuk albumnya saat ponselnya berdering. Ia meraih ponsel yang diletakkannya di atas meja mixer di sampingnya lalu menjawab panggilan tersebut.

"Halo?"

"Ji Hwan?"

Tubuh Ji Hwan menegang seketika saat ia mengenali suara tersebut. "Ayah? Ada apa?"

Sudah lama sekali ayahnya tidak menghubunginya. Tentu saja, ayahnya memang tidak pernah menghubunginya kecuali jika ada sesuatu yang harus dibicarakan. Apa ada sesuatu yang penting sekarang?

"Ji Hwan, bisakah kau kembali ke London dalam waktu dekat?"

Ji Hwan bangkit dari kursi putarnya. "Memangnya ada apa, Ayah?"

Jeda panjang. Sebelum Ji Hwan sempat memastikan ponselnya tidak mati, ayahnya kembali mengeluarkan suara. "Ibumu ada di sini."

Kalimat itu seketika membuat Ji Hwan membelalakkan kedua matanya. Sekujur tubuhnya kaku dan ia berdiri mematung. Ia seperti merasa baru saja ada petir yang menyambarnya. Apa ia tidak salah dengar? Apa kata ayahnya barusan? Ibunya di sana? Tidak mungkin. Ia tahu pasti kalau ibu dan adik perempuannya ada di Korea saat ini. Ia pasti salah dengar dan ayahnya pasti sedang berbohong sekarang. Ya, ia yakin itu.

Ji Hwan baru saja hendak mengelak, namun seperti bisa membaca gerak-gerik Ji Hwan, ayahnya kembali berkata, "Ibumu dan Jin Hee ada di sini, Ji Hwan."

"Apa maksud Ayah? Mereka tidak mungkin ada di sana karena terakhir kali Ayah meninggalkan mereka-"

"Mereka ada di sini karena aku sendiri yang menemukan mereka."

"Apa?"

***

"Kau yakin kau tidak ikut besok? Aku sudah menyiapkan gaun untukmu kalau-kalau kau berubah pikiran." Soo Min berkata sambil memutar-mutar badan di depan cermin kamarnya, mengamati gaun putih tanpa lengan yang baru saja dibelinya.

Na Yeon memeluk bantal sambil duduk bersila di atas ranjang tidur Soo Min. Gaun putih dengan payet bersinar yang dikenakan Soo Min terlihat sangat indah, ia penasaran terlihat seperti apa dirinya jika berada dalam balutan gaun itu. Kedua matanya lalu mengarah pada gaun hitam selutut yang digantung pada gagang lemari baju Soo Min di samping cermin. Gaun hitam yang tidak kalah bersinar itu memanggil-manggil namanya dan membuat Na Yeon harus menggigit bibir.

"Kita sudah lama tidak menghadiri pesta semacam ini. Seharusnya kau ikut saja. Siapa tahu kau bisa bertemu dengan pria-pria tampan di sana? Seperti... Kang Won Jae? Kau ingat?" Soo Min berbalik badan ke arah Na Yeon dan menggerakkan kedua alisnya naik-turun.

Kang Won Jae. Tentu saja Na Yeon ingat pria itu. Pria yang menjadi idaman semua mahasiswi saat ia kuliah dulu itu sempat menjadi idolanya. Walaupun hanya beberapa bulan saja sebelum akhirnya ia putus harapan saat tahu pria itu sudah memiliki pacar.

Na Yeon mencibir. "Tidak bisa. Aku sudah membuat janji."

"Ya sudah, aku tidak memaksa."

Soo Min memutar badan ke arah cermin dan kembali sibuk dengan gaun putih yang tak kunjung terlihat istimewa di matanya.

Na Yeon tidak benar-benar menunggu hari esok tiba, tetapi sebagian besar dirinya tidak sabar untuk cepat-cepat besok. Ia tidak tahu kenapa tapi ia benar-benar ingin tahu apa yang akan dilakukan pria itu pada malam natal besok dengannya. Yang ia tahu, Ji Hwan sudah menyiapkan sesuatu yang menyenangkan. Dan seperti apa sesuatu yang menyenangkan itu?

Saat hari berganti, Na Yeon sedikit merasa aneh di pagi hari karena ia tidak menerima pesan apapun di ponselnya sejak kemarin malam. Ia memang tidak berharap ada pesan dari Joo Ji Hwan yang memintanya untuk datang ke suatu tempat yang menarik seperti menara Namsan, taman bunga atau semacamnya tapi bukankah seharusnya pria itu memberitahunya sesuatu? Sesuatu seperti... entahlah, mungkin sesuatu seperti petunjuk apa yang akan dilakukannya malam ini?

Ah, ia tahu. Mungkin pria itu sedang membuat kejutan. Ya, mungkin begitu. Itukah yang dimaksud Ji Hwan sebagai hal menyenangkan? Mungkin. Mungkin juga tidak. Astaga, mungkin lebih baik ia langsung datang saja ke rumah pria itu daripada ia harus berandai-andai seperti ini. Ia bisa gila.

Na Yeon menghabiskan waktu hampir dua jam lamanya di depan lemari dan cermin untuk memastikan penampilannya cukup baik. Ia bahkan hampir menghubungi Soo Min untuk meminjam gaun hitam yang sudah disiapkan baginya untuk dikenakan malam ini. Tapi, setelah meyakinkan dirinya untuk tidak terlihat berlebihan, akhirnya pilihannya jatuh pada gaun lengan panjang berwarna merah muda yang sudah lama bersembunyi dalam lemari. Ia ingat terakhir kali ia memakai ini adalah saat ia menghadiri upacara pernikahan temannya tahun lalu.

Na Yeon berdiri di depan cermin dan memperhatikan dirinya di sana. Kenapa ia merasa ada yang kurang dari penampilannya? Apa riasan wajahnya tampak kurang jelas? Atau gaunnya terlihat kurang menawan? Kalau acara nanti malam disiapkan secara istimewa, bukankah ia juga harus terlihat istimewa? Bagaimana ini? Ia tiba-tiba saja tidak percaya diri.

Setelah termenung beberapa saat, akhirnya Na Yeon memutuskan untuk pergi ke salon terdekat dari rumahnya. Walaupun ia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tapi setidaknya salon bisa membuatnya percaya diri karena orang-orang di sana selalu bisa menyulapnya menjadi angsa putih. Tidak mau merusak penampilannya yang sudah rapih, Na Yeon memilih naik taksi untuk pergi ke rumah pria itu.

Waktu baru menunjukkan pukul dua belas siang tapi ia sudah menghabiskan banyak uang untuk biaya salon dan transportasi sejauh ini. Sebaiknya pria itu benar-benar membuat acara yang menyenangkan karena kalau tidak, ia akan menuntut ganti rugi.

Na Yeon tiba di rumah Ji Hwan tapi ia tidak mendapati pria itu di sana. Pria itu tidak ada di ruang dapur, di studio, di kamar maupun di taman belakang. Sepertinya pria itu benar-benar menyiapkan sesuatu di luar rumah dan ia sedang memberikan kejutan. Tapi kenapa perasaannya tidak enak? Ia merasa ada yang aneh.

Na Yeon mengenyahkan isi pikirannya yang mulai melantur lalu memilih untuk menunggu. Satu jam... dua jam... tiga jam berlalu dan belum ada tanda-tanda apapun. Na Yeon sudah menyibukkan dirinya dengan berbagai aktifitas dalam rumah besar itu. Ia menonton televisi, menyalakan CD player, bermain piano, membersihkan dapur, membuat cemilan kecil dengan peralatan masak di dapur yang tidak pernah dipakai, menyiram tanaman di halaman depan yang sudah mulai beku sambil bernyanyi-nyanyi, menyapu teras depan rumah dan terakhir, ia membereskan kamar pria itu.

Ia sudah tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan di rumah Ji Hwan dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Dan pria itu tidak kunjung memberikan kabar! Astaga sebenarnya apa yang ia lakukan sampai selama ini?

Na Yeon meraih ponselnya dan melakukan hal yang sejak tadi tidak berani ia lakukan, menghubungi pria itu.

Na Yeon berjalan mondar-mandir di ruang duduk sambil menanti jawaban dari panggilan teleponnya. Namun, belum sempat suara dering terdengar, suara operator sudah lebih dulu mengatakan kalau nomor yang dituju tidak dapat dihubungi. Ia mengulang panggilannya lebih dari lima kali dan hasilnya tetap sama. Pria itu tidak dapat dihubungi.

Dadanya terasa sesak tiba-tiba. Sebenarnya kemana pria ini pergi? Kenapa ia sama sekali tidak mendapat kabar apapun? Apa pria itu sedang bermain-main dengannya? Apa dia pikir orang biasa sepertinya tidak mempunyai acara lain di malam natal? Memangnya dia tidak tahu kalau aku sudah menolak menghadiri pesta besar hanya untuk hari ini? gerutu Na Yeon dalam hati.

Ia sudah lelah menunggu dan ia muak sekarang. Ia merasa bodoh. Ia sudah bersiap-siap sejak pukul delapan pagi tadi sampai semalam ini dan pria itu tidak kunjung memunculkan batang hidungnya. Ia sampai repot-repot pergi ke salon hanya agar ia tidak terlihat memalukan di depan pria itu.

Demi Tuhan, ia tidak pernah merasa semarah ini.

Lupakan saja malam natal menyenangkan dengan penyanyi terkenal yang tiba-tiba menghilang sesuka hatinya!

Na Yeon menekan nomor Soo Min lalu menempelkan ponsel di telinganya. "Halo? Soo Min, kau di mana? Acaraku batal, sepertinya aku akan ke rumahmu sekarang. Bolehkah aku mengambil gaun yang kau siapkan untukku?"

***

"Temanmu membatalkan acaranya?" Hyeon Woo berkomentar di dalam mobil di balik roda kemudi dalam perjalanan menuju restoran hotel di kawasan Seodaemun.

Setelah menghubungi Soo Min dan bersiap-siap di rumah sahabatnya itu, orang kedua yang dihubunginya adalah seniornya. Ia ingat kalau ia sudah berjanji untuk memberi traktiran makan malam Natal dengan Hyeon Woo kalau ia tidak mempunyai acara apapun. Dan akhirnya di sinilah ia berakhir, duduk bersebelahan dalam mobil Range Rover Hyeon Woo dalam balutan gaun hitam pendek.

"Ia tiba-tiba saja tidak bisa dihubungi jadi aku memutuskan untuk menghubungimu saja," jelas Na Yeon.

Hyeon Woo terkekeh. "Ternyata aku ban cadangan. Kau kecewa, ya? Astaga. Kau bilang temanmu ini 'bukan pacar' tapi kenapa kau kelihatan lesu begini saat acaramu dibatalkan?"

"Aku tidak lesu."

"Cih. Na Yeon, kau itu tidak bisa menyembunyikan apapun di wajahmu. Kalau kau senang, kau akan tersenyum dengan sangat lebar tapi kalau suasana hatimu sedang tidak baik, lihatlah dirimu sekarang. Kau pasti melamun, menggigit bibir, memain-mainkan kukumu,"

Na Yeon mendelik ke arah Hyeon Woo dan menyadari semua perkataan seniornya tepat. Ia memang memain-mainkan kukunya dan menggigit bibir, tapi ia tidak melamun. Ia sedang memikirkan berbagai macam kemungkinan dan alasan yang terjadi yang menyebabkan temannya menghilang begitu saja dan membatalkan acara yang ia tunggu-tunggu.

Astaga. Ia benar-benar harus mengalihkan isi pikirannya.

"Jadi, bagaimana Jepang? Menyenangkan?" Na Yeon menyahut.

"Hmm, menyenangkan. Aku bekerja sementara di sebuah restoran Korea milik temanku di sana selagi menjalankan studiku. Kau tahu, aku merasa seperti anak kuliahan yang baru lulus SMA. Kerja paruh waktu dan kuliah."

"Oh, ya?"

"Ya. Lalu aku bertemu dengan wanita manis bernama Rin Satou. Dia tinggal bersebelahan denganku di apartemen sewaan dekat tempat kerjaku. Tubuhnya juga sangat seksi dan indah seperti biola."

"Begitukah? Dia cantik?"

Hyeon Woo mengangguk. "Ya, dia sangat cantik."

"Lalu kapan kau akan kembali lagi ke Jepang?"

"Sepertinya minggu depan. Kebetulan aku juga harus mengurus surat-surat rumah di Gangnam yang ingin kujual. Kau harus membantuku menjual barang-barang di rumah, ya. Sudah berbulan-bulan kutinggal, pasti banyak debu di mana-mana. Kau tidak sibuk 'kan seminggu ke depan?"

Seharusnya ia sibuk tapi, "Tidak. Aku dapat jatah libur sampai tahun baru."

"Baguslah. Sering-sering membantuku selama aku di sini, kau mengerti? Kau juga belum membayar semua usahaku yang selalu menggantikanmu mengajar dulu. Traktir aku makan."

Na Yeon memaksakan seulas senyum. "Pasti. Besok aku akan ke rumahmu membawa Samgyeopssal."

Tidak bisa. Usahanya sia-sia. Ia sudah berusaha mengalihkan suasana tapi pikirannya terus mengelantur ke arah yang sama. Dadanya pun masih terasa sesak. Ah, semoga ia bisa melewati malam ini.

Begitu tiba di hotel mewah dengan lobi raksasa yang megah beberapa menit kemudian, Na Yeon disambut oleh seorang pelayan hotel berpakaian rapih yang membukakan pintu mobil baginya. Ia tersenyum dan mengangguk pada pelayan berdasi kupu-kupu itu lalu sesaat setelahnya, Hyeon Woo sudah berdiri di sampingnya.

"Kau yakin kau yang traktir?" Hyeon Woo meyakinkan dengan nada mengejek sambil mengulurkan lengannya pada Na Yeon.

Na Yeon tersenyum malu. "Sepertinya aku mentraktirmu makan siang di kedai nasi ayam saja besok. Di sini terlalu mahal."

"Hah. Aku sudah tahu dari awal. Tidak apa-apa, yang penting kau menemaniku malam ini. Itu sudah cukup. Ayo."

Na Yeon meraih lengan Hyeon Woo lalu berjalan dengan langkah pelan memasuki restoran Prancis dalam hotel tersebut.

Kesan pertama yang didapatkan Na Yeon saat berjalan melewati pintu kaca restoran itu adalah kesan klasik. Semua pelayan yang melayani mengenakan pakaian rapih yang menyerupai pakaian pesta, musik yang diputar berupa alunan musik berbahasa Itali dengan iringan biola dan dinding-dinding yang mengitarinya pun berhiaskan lukisan-lukisan kuno yang terlihat sedikit usang. Dalam sekejap, Na Yeon merasa seperti berada di luar negeri.

Ia dan Hyeon Woo duduk di meja dengan dua bangku berhadapan di tengah ruangan. Seorang pelayan pria dengan nampan besi menarikkan bangku kayu tersebut bagi Na Yeon untuk duduk lalu menuangkan anggur merah di gelas kaca tinggi yang terletak di hadapannya.

"Terima kasih," ujar Na Yeon pada pelayan pria itu.

Setelah Hyeon Woo memesan makanan untuk mereka berdua, Na Yeon melihat ke sekelilingnya. Ia baru sadar kalau semua pengunjung yang ada di restoran ini mengenakan pakaian formal. Tentu saja, restoran semewah ini pasti mengharuskan tamu-tamunya untuk mengenakan setidaknya pakain pesta untuk masuk ke dalam. Ia pikir ia akan terlihat berlebihan dengan gaun hitam yang diberikan Soo Min, ternyata ia pergi ke tempat yang tepat dengan kostum yang tepat.

"Kau suka tempat ini?" Hyeon Woo meresponi Na Yeon yang mengamati sekitarnya.

Na Yeon mengangguk. "Seonbae tahu tempat-tempat seperti ini, ya?"

"Aku pernah menjadi penerjemah seorang pebisnis Jepang tahun lalu dan beliau membawaku kemari. Aku suka suasana di tempat ini. Sangat menawan."

"Benar. Memang menawan."

Hyeon Woo mengecap anggurnya. "Tadinya kupikir aku ingin mengajakmu ke restoran biasa tapi ternyata kau mengenakan gaun jadi, aku tidak ingin penampilanmu sia-sia. Ini tempat yang cocok."

"Kalau begitu aku harus sering-sering menggunakan gaun agar bisa pergi ke tempat-tempat seperti ini.

Hening sesaat. Hanya alunan biola dan suara seriosa pria saja yang terdengar sampai Hyeon Woo tiba-tiba membuka mulut, "Jadi? Apa yang kulewatkan? Kau belum bercerita apa-apa sejak aku pergi dan kembali lagi ke sini."

Na Yeon membasahi bibir lalu mulai bercerita mengenai banyak hal. Ia membicarakan banyak hal dengan Hyeon Woo seperti yang selalu ia lakukan saat ia masih bekerja dulu dan untuk sesaat, Na Yeon bisa melupakan apa yang mengusik pikirannya sejak tadi.

Sayangnya, hanya sesaat. Benar-benar sesaat.

Malamnya, saat ia pulang, pikirannya kembali diserang dengan hal yang sama yang membuat dadanya sesak. Dan ia tidak bisa tidur sepanjang malam.

***

Na Yeon mengangkat kardus berisi buku-buku bekas ke ruang depan rumah Hyeon Woo lalu bertolak pinggang saat melihat masih ada dua kardus lagi yang tersisa di ruang duduk yang belum dipindahkan. Sambil menghela napas lelah Na Yeon berkata, "Kenapa banyak sekali?"

"Kau mau membantu tidak, sih? Kalau kau tidak mau membantu lebih baik dari awal jangan datang. Sudah tidak bawa makanan, sekarang mengeluh tidak jelas," Hyeon Woo menggumamkan kata-kata terakhir sambil menggelengkan kepala.

Setelah hampir satu jam memindah-mindahkan barang tidak terpakai ke dalam kardus kosong, Hyeon Woo dan Na Yeon baru bisa beristirahat.

"Seonbae juga mau menjual yang ini?" Na Yeon menunjuk sofa hitam yang saat ini didudukinya di ruang duduk.

Hyeon Woo mengangguk. "Pasti. Aku tidak ingin ada yang tersisa."

"Begitu rumah ini terjual, Seonbae akan jadi orang kaya sementara. Apa Seonbae akan memberiku sedikit dari uang-uang hasil penjualan nanti? Aku sudah membantumu seperti ini seharusnya aku dapat bagian."

"Ya, ya. Terserah."

Hyeon Woo menghempaskan badan di ruang kosong sofa duduk di samping Na Yeon. Ia menyenderkan kepalanya pada punggung sofa lalu bergumam, "Rumah ini sudah kutinggali sejak SMA tapi tidak mempunyai kenangan apapun. Aneh, ya?"

"Kenapa kau tidak punya kenangan apapun di sini?"

"Tentu saja, aku tinggal sendirian di sini. Kalau aku suka berimajinasi dan punya banyak teman khayalan, mungkin aku akan punya kenangan yang banyak tapi aku masih normal. Selama dua belas tahun aku tinggal di sini, aku selalu merasa kesepian setiap pulang ke rumah. Bahkan saat masih kuliah dulu, aku ingat aku selalu berharap ada acara dadakan yang diadakan oleh teman-temanku yang membuatku tidak perlu pulang. Tempat ini namanya 'rumah', tapi aku heran kenapa aku tidak pernah merasa seperti berada di rumah," Hyeon Woo bercerita sambil menatap langit-langit ruangan.

Na Yeon mengikuti arah pandang Hyeon Woo dan menyenderkan kepalanya. "Aku tahu alasan mengapa Seonbae tidak bisa menganggap tempat ini sebagai rumah."

"Kenapa?"

"Karena keluargamu tidak ada di sini. Kebanyakan orang berpikir, rumah itu hanya sekedar tempat untuk bernaung saat hujan, tempat untuk kembali setelah melakukan aktifitas seharian di luar dan tempat untuk tidur. Itu memang benar tapi arti sebenarnya dari rumah adalah keluarga."

Hyeon Woo memiringkan kepalanya. "Oh, ya?"

"Hmm. Seorang pria yang baru pulang dari kantor pasti ingin cepat-cepat pulang untuk melihat anak-anak dan isterinya, karena hanya mereka yang bisa membuat rasa lelah yang dialaminya sepanjang hari menghilang. Seorang pelajar pasti ingin cepat-cepat kembali ke rumah untuk bertemu dengan orang tuanya untuk menceritakan hal-hal yang ia alami di sekolah. Seorang ibu pasti tidak pernah bisa tahan berada di luar rumah terlalu lama karena ia akan selalu memikirkan anak-anaknya; apa anak-anak sudah makan?; apa anak-anak sudah pulang?; apa yang harus kusediakan untuk makan malam?

Keluarga itu adalah orang-orang yang tinggal bersamamu. Siapa lagi yang bisa kau temui di dalam sebuah rumah kalau bukan keluargamu? Karena itu, yang membuat sebuah tempat tinggal memiliki arti 'rumah' adalah karena kehadiran keluarga."

Keheningan sejenak meliputi ruang duduk. Na Yeon dapat melihat dari sudut matanya kalau Hyeon Woo sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang serius.

Setelah beberapa menit yang lama, Hyeon Woo berkomentar, "Sejak kapan kau bisa mengatakan kata-kata yang sok dramatis seperti itu?"

Na Yeon mendorong bahu Hyeon Woo dan mendesis. "Aku kan hanya memberikan pendapat. Menurutku memang seperti itu."

"Ya, ya. Aku tahu. Walaupun pendapatmu terdengar sok puitis tapi kata-katamu itu tiba-tiba membuatku merindukan keluargaku di Jeju."

Na Yeon menoleh pada Hyeon Woo dan tersenyum kecil.

Beberapa saat berlalu tanpa kata sampai tiba-tiba bunyi dering ponsel Na Yeon terdengar. Na Yeon mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya lalu menghentikan suara yang berteriak nyaring tersebut. "Halo?" jawabnya.

"Na Yeon-ssi? Apa kau sedang sibuk?"

Ah, suara ini. Seharusnya ia tidak mengangkatnya tadi karena suara ini berhubungan dengan Ji Hwan. Dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Ji Hwan selalu membuatnya kembali teringat pada kesalahan pria itu. Dan mengingat kesalahan pria itu membuatnya jengkel.

Na Yeon tersenyum masam. "Samuel? Tidak, aku sedang tidak sibuk. Ada apa?"

"Aku sedang di rumah Hyeong saat ini dan aku tidak bisa masuk karena aku kehilangan kunci rumahnya. Hyeong memberimu kunci duplikat yang lain, bukan?"

"Ya. Aku punya kuncinya,"

"Bisakah kau datang kemari dan membukakan rumah Hyeong? Aku harus segera mengambil ponsel Hyeong. Banyak produser yang marah-marah padaku karena mereka tidak dapat menghubungi Hyeong dan aku harus menjelaskan pada mereka apa yang terjadi. Aku tidak ingin merusak hubungan Hyeong dengan rekan-rekan kerjaku jadi kuharap kau bisa membantuku, Na Yeon-ssi."

Na Yeon terdiam sesaat. Ponsel pria itu tertinggal di rumah? "Memangnya Ji Hwan pergi kemana?"

"Hyeong sedang di London sekarang, ada urusan keluarga yang harus ia bereskan di sana. Dan ia lupa membawa ponselnya karena ia mengejar pesawat tercepat beberapa hari yang lalu. Aku harus menjelaskan cerita ini pada produser-produser yang menghubunginya supaya tidak terjadi kesalahpahaman."

London? Jadi pria itu tidak sedang di Korea sekarang? Lalu alasan pria itu tidak mengangkat telepon malam itu karena ponselnya tertinggal?

Tapi kenapa ia tidak diberitahu apapun mengenai hal ini sebelumnya?

Na Yeon mengerjap tidak percaya. "Baiklah, aku akan tiba di sana sebentar lagi. Sampai jumpa."

Na Yeon menutup telepon lalu bangkit dari sofa. Gerakan itu membuat Hyeon Woo seketika menoleh dan bertanya, "Ada apa?"

"Urusan pekerjaan. Aku harus pergi sekarang, Seonbae. Nanti malam aku akan kemari lagi kalau kau membutuhkan bantuan."

Hyeon Woo ikut berdiri sambil menjawab, "Biar kuantar. Ayo."

***

Samuel duduk di atas kap mobilnya sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Sarung tangan wol yang membalut kedua tangannya itu sepertinya tidak bisa memberikan efek hangat apapun kepada tubuhnya karena ia tetap kedinginan walau sudah meniupi tangannya berulang-kali. Setiap napas yang dihembuskannya membentuk kabut putih dan ia mulai merasakan hidungnya membeku. Ia sudah ingin cepat-cepat masuk ke dalam rumah Ji Hwan untuk menghangatkan diri.

"Kenapa Na Yeon lama sekali?" gerutunya.

Beberapa saat setelah ia bertanya demikian, sebuah mobil Range Rover hitam berhenti persis di sebelah mobilnya. Lalu seorang wanita berambut panjang dengan syal rajut merah muda muncul dari pintu penumpang. Butuh dua detik yang lama bagi Samuel untuk mengenali wanita itu sebagai Na Yeon.

Na Yeon mengatakan sesuatu pada pria yang duduk di bangku pengemudi lewat jendela mobil yang terbuka. Dan pria berambut panjang yang ada di sana mengucapkan balasan yang membuat Na Yeon tertawa. Samuel memperhatikan mereka selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya mobil hitam besar itu pergi meninggalkan rumah Ji Hwan.

Samuel ingin menanyakan sesuatu soal pria yang mengantar Na Yeon tadi tapi yang ia katakan justru, "Maaf, membuatmu harus datang jauh-jauh, Na Yeon-ssi."

Na Yeon berdiri membelakangi Samuel menghadap pintu pagar. Sambil memutar anak kunci di lubang pintu, Na Yeon menjawab, "Tidak apa-apa. Lagipula aku memang harus kemari untuk membereskan rumah."

"Part-time job lagi?"

"Begitulah," Na Yeon tertawa kecil.

Dalam beberapa menit, ia dan Na Yeon sudah berada di dalam rumah Ji Hwan. Selesai menyalakan penghangat ruangan, Samuel langsung bergegas menuju ruang studio Ji Hwan. Begitu membuka pintu, hal pertama yang ia cari adalah benda persegi panjang berwarna putih dan ia berhasil menemukan benda itu tergeletak di atas meja tulis dekat mesin mixer.

"Kau menemukan ponselnya?" Suara Na Yeon tiba-tiba muncul di balik punggungnya.

Samuel mengangguk dan berbalik. Ia mengarahkan ponsel Ji Hwan ke arah Na Yeon dan menggoyang-goyangkannya. "Ketemu. Ternyata tertinggal di sini dan benda ini sepertinya kelaparan karena dia tidak mau menyala."

"Baterainya habis," kata Na Yeon, lebih pada diri sendiri.

Samuel menyetujui dengan desahan. "Aku mengisi baterainya dulu."

Samuel menggeleng-gelengkan kepalanya saat ia berjalan menuju ruang duduk dan menyolokkan alat charger pada stop kontak di dekat televisi. Saat ia menatap ponsel Ji Hwan yang mulai menyala, Na Yeon duduk di sofa ruang duduk dan bertanya, "Sejak kapan Ji Hwan pergi?"

"Hyeong tidak memberitahumu? Oh, God. Kupikir kau sudah tahu jadi aku tidak memberitahumu sejak kemarin," Samuel meletakkan ponsel Ji Hwan di atas meja lalu melanjutkan, "Hyeong pergi sejak lima hari yang lalu. Dia meneleponku malam-malam dan mengatakan kalau dia harus pergi ke London untuk mengurus urusan keluarganya. Dia bilang tidak akan lama tapi ia tidak bilang kapan ia akan kembali."

"Begitu rupanya." Na Yeon terdiam cukup lama selama beberapa setelah menggumamkan kata itu.

Samuel menatap Na Yeon yang saat ini termenung lalu melihat sesuatu pada sorot mata gadis itu. Sesuatu yang terlihat seperti kekecewaan. Samuel tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkan Na Yeon saat ini tapi entah kenapa ia yakin hal itu ada hubungannya dengan Ji Hwan.


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C11
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄