Ji Hwan melipat kedua tangannya di dada memandangi Samuel yang sibuk mengangkat dan menurunkan ponselnya sejak tadi. Ia dan sepupunya itu sudah menghabiskan waktu hampir dua jam duduk di kedai kopi di gedung kantor manajemennya menunggu Oh Jae Suk memunculkan batang hidung. Sutradara musik yang selalu menangani albumnya itu membuat janji dengan Samuel untuk membicarakan rencana pembuatan video musik terbaru Ji Hwan. Lelaki itu berjanji untuk bertemu pada pukul tiga sore namun sampai saat ini ia tak kunjung menampakkan diri.
Ji Hwan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Kalau dia tidak juga datang dalam lima menit, suruh dia temui aku di rumah," geram Ji Hwan.
"Aku mengerti, Hyeong. Jangan mulai mengancamku begitu. Aku sedang berusaha menghubunginya." Samuel menempelkan ponselnya di telinga, menariknya sejenak lalu menempelkannya lagi.
Ji Hwan mengerutkan keningnya lalu memejamkan mata.
Gelap. Lalu samar-samar bayangan seorang wanita muncul di sana. Biasanya, hanya wajah ibu dan adiknya yang tampak di sana tapi sekarang gambaran sesosok malaikat baru timbul.
Seminggu terakhir, ia mengalami hari-hari yang berat.
Setiap kali membuka mata di pagi hari, ia tidak mendengar suara apapun dari ruang dapur. Jika ia lapar, tidak ada orang yang menyiapkan makanan untuknya dan setiap kali ia menyedu kopi, aroma yang menusuk hidungnya membuatnya terusik karena ia selalu teringat akan seseorang. Seseorang yang mengganti kopi di dalam rumahnya menjadi susu hanya karena orang itu mengkhawatirkan kesehatannya.
Sudah tujuh hari ia tidak melihat wanita itu dan ia bertanya-tanya bagaimana keadaannya. Sebenarnya ia hanya membutuhkan satu sentuhan jari saja untuk bertanya langsung pada gadis itu tapi ia selalu mengurungkan niatnya. Ia tidak dapat menemukan alasan yang tepat untuk bisa bicara dengan gadis itu.
Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini tapi sejak malam itu, isi pikirannya hanya dipenuhi dengan gadis itu. Setiap sudut rumahnya, segala hal yang ia temui dalam ruang duduknya dan semua orang yang ia jumpai di jalan mengingatkannya pada gadis itu.
'Lihat, orang itu berambut panjang. Astaga, rambutnya mirip dengan gadis itu.
Oh, ada tulisan bahasa Mandarin dalam produk makanan itu. Gadis itu pasti mengerti artinya.
Ah, kopi ini sangat enak. Na Yeon pasti melarangnya untuk meminumnya jika ia ada di sini.
Baju-bajuku kusut sekali, sepertinya aku harus menyeterikanya. Mesin seterika ini pasti sangat membahayakan kalau gadis itu yang menggunakannya.
Ya Tuhan, lampunya terlalu terang. Mengingatkanku pada makan malam dengan gadis itu.'
Semua hal kecil membuatnya teringat pada Na Yeon dan nama gadis itu memenuhi kepalanya hingga membuatnya hampir gila. Ji Hwan tidak pernah mengalami hal seaneh ini sebelumnya dan ia benar-benar terganggu.
Hal terakhir mengenai Na Yeon yang muncul di benaknya membuatnya khawatir. Ia ingat kalau jadwal operasi pendonoran ginjal gadis itu jatuh di tanggal yang sama dengan konser album Mandarin perdananya. Dan acara itu diadakan satu minggu lagi. Dengan kata lain, waktu menuju operasi ginjal Na Yeon sudah dekat.
Astaga, sebentar lagi Na Yeon akan mempertaruhkan nyawanya tapi ia bahkan belum bertemu gadis itu untuk menanyakan keadaannya.
"Hyeong! Ya Tuhan!"
Bentakan yang dilontarkan Samuel membuat Ji Hwan membuka mata dan mendelik ke arah Samuel. "Ada apa?"
"Aku sudah memanggilmu lima kali tapi kau tidak menyahutiku sama sekali. Kau ini kenapa?"
Ji Hwan mengerang dan membenahi posisi duduknya. "Maaf. Kenapa?"
"Akhir-akhir ini kau sering sekali seperti ini, Hyeong. Sebenarnya ada apa?"
"Tidak apa-apa," Ji Hwan berdalih.
Samuel menopang dagu dan mulai mengeluh dalam bahasa Inggris. "Kalau kau terus bersikap seperti ini bagaimana kau bisa berkonsentrasi untuk konser minggu depan?"
Ji Hwan terdiam, memakukan pandangannya pada gelas tinggi kopi di hadapannya.
"Aku sudah mengurus semua surat-surat yang kau perlukan untuk keberangkatanmu hari Sabtu nanti," kata Samuel lagi.
Ji Hwan mengerutkan kedua alisnya. "Apa? Hari Sabtu?"
"Oh, tolong jangan bilang kau baru mendengarnya sekarang. Aku sudah memberitahumu dari minggu lalu kalau kau sudah harus tiba di Taiwan tiga hari sebelum konser diadakan!"
Ya ampun, ia benar-benar tidak sadar Samuel sudah memberitahunya.
Kalau begitu ia hanya punya waktu tiga hari sebelum keberangkatannya ke Taiwan? Sebelum ia meninggalkan Seoul? Sebelum ia benar-benar tidak bisa bertemu lagi dengan Na Yeon? Astaga.
***
"Onni, apa aku akan baik-baik saja nanti?" Jeong Mi memegang tangan Na Yeon yang duduk di samping ranjang rawatnya dengan erat.
Na Yeon sudah menemani Jeong Mi hampir seharian hari ini dan percakapan mereka tidak pernah lepas dari topik operasi transplantasi ginjal yang diadakan minggu depan. Na Yeon berusaha sangat kuat untuk terlihat baik-baik saja di depan Jeong Mi dan selalu mengucapkan, "Kau akan baik-baik saja. Lagipula kau tidak sendirian. Aku juga akan berada di sampingmu saat operasi nanti."
Soo Min yang sedang datang menjenguk, berdiri di sisi lain ranjang Jeong Mi dan menambahkan, "Benar. Yang akan menjadi pendonor untukmu kan kakakmu sendiri, jadi jangan khawatir. Kau harus kuat, ya? Karena aku akan mentraktirmu jalan-jalan saat kau sembuh nanti."
"Cih, bohong. Orang dewasa selalu suka berbohong," keluh Jeong Mi.
Soo Min mengibas-ibaskan sebelah tangannya. "Aku tidak bohong! Aku benar-benar akan mentraktirmu kalau kau sembuh nanti. Maka dari itu, kau harus sembuh, ya? Kalau kau tidak percaya, kau boleh merekam perkataan Onnimu ini dan menagihnya begitu kau sembuh nanti. Bagaimana?"
"Baiklah, aku setuju! Onni, pinjam ponselmu."
Na Yeon mengulurkan ponselnya pada Jeong Mi lalu terkekeh pelan saat melihat Soo Min dan Jeong Mi saling mengoceh satu sama lain. Sudut-sudut bibirnya pun mengulas senyum saat melihat Jeong Mi tertawa. Ia senang bisa melihat adiknya tenang menjelang operasi dan ia berharap ia sendiri bisa setenang itu.
Setelah memastikan Jeong Mi tidur dengan baik malam itu, Na Yeon mengajak Soo Min untuk makan malam bersama di kantin rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam saat mereka duduk di meja makan untuk dua orang yang terletak di ujung ruangan kantin dekat jendela. Hari memang sudah malam, tapi orang-orang masih saja berlalu-lalang di sana dengan sangat sibuk. Tidak sedikit juga dokter bermantel putih yang memenuhi meja makan di sekitar mereka.
"Jadi kau sudah tidak datang lagi ke rumahnya?" Soo Min angkat bicara sambil menyendok nasi.
Na Yeon sama sekali belum membicarakan soal itu dengan Soo Min hari ini tapi sepertinya sahabatnya yang satu ini mempunyai ingatan yang kuat jika membicarakan masalah-masalah semacam ini. Ia ingat terakhir kali ia menceritakan perpisahannya dengan Joo Ji Hwan adalah tiga hari yang lalu.
Na Yeon menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak punya alasan lagi untuk datang ke sana. Albumnya sudah selesai, konsernya akan dimulai," Na Yeon mengangkat bahu, "Tidak ada lagi yang perlu kukerjakan di sana."
"Hmm," Soo Min meletakkan sikutnya di atas meja lalu sambil menggoyang-goyangkan sendoknya, ia bertanya, "Tapi dia tahu mengenai operasimu minggu depan?"
"Aku sudah memberitahunya."
Soo Min memiringkan kepala. "Sepertinya dia sibuk mempersiapkan konsernya itu."
Sibuk. Sibuk?
"Hmm, sepertinya begitu."
"Ngomong-ngomong, kau sudah siap?" tanya Soo Min. Na Yeon mengangkat alis, tidak mengerti, membuat Soo Min menegaskan, "Untuk operasi nanti."
"Ah," Na Yeon menundukkan kepala. "Siap atau tidak, aku harus siap."
"Tapi bukannya kau punya...,"
Na Yeon mendongak pada Soo Min dan mendapati temannya itu menatapnya dengan ragu-ragu. Ia mengerti maksud tatapan itu. Lalu ia menjawab, "Dokter sudah memberiku vitamin untuk menguatkan jantungku. Kuharap tidak akan terjadi apapun selama operasi nanti."
"Oh, syukurlah. Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa."
"Kalau-kalau terjadi sesuatu denganku, bisakah kau membantuku melakukan sesuatu?"
Kedua mata Soo Min melebar mendengar perkataan Na Yeon. "Kau ini bicara apa?! Kubilang tidak akan terjadi apa-apa. Jangan membuatku takut!"
Na Yeon tidak bermaksud untuk tertawa tapi melihat ekspresi wajah Soo Min membuat sudut bibirnya naik.
"Jangan tertawa, Na Yeon. Ini tidak lucu!" gerutu Soo Min.
"Aku tahu. Tapi aku tidak bercanda," sela Na Yeon. "Setiap operasi memiliki dua kemungkinan, Soo Min; gagal atau berhasil. Dan jika gagal, ada satu hal yang ingin kulakukan dan hanya kau yang bisa membantuku."
Soo Min meletakkan alat makannya di atas meja lalu memandang Na Yeon dengan kerutan alis. "Apa itu?"
***
Ia mencengkeram roda kemudinya dan memandang lurus ke luar kaca mobil. Pintu masuk lobi gedung itu tidak pernah terlihat menyeramkan bagi Ji Hwan tapi kali ini, ia benar-benar gusar. Ia sudah berada di lapangan parkir gedung rumah sakit St. Mary selama tiga puluh menit namun ia belum melihat Na Yeon muncul sejak tadi.
Hari ini ia membulatkan tekad untuk menemui gadis itu. Ia sudah tidak tahan dengan isi kepalanya yang membuatnya tidak bisa tidur berhari-hari dan ia ingin mengakhirinya malam ini. Ia ingin konsernya nanti berjalan mulus dan itu hanya bisa terwujud jika pikirannya tenang. Dan pikirannya hanya bisa tenang setelah melihat gadis itu.
Ji Hwan memutuskan untuk turun dan memasuki gedung rumah sakit setelah dua puluh menit berlalu. Ia masih ingat dimana kamar rawat adik Na Yeon berada dan ia langsung melesat menuju tempat itu begitu ia keluar dari lift. Kakinya yang melangkah cepat akhirnya berhenti di depan pintu kamar putih yang pernah didatanginya dulu. Lalu dengan perlahan, ia membuka pintu dan melongok ke dalam.
Semua anak yang dirawat dalam kamar itu sudah tertidur. Dan ia tidak mendapati satu orang dewasa pun di sana. Ji Hwan menarik kembali tubuhnya dan menutup pintu. Lalu saat ia berbalik badan, ia tersentak kaget. Gadis yang ia cari sudah berdiri di depannya dengan seorang wanita berambut pendek di sebelahnya.
Kalimat pertama yang dilontarkan gadis itu saat melihatnya adalah namanya. Lalu setelah itu ia bertanya mengapa ia bisa ada di tempat ini dan ia membutuhkan beberapa detik yang lama untuk menjawab, "Aku ingin bertemu denganmu."
"Oh, kau tidak menghubungiku dulu? Bagaimana kalau aku tidak di sini?" tanya Na Yeon dengan seulas senyum yang sangat ia rindukan.
Ji Hwan mengerjap sesaat. "Aku takut kau tidak akan mengangkat teleponku."
"Ah."
"Na Yeon, aku pulang dulu. Sekarang sudah hampir larut. Besok aku akan ke sini lagi," wanita yang berdiri di sampingnya tiba-tiba menyeletuk lalu menoleh pada Ji Hwan. Kedua mata wanita itu melebar saat melihatnya, lalu dia setengah membungkuk untuk memberi salam. "Senang bertemu denganmu," ujarnya dengan kikuk.
Ji Hwan membalas salam tersebut dengan ucapan yang sama dan membuat wanita itu pergi meninggalkannya dan Na Yeon sendiri.
"Lama sekali tidak melihatmu. Bagaimana kabarmu?" Na Yeon menyahut.
Ji Hwan menelan ludah saat melihat gadis itu tersenyum. Lalu ia menegapkan badan. "Bisakah kau ikut denganku sebentar? Ada yang ingin kubicarakan."
"Bicara?" Na Yeon berpikir sejenak lalu mengangguk. "Tentu."
Dalam beberapa saat yang singkat, mereka berdua sudah duduk bersebelahan dalam mobil Ji Hwan. Ji Hwan menyalakan mesin mobil dan penghangat begitu mereka sudah menutup pintu. Hanya suara mesin yang memenuhi suasana saat ini sampai akhirnya Na Yeon membuka omongan lebih dulu. "Jadi bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja?"
"Tidak," jawab Ji Hwan, terlalu cepat.
Na Yeon menoleh pada Ji Hwan. "Kenapa?"
"Karena kau membuatku gila."
"Apa?"
Ji Hwan mengulangi perkataannya. Lalu ia memakukan tatapannya pada mobil-mobil yang terparkir di seberang mobilnya di lapangan parkir. Na Yeon yang tidak mengatakan apapun membuat Ji Hwan menambahkan, "Aku akan berangkat ke Taiwan tiga hari lagi dan aku tidak akan bisa pergi dengan tenang kalau aku tidak mengatakan ini."
Ji Hwan menghembuskan napas dengan kasar. Saat dilihatnya Na Yeon tidak memberikan reaksi apapun, Ji Hwan kembali melanjutkan omongannya, "Kau tidak datang ke rumahku selama satu minggu dan selama itu pula wajahmu memenuhi kepalaku hingga membuatku tidak bisa melakukan apapun.
"Kemana pun aku pergi aku selalu teringat padamu dan setiap kali aku pulang ke rumah aku selalu kelaparan karena aku lupa kalau kau tidak ada. Aku selalu tidak bisa tidur karena aku selalu menebak-nebak apakah kau akan datang besok pagi? Apakah akan terdengar suara di dapur jika aku membuka mata besok pagi? Apakah aku akan bertemu lagi denganmu?" Ji Hwan berhenti sejenak. Ia tidak berani menggerakkan bola matanya untuk melihat gadis itu. Ia takut jika ia menatap gadis itu, lidahnya kelu seperti malam itu. Ia tidak mau kejadian itu terulang lagi.
Ji Hwan membasahi bibir lalu berdeham sejenak. "Aku selalu ingin menghubungimu tapi aku mengurungkan niatku. Pertama karena aku tidak dapat menemukan alasan yang tepat untuk bicara denganmu dan kedua, aku takut kau tidak akan mengangkat teleponku.
"Aku tidak tahu perasaan macam apa ini tapi aku selalu memikirkanmu akhir-akhir ini. Siang dan malam. Dan itu membuatku gila." Ji Hwan menggigit bibirnya dan menahan napas. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang saat ini namun di sisi lain, ia juga merasa sangat lega. Rasanya seperti ia baru saja mendapat oksigen setelah menyelam selama dua menit tanpa bernapas.
Ia memberanikan diri untuk memalingkan tatapannya pada Na Yeon. "Sebelum aku pergi, aku hanya ingin memberitahumu kalau...," Ji Hwan menarik napas sejenak, "...aku merindukanmu."
Kedua mata mereka bertemu. Ji Hwan dapat melihat rahang gadis itu mengeras dan ada cahaya yang bergerak-gerak dari kedua mata gadis itu.
"Maafkan aku," ucap Na Yeon, lirih. "Karena aku tidak ingin bertemu denganmu."
Ji Hwan yakin jantungnya berhenti berdetak selama satu detik barusan. Ia mengerutkan keningnya dan diam-diam memiringkan posisi duduknya untuk melihat Na Yeon lebih jelas.
"Aku tidak ingin menemuimu karena aku takut aku tidak akan bisa melihatmu lagi setelah operasi. Aku takut aku tidak dapat bertahan dan-,"
Ji Hwan tahu apa kelanjutan dari perkataan Na Yeon, karena itu ia menyela, "Tidak mungkin."
"Aku pernah memberitahumu kalau aku punya riwayat jantung yang buruk sejak kecil dan hal itu yang membuatku kemungkinan tidak dapat bertahan dalam operasi," jelas Na Yeon dengan suara parau.
Sebelah tangan Ji Hwan tanpa sadar menggenggam roda kemudinya dengan sangat kuat.
"Jika aku membatalkan operasinya, Jeong Mi tidak akan selamat. Dan jika itu terjadi, aku tidak akan pernah memaafkan diriku. Karena itu aku tidak mau bertemu denganmu," Na Yeon berhenti sejenak untuk menarik napas. "Aku takut aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut aku tidak bisa lagi berada di sampingmu. Aku takut aku tidak akan bisa lagi mendengar suaramu di TV. Aku takut aku akan benar-benar membatalkan operasinya jika aku terus menemuimu... karena aku sudah jatuh cinta padamu."
Ji Hwan memandang Na Yeon tanpa berkedip dan menyadari dirinya tidak bernapas selama lima detik.
Di saat yang bersamaan, Ji Hwan melihat air mata jatuh dari kedua mata Na Yeon. Saat itu juga Ji Hwan merasa banyak hal bergejolak dalam dadanya. Ia gembira karena bisa mendengar pernyataan tulus dari gadis itu secara langsung namun ia juga gundah karena ia dapat merasakan dengan pasti rasa takut yang mengusik Na Yeon. Dan sepertinya rasa takut itu lebih besar dari rasa gembira yang ada dalam dadanya karena saat ini, ia merasa langit-langit dalam dunianya jatuh dan pecah berkeping-keping.
Ji Hwan mencondongkan tubuhnya dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia tidak peduli lagi apakah gadis itu menerimanya atau tidak. Yang terpenting saat ini adalah ia harus bisa meyakinkan Na Yeon kalau segalanya akan baik-baik saja.
Merasakan Na Yeon berada sedekat ini dengannya, ia merasa utuh. Ia merasa seolah-olah sebagian dari dirinya yang hilang sudah ditemukan dan kembali menyatu dengannya. Pada saat itu ia berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan pernah melepaskan wanita ini. Apapun yang terjadi, sampai kapan pun.
***
"Peralatan mandi?"
"Sudah."
"Baju hangat?"
"Kupikir di sana tidak sedingin di sini."
"Kau tetap membutuhkan baju hangat. Sudah atau belum?"
"Sudah."
"Lalu apa lagi?"
Na Yeon melihat ke sekeliling kamar Ji Hwan sambil berlutut di sebelah koper besar Ji Hwan yang terbuka lebar. Setelah memastikan semua sudah lengkap, Ji Hwan menutup koper dan tas bajunya dan meletakkannya di sudut kamar.
"Apa kau sendiri sudah menyiapkan pakaianmu untuk dibawa ke rumah sakit?" tanya Ji Hwan.
Na Yeon menggeleng pelan. "Aku baru menginap di rumah sakit tiga hari lagi. Aku bisa menyiapkannya besok."
Ji Hwan tiba-tiba terdiam dan menatap Na Yeon sambil tersenyum. Pandangan itu membuat Na Yeon mengangkat kedua alis, "Kenapa kau memandangiku begitu?"
"Aku sungguh-sungguh berharap kau bisa ikut denganku, Na Yeon," ujar Ji Hwan.
Na Yeon berjalan menghampiri Ji Hwan. "Kau sudah mendapatkan penggantiku, untuk apa lagi aku ikut denganmu?"
"Kau tidak tahu penerjemah penggantimu itu sudah tua. Dan dia laki-laki! Aku jadi tidak bersemangat," gurau Ji Hwan.
Na Yeon menyipitkan kedua matanya. "Jadi kau baru bersemangat kalau ada wanita cantik?"
"Ya. Sepertimu," celetuk Ji Hwan lalu memeluk Na Yeon dengan satu gerakan cepat. Sambil melingkarkan kedua lengannya pada bahu Na Yeon, Ji Hwan berbisik, "Bolehkah aku memberikan sesuatu sebelum aku pergi?"
Na Yeon belum sempat menjawab karena Ji Hwan sudah lebih dulu menarik diri. Lalu kedua mata Ji Hwan menatapnya lekat. "Jika aku menciummu, apakah jantungmu akan baik-baik saja?"
Pertanyaan Ji Hwan barusan berhasil membuat Na Yeon membelalakkan kedua matanya.
Ji Hwan meletakkan kedua tangannya pada pinggang Na Yeon tanpa melepaskan tatapan matanya dari wanita yang menggenggam seluruh dunianya. Na Yeon tidak mengucapkan apapun selama Ji Hwan menunggu jawaban darinya. Akhirnya, Ji Hwan kembali membuka mulut, "Kalau kau tidak menjawab, bolehkah aku mencari tahu sendiri?"
Na Yeon mengerjap tidak percaya. Ia baru hendak mengatakan sesuatu namun Ji Hwan bergerak lebih cepat.
Dalam waktu kurang dari dua detik, Ji Hwan sudah mendaratkan bibirnya pada bibir Na Yeon dan ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang begitu ia menyentuh wanitanya. Ia menarik Na Yeon lebih dekat, lebih erat. Suhu tubuhnya memanas saat ia merasakan napas Na Yeon mengusap kulitnya. Dadanya terasa penuh dan ia merasa seperti akan meledak dalam beberapa detik.
Ia ingin wanita ini saja yang mengisi dekapannya. Ia tidak ingin melepaskan wanita ini. Ia tidak pernah mengingini apapun di dunia ini seperti ia menginginkan Na Yeon untuk terus berada di sampingnya. Hanya Na Yeon yang bisa membuatnya seperti ini dan ia berjanji akan melakukan apapun untuk terus membuat Na Yeon tinggal dalam hidupnya. Dalam hatinya.
Bibir Ji Hwan tanpa sadar bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Lalu ia menghentikan ciumannya saat ia tahu ia hampir melewati batas. Ia tidak ingin membuat Na Yeon takut.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ji Hwan, mengamati mata dan bibir gadis itu bergantian.
Na Yeon mengangguk pelan. "Kau memberikan sesuatu yang indah."
"Berjanjilah padaku kalau kau akan bertahan. Berjanjilah kalau kau akan kembali."
Ji Hwan menunggu reaksi Na Yeon yang kini hanya berjarak lima sentimeter darinya. Lalu Na Yeon tersenyum, "Aku janji. Aku berjanji aku akan kembali padamu, apapun yang terjadi."
Ji Hwan kembali mendekap Na Yeon dan mencium rambut wanitanya itu. "Sekarang aku menemukan kalimat yang tepat yang bisa menjelaskan perasaanku saat ini."
"Oh, ya? Apa itu?"
Ji Hwan mengerahkan seluruh tenaga yang ia miliki dalam dadanya untuk menjawab, "Aku mencintaimu."