"Joo Ji Hwan, Joo Ji Hwan, Joo Ji Hwan."
Soo Min meletakkan mesin setrika di samping papan penyeterika baju dan berjalan menghampiri Na Yeon yang sedang menata pakaian ke dalam plastik pembungkus baju. "Joo Ji Hwan."
Sudah seminggu berlalu sejak Na Yeon menceritakan cerita mengenai pekerjaan barunya pada Soo Min dan sahabatnya itu masih saja terpukau sampai saat ini. Soo Min bukan salah satu penggemar berat Joo Ji Hwan. Satu-satunya hal yang membuatnya tidak henti-hentinya menggelengkan kepalanya dengan takjub adalah karena sahabatnya sendiri bisa bekerja dengan artis yang cukup ternama di Korea seperti Joo Ji Hwan. Ia merasa seperti mempunyai teman orang penting.
Soo Min duduk di samping Na Yeon dan mengambil tumpukan baju yang belum dimasukkan ke dalam plastik. Sambil merapikan baju-baju di hadapannya, ia berkata, "Apa saja yang sudah kau lakukan dengannya di rumah sebesar itu?"
"Hei! Memangnya aku ini pacar simpanannya?"
Soo Min terkekeh. "Kau bilang kan kau selalu mengerjakan proyek itu berdua. Di studio. Dalam rumah sebesar itu! Tidak mungkin tidak terjadi apa-apa."
"Aku ini salah satu stafnya. Tidak mungkin terjadi apa-apa. Lagipula... dia tidak seramah yang kau pikirkan."
Soo Min meletakkan tumpukan pakaian yang sudah diangkatnya kembali ke atas meja. Nalurinya sebagai wanita penggosip membuatnya tidak bisa tinggal diam mendengar pernyataan Na Yeon hingga membuatnya bertanya, "Apa maksudmu tidak ramah?"
Na Yeon memasukkan tumpukan pakaian yang sudah terbungkus rapi dengan plastik ke dalam rak baju lalu beralih pada Soo Min. Ia baru saja ingin menjawab pertanyaan Soo Min saat tiba-tiba suara dering ponselnya berteriak nyaring.
Na Yeon mengangkat telepon tersebut dengan satu gerakan cepat. "Halo?"
"Song Na Yeon-ssi?"
Ia mengenali suara itu. Itu suara Samuel Han. Suara pria yang satu itu terdengar sangat ramah dan menyenangkan. Siapa saja bisa tersenyum dibuatnya hanya dengan sapaan yang singkat seperti ini. Na Yeon sedikit membungkukkan badannya lalu menjawab, "Ya. Samuel?"
"Ya. Haha. Panggil saja aku Sam. Begini... aku baru saja selesai membuat kontrak kerja dan rincian pembayaran gajimu dan sepertinya aku harus bertemu denganmu untuk menjelaskan beberapa hal mengenai pekerjaanmu. Apa kau bisa datang ke kantorku sekarang?"
"Oh, tentu. Aku bisa. Apa aku harus datang sekarang?"
"Hmm, begitu lebih baik. Aku akan menunggu. Bagaimana?"
"Baiklah. Aku akan segera ke sana. Terima kasih sudah memberitahuku," Na Yeon tersenyum lalu menutup teleponnya.
Soo Min yang memperhatikan dari jauh tiba-tiba mengomentari, "Samuel? Asisten Joo Ji Hwan yang kau ceritakan itu, ya?"
Na Yeon mengangguk. "Aku pergi dulu. Mereka memintaku untuk datang. Nanti malam aku akan membantumu kalau sempat. Sampai jumpa."
Soo Min mendesah kesal lalu melambai pada temannya yang langsung bergegas keluar dari toko itu. "Sampaikan salamku pada Joo Ji Hwan!"
***
"Wartawan lagi-lagi berkerumun di bawah sana. Sepertinya mereka mencarimu lagi, Hyong," Samuel melipat kedua tangannya dan melihat ke bawah lewat kaca jendela kantornya.
Ji Hwan tidak menjawab. Ia memakukan pandangannya pada halaman majalah di hadapannya, mencoba mengabaikan sekelilingnya.
Beberapa hari terakhir ia merasa tidak baik. Kondisi fisik maupun batinnya tidak dalam kondisi baik-baik saja dan ia butuh istirahat. Ia sudah berniat memberitahu Samuel namun aksinya selalu batal karena sepupunya itu terlebih dulu membicarakan jadwal-jadwal pekerjaannya. Mungkin nanti. Kapanpun itu ia harus bicara pada Samuel untuk memberinya waktu untuk rehat.
Ruang kerja Samuel hening sesaat. Beberapa menit kemudian suara bising lagu I Feel Good memenuhi ruangan dan membuat Samuel terhentak. Ia mengangkat teleponnya dan menjawab dengan suara yang tenang, "Halo? Ah, ya... naik saja ke lantai 10 dan beritahu mereka kau ingin bertemu denganku... baiklah... kutunggu."
Ji Hwan mencuri pandang ke arah Samuel yang kini berjalan menuju meja kerjanya. Ia membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah map hitam yang tebal. Ia membuka map tersebut, melihatnya beberapa saat lalu menutupnya kembali. Melihat itu membuat Ji Hwan berpikir, apa lagi yang sedang dikerjakan anak itu untuk membuatnya sibuk?
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dan seorang resepsionis berjalan masuk diikuti oleh seorang gadis di belakangnya. Gadis berambut panjang dengan poni tipis di dahinya. Butuh beberapa detik bagi Ji Hwan mengenali gadis itu sebagai Na Yeon.
Apa yang dilakukannya di sini?
"Song Na Yeon-ssi. You're here!"
Na Yeon membungkukkan badannya tanda hormat lalu tersenyum. Setelah itu ia beralih pada Ji Hwan yang menatapnya dari ujung ruangan dan melakukan hal yang sama.
Ji Hwan mengerutkan alisnya bingung. "Ada apa kau kemari?"
"Aku yang memintanya. Aku harus memberikan sedikit penjelasan soal pekerjaannya. Tidak apa-apa, kan? Selama kau tidak keluar bersamaan dengan Na Yeon, tidak akan ada rumor. Tenang saja, Hyong," Samuel menyela sambil berjalan menghampiri Na Yeon.
Gadis itu tersenyum dan terdiam. Ji Hwan baru menyadari kalau sejak awal gadis itu memasuki ruangan, pandangan kedua matanya mengarah kepadanya. Dan gadis itu memperhatikannya.
"Ayo. Kita bicara di ruang rapat." Samuel menepuk bahu Na Yeon lalu berjalan mendahului Na Yeon keluar ruangan.
Na Yeon membungkukkan badannya dan tersenyum pada Ji Hwan lalu menyusul Samuel keluar ruangan.
Secepat Na Yeon menutup pintu, Ji Hwan menyentuh wajahnya dengan tangannya. Apa ada yang aneh dari wajahnya? Kenapa gadis itu memperhatikannya seperti itu?
***
Na Yeon menatap kertas yang diletakkan di atas map berwarna hitam oleh Samuel di hadapannya. Ia membaca satu per satu kalimat dan paragraf yang tertera pada kertas tersebut lalu menandatangani surat perjanjian kerja tersebut.
"Jadi aku akan mendapatkan bonus setiap satu lagu yang berhasil diselesaikan?" Na Yeon menutup map hitam di hadapannya dan mendorongnya pada Samuel.
"Yup. Dan bayaranmu akan kami bayar per minggu. Kau juga harus ikut dengan tim kami pada tanggal 1 April nanti sebagai penerjemah Ji Hwan Hyong. Lalu setelah acaranya selesai -dan kalau semuanya berjalan lancar- kami akan mengirimkan bonus untukmu. Isn't that great?"
Na Yeon mengacungkan kedua ibu jarinya pada Samuel dan tertawa kikuk. "Aha... ya. Good, good."
"Oke. Hanya itu saja yang ingin kujelaskan padamu. Kalau kau ada pertanyaan, jangan sungkan untuk meneleponku."
"Baiklah, terima kasih."
Mereka berdua bangkit dari kursi dan sama-sama membungkukkan badan. Samuel berjalan perlahan menuju pintu ruang rapat lalu berbalik pada Na Yeon saat ia meraih gagang pintu. "Kau boleh pulang sekarang, Na Yeon-ssi."
"Tunggu. Ada yang ingin kubicarakan," sahut Na Yeon.
Samuel mengangkat kedua alisnya dan melepaskan pegangannya pada gagang pintu.
***
Para wartawan kali ini tidak 'sehaus' terakhir kali mereka mengejar Ji Hwan. Mereka hanya mempertanyakan status hubungan Ji Hwan lalu berjalan mundur secara serempak saat Ji Hwan sudah memasuki mobil. Tingkah orang-orang itu membuat Samuel lebih bisa mengemudikan mobil dengan lebih santai kali ini.
Mereka sedang berhenti di sebuah lampu merah saat Samuel tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Hyong, apa kau baik-baik saja?"
Ji Hwan mengerutkan alisnya dan menoleh pada Samuel. "Memangnya kenapa?"
Samuel tertawa. "Tidak apa-apa. Hanya saja... kau kelihatan seperti... kurang sehat."
"Bagaimana kau tahu?"
Samuel membelalakkan kedua matanya pada Ji Hwan. "Ternyata benar."
"Benar?"
"Tadi siang, Na Yeon memberitahuku kalau keadaanmu sedang tidak baik. Katanya akhir-akhir ini kau terlihat kelelahan jadi aku mencoba memastikan. Ternyata benar." Samuel mengalihkan pandangannya ke arah lampu lalu lintas yang tak kunjung berubah warna sambil bergumam, "Kenapa dia bisa tahu? Rasanya dalam seminggu kau baru memanggilnya dua kali. Kau tidak memberitahunya hal-hal seperti itu, kan?"
Ji Hwan menggeleng. "Tidak, tapi aku memang butuh rehat. Setidaknya waktu senggang untuk menyelesaikan proyek albumku."
"Ah, benar. Kalau begitu aku harus mengatur ulang jadwal-jadwalmu."
Lampu merah berganti hijau. Samuel menginjak pedal gas dan kembali menjalankan mobilnya. Sambil berfokus ke arah jalanan di depannya, Samuel menyeletuk, "Ngomong-ngomong... Hyong, kenapa kau tidak memberitahuku sejak kemarin kalau kau sedang sakit? Kau itu punya wajah yang tidak bisa berubah jadi sangat sulit bagiku untuk tahu kondisimu hanya lewat wajah saja. Jadi kau harus memberitahuku kapan pun kau membutuhkan waktu untuk istirahat. Aku tidak mau membunuhmu dengan jadwal-jadwal yang kubuat jadi, kau harus bekerja-sama denganku. Bagaimana?"
"Aku sudah memberitahumu. Kau sudah tahu sekarang."
Samuel mendesah pelan dan memutar roda kemudi mobil.
Ji Hwan mengalihkan pandangannya pada pemandangan jalan raya di sampingnya.
Jadi alasan gadis itu memperhatikannya tadi siang adalah karena wajahnya yang terlihat tidak sehat? Apakah ia terlihat begitu sakit di mata gadis itu hingga membuatnya harus memberitahu Samuel kalau ia sedang dalam kondisi buruk? Apapun alasannya, ia harus berterimakasih pada gadis itu. Bagaimanapun, gadis itu sudah membuatnya mendapat waktu rehat tanpa perlu repot-repot memberitahu Samuel.
***
"Jadi kau benar-benar tidak akan kembali ke sekolah? Walaupun aku memohon dan berlutut di hadapanmu sekarang?" Shin Hyeon Woo meletakkan gelas kacanya di atas meja dan memenuhinya lagi dengan bir.
Ia dan Na Yeon memutuskan untuk bertemu di luar pada jam makan siang. Hyeon Woo yang baru mendengar kabar mengenai pengunduran diri Na Yeon, tidak ingin ketinggalan berita dan langsung meminta penjelasan saat itu juga. Dan di sinilah mereka berakhir, duduk berhadapan di kedai nasi sup ayam langganan Hyeon Woo.
Na Yeon menopang dagu di atas meja, memperhatikan seniornya yang mulai mabuk dengan gelengan kepala. "Ya, sepertinya begitu. Bayaran yang diberikan sama dengan gaji yang kuterima di sekolah jadi kuterima saja. Selain itu, jarak tempat kerjaku yang baru juga sangat dekat dari rumah."
"Di mana?"
"Di Gwanak."
"Suatu saat aku akan menghampirimu ke tempat kerjamu untuk memberi kejutan sebelum aku pergi ke Tokyo. Kau pasti akan merindukanku," Hyeon Woo tertawa kecil lalu kembali menegak birnya.
"Kapan rencananya kau meninggalkan Korea?"
Hyeon Woo meletakkan gelas kacanya di atas meja lalu menengadah menatap Na Yeon. Ia baru saja hendak menceritakan beberapa hal yang ada di benaknya namun aksinya itu tertunda oleh dering ponsel Na Yeon yang tiba-tiba mengejutkan mereka.
"Ah, sebentar." Na Yeon merogoh isi tas tangannya lalu mengeluarkan ponselnya. Ia menyentuh layar ponsel lalu dengan cepat menjawabnya, "Halo?"
Hyeon Woo memperhatikan gadis berambut panjang di hadapannya tanpa berkedip. Wajah berkulit putih itu, kedua matanya yang lebar, hidungnya dan segala hal yang dimiliki gadis ini masih tidak bisa berhenti mengusik isi pikiran Hyeon Woo. Ia sangat mengagumi gadis ini. Bahkan sampai sekarang, ia masih saja memikirkan cara untuk bisa mendapatkan Na Yeon.
"Ah, aku sudah selesai... maaf, aku akan segera kembali... baiklah, sampai jumpa." Na Yeon membungkukkan badannya lalu menutup telepon. Pandangan matanya lalu mendarat pada Hyeon Woo yang belum berhenti memandanginya. "Seonbae, sepertinya aku harus pergi. Makan bersamamu selalu membuatku lupa waktu. Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu jadi aku sudah boleh pergi sekarang."
"Baiklah, pergi. Pergi sana," Hyeon Woo mengibaskan tangannya pada Na Yeon yang sedang berdiri membereskan barang-barangnya.
"Maaf, Seonbae. Lain kali kita makan malam bersama, ya. Sampai jumpa!" Na Yeon melambaikan tangannya pada Hyeon Woo lalu bergegas keluar dari kedai dengan langkah cepat
Hyeon Woo terdiam. Ia kembali menegak birnya dan menghabiskan makanannya yang masih tersisa di atas piring.
***
Ji Hwan memutar-mutar bolpoinnya dengan jarinya. Ia terdiam di depan meja komputer studionya yang berlayar hitam. Ia sudah menemukan nada yang cocok untuk lagu pertamanya namun ia tidak bisa menemukan kata-kata yang cocok untuk diletakkan di bait akhir. Ah, kepalanya pusing. Ia butuh kopi.
Ji Hwan bangkit dari kursi putarnya lalu berjalan keluar menuju ruang dapur. Saat ia menginjakkan kakinya menghadap ruang tamu, ia tertegun. Ia baru teringat sesuatu.
Dua jam yang lalu Na Yeon meminta ijin kepadanya untuk keluar makan siang dengan seseorang dan berjanji untuk kembali pada jam dua siang. Sekarang jam dinding rumahnya menunjukkan pukul setengah tiga sore. Kemana anak itu pergi? Kenapa dia belum kembali juga?
Ji Hwan mengangkat cangkir kopinya lalu berjalan menuju ruang duduk. Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor Na Yeon yang sudah disimpannya dalam kontak teleponnya.
"Halo?" Gadis itu menjawab setelah deringan kedua.
Ji Hwan mendesah. "Kau sudah selesai makan siang?"
"Ah, aku sudah selesai."
"Kalau kau sudah selesai, cepatlah kembali. Aku membutuhkan bantuanmu."
"Maaf, aku akan segera kembali."
Ji Hwan mengangguk. "Baiklah."
"Baiklah, sampai jumpa."
Ji Hwan menutup teleponnya dan membanting ponselnya ke atas sofa di sampingnya.
Entah mengapa ia tiba-tiba merasa kesal. Apa yang dilakukan gadis itu hingga memakan waktu selama ini? Memangnya ia menghabiskan waktu berapa lama untuk makan siang? Apa karena ia pikir ia memiliki banyak waktu senggang?
Yah, kalau dipikir-pikir, memang benar. Gadis itu memiliki banyak waktu senggang. Selama ini, tugas Na Yeon hanyalah menerjemahkan lirik buatannya lalu setelah selesai, gadis itu hanya menunggu untuk tugas selanjutnya. Kadang-kadang dia hanya membantu memberi saran untuk nada lagunya. Selain itu, tidak ada hal yang perlu dikerjakan.
Sepertinya pekerjaan yang diberikan untuk gadis itu terlalu mudah. Tapi apa boleh buat? Dia memang dipekerjakan untuk itu.
Ji Hwan meletakkan cangkir kopinya di atas meja ruang tamunya lalu berjalan menuju piano Grandnya. Ia menyentuh tuts piano dengan jari-jarinya lalu duduk. Lagu pertama yang muncul di benaknya adalah When The Love Falls. Entah mengapa, setiap saat menyentuh piano, tidak ada lagu lain yang diingatnya selain lagu itu.
Lagu itu tidak memiliki kenangan tersendiri namun lagu itu selalu mengingatkannya pada sebuah dongeng. Dongeng yang selalu dibacakan oleh Ibunya setiap saat ia tidak bisa tidur saat ia masih kecil. Kisah tentang Pangeran Buruk Rupa dan Putri Cantik. Lewat cerita itu, Ibunya memberitahunya kalau cinta sejati akan datang dengan sendirinya kallau kita menunggu. Menunggu seperti Pangeran Buruk Rupa yang menantikan keajaiban.
Terkadang, setiap kali memainkan lagu itu, Ji Hwan merasa kalau ia memiliki kesamaan dengan Sang Pangeran dalam dongeng itu. Ia merasa kalau ia juga sedang menanti sebuah keajaiban. Keajaiban yang bisa mempertemukannya kembali dengan ibunya. Keajaiban yang bisa membuatnya bertemu dengan cinta sejatinya.
Cinta sejati.
Ia belum pernah merasakan cinta. Ia belum pernah menemukan seseorang yang bisa memberitahunya arti cinta selain ibunya.
Tanpa sadar, jari-jari Ji Hwan sudah memainkan lagu itu selama beberapa kali. Ia berhenti bermain saat ia mendengar suara bel pintu pagarnya berbunyi. Itu pasti Na Yeon.
Ji Hwan bangkit dari bangku pianonya dan beranjak menuju pintu depan. Tanpa menekan mesin penjawab, ia membuka pintu pagarnya. Dari balik jendela, Ji Hwan dapat melihat gadis itu berjalan masuk. Namun ada yang aneh dari caranya berjalan. Gadis itu berjalan dengan susah payah sambil menyeret sebelah kakinya dengan kesakitan. Apa yang terjadi dengannya?
Ketika Na Yeon sudah berada di tangga teras rumahnya, Ji Hwan membuka pintu depannya dan berjalan keluar.
"Apa yang terjadi denganmu? Kau tidak apa-apa?" tanyanya pada gadis yang sedang berusaha menaiki tangga teras rumahnya tersebut.
Na Yeon menengadah dan membungkukkan badannya, memberi salam. Ia tersenyum malu. "Ji Hwan-ssi. Maaf aku menghabiskan terlalu banyak waktu. Temanku bicara banyak hal dan-"
"Kakimu...."
Na Yeon mengalihkan pandangannya ke arah kakinya lalu kembali pada Ji Hwan. Ia terkekeh malu. "Ah, ini. Tadi saat aku turun dari bus, seseorang di belakangku tanpa sengaja mendorongku dan membuatku terjatuh jadi... kakiku terkilir."
"Astaga. Kau bisa berjalan masuk?"
Na Yeon menggerakkan kakinya dan meringis saat mencoba beranjak naik ke atas anak tangga. "Ah...."
***
"Ah...." Na Yeon meringis saat merasakan rasa sakit pada pergelangan kakinya. Rasa sakit itu sudah menyiksanya sejak ia berjalan menuju rumah Ji Hwan dan entah mengapa bertambah parah begitu ia sampai di sini. Ia memperhatikan pergelangan kakinya yang membiru lalu menengadah pada Ji Hwan.
Ia baru saja hendak meminta maaf pada Ji Hwan namun pria itu sudah terlebih dulu berdiri di sampingnya dengan cepat dan membungkukkan badan. "Lingkarkan lenganmu di bahuku. Kau tidak akan bisa masuk jika tidak ada yang membantumu," ujar Ji Hwan, datar.
Kedua mata Na Yeon melebar. Apa pria itu baru saja menawarkan bantuan? Apa ia tidak salah dengar?
"Na Yeon-ssi. Cepat, aku mulai kedinginan," Ji Hwan menambahkan.
Mendengar ucapan itu entah mengapa membuat Na Yeon langsung melakukan perintah Ji Hwan. Ia melingkarkan lengannya pada bahu pria yang saat ini berada di sebelahnya lalu mengangkat kaki kirinya yang terkilir. Ia merasa tidak enak harus merepotkan orang lain seperti ini. Apalagi orang seperti Ji Hwan.
Na Yeon menahan napas saat Ji Hwan menahan tubuhnya perlahan dan mengangkatnya naik melewati satu per satu anak tangga di hadapannya. Ia sempat mencuri pandang pada pria berambut cepak itu dan ia sedikit gugup. Dari sudut matanya, ia seperti melihat orang lain. Seseorang yang berbeda.
Na Yeon melepaskan lengannya dari bahu Ji Hwan lalu berjalan menjauh saat ia berhasil menginjakkan kaki di teras depan pintu. Ia baru sadar kalau ia menahan napasnya cukup lama.
"Sakit?" Ji Hwan menunduk ke arah pergelangan kaki Na Yeon.
Na Yeon mengibas-ibaskan tangannya dan tertawa pelan. "Ti-tidak, tidak. Sepertinya mulai membaik. Jangan khawatir aku bisa berjalan masuk."
"Kau yakin?" Kali ini kedua mata pria itu menatapnya.
Na Yeon tertegun. Astaga. Sekarang ia tahu mengapa adiknya tergila-gila pada penyanyi yang satu ini. Pria ini mempunyai tatapan yang mempesona. Ah, bukan. Tatapan yang hangat.
Na Yeon mengangguk singkat. "Ya, aku yakin. Tenang saja. Apa aku sudah boleh masuk?"
"Ya. Ayo."
Ji Hwan berjalan mendahului Na Yeon dan membuka pintunya lebih lebar.
Na Yeon menyeret kakinya dan berjalan masuk. Ia menggigit bibirnya dengan kuat, mencoba menahan rasa sakit yang kini menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia berharap rasa sakitnya tidak tampak di wajahnya.
"Duduklah sebentar di sana. Aku akan kembali," Ji Hwan berkata saat Na Yeon berhasil mencapai ruang duduk. Pria itu menghilang ke dalam sebuah kamar yang terletak berseberangan dengan dapur selama beberapa menit yang panjang lalu kembali keluar menuju ruang duduk. Ia berjalan menghampiri Na Yeon lalu mengulurkan sesuatu ke arahnya. Sebuah benda yang terlihat seperti pasta gigi berwarna putih.
Na Yeon menengadah melihat benda tersebut, kedua alisnya terangkat bingung. "Untukku?"
"Ini krim yang selalu kupakai setiap saat pergelangan tanganku cidera. Kuharap bisa membantu kakimu."
Na Yeon mengambil benda tersebut dari tangan Ji Hwan lalu tersenyum kikuk. "Terima kasih. Maaf merepotkan."
"Sama-sama."
Na Yeon merasa ada yang aneh. Entah mengapa suasana di seluruh ruangan saat ini tiba-tiba terasa sangat canggung. Ia mengoleskan krim yang diberikan oleh Ji Hwan pada pergelangan kakinya dan memijatnya perlahan. Ia menggigit bibirnya dan tanpa sadar memejamkan matanya saat merasakan rasa sakit yang tak tertahankan dari kakinya.
Ah, rasanya ia tidak jatuh terlalu kencang tadi. Tapi mengapa rasa sakitnya keterlaluan begini?
"Kau tidak apa-apa?" Ji Hwan bertanya setelah beberapa menit.
Na Yeon terhentak. Ia tidak sadar kalau pria itu ternyata masih berada di sana, berdiri memperhatikannya sejak tadi. Ia menggeleng dan menggoyangkan tangannya, "Tidak apa-apa! Sepertinya obatnya bekerja. Haha, terima kasih. Bolehkah aku tahu apa tugasku sekarang?"
Ji Hwan mengerutkan kedua alisnya dan mendesah. Ia beranjak menuju studio lalu kembali dengan selembar kertas. Ia meletakkan kertas tersebut di atas meja di hadapan Na Yeon lalu menghampiri pianonya. Sambil menekan beberapa tuts, Ji Hwan berkata, "Itu lirik yang berhasil kubuat selama kau pergi. Aku akan menyanyikan lagunya dari awal hingga akhir, cobalah pikirkan kata yang tepat untuk mengisi nadanya dalam bahasa Mandarin."
Dari tempatnya duduk, Na Yeon mengangguk pada Ji Hwan. "Baiklah."
Ji Hwan memainkan pianonya dan mulai menyanyi.
Sambil mendengar alunan nada yang dinyanyikan oleh Ji Hwan, Na Yeon memperhatikan lirik yang ditulis tangan oleh Ji Hwan pada lembaran kertas yang digenggamnya.
Aku melukis wajahmu di jendela
Aku memanggil namamu sepanjang hari
Kau terlihat seperti orang asing sekarang
Kau terdengar seperti bunyi hujan
Maaf, aku akan menyimpan senyummu dalam ingatanku
Maaf, aku akan terus menyanyikan namamu
Aku akan melihatmu dari jauh dan terus mencintaimu seperti ini
Jalan menuju kepadamu membuatku terluka
Jalan menuju hatiku membuatmu jatuh
Kau terlihat menyedihkan
Aku akan terus berdiri
Dan...
Na Yeon mengerutkan dahinya pada kata terakhir yang tertulis pada kertas yang digenggamnya. Pada saat yang bersamaan, Ji Hwan menghentikan permainan pianonya dan menengadah pada Na Yeon.
Tatapan mereka bertemu dan Na Yeon bertanya, "Dan...?"
Ji Hwan menggaruk kepalanya. "Aku belum menemukan kata yang tepat untuk melanjutkannya."
"Ah..., begitu rupanya," Na Yeon mengangguk lalu menggigit bibirnya. Ia menggumamkan nada lagu yang baru saja dinyanyikan oleh Ji Hwan sambil menatap lembaran kertas di hadapannya.
***
Gadis itu bergumam sambil memperhatikan kertas yang dipegangnya. Dari tempatnya duduk, Ji Hwan dapat mendengar dengan jelas senandung gadis itu dan suaranya terdengar manis. Seperti suara gadis kecil yang sedang menyanyi-nyanyi kecil di taman.
Matanya memperhatikan Na Yeon tanpa berkedip dan ia sedikit tersentak saat melihat gadis itu tiba-tiba memalingkan pandangan ke arahnya dan tersenyum.
"Bolehkah aku menyarankan beberapa kata?" Na Yeon bertanya dengan jentikkan jari.
Ji Hwan mengalihkan pandangannya. "Silahkan."
"Apakah kalimat ini cocok? 'Dan... mencintaimu seperti ini.'"
Ji Hwan memandangi tuts pianonya tanpa kata. Ia termenung beberapa saat lalu mengangguk. "Bagus."
"Benarkah?"
Ji Hwan bangkit dari tempat duduknya dan mengangguk sekali lagi.
Na Yeon bertepuk tangan pelan. "Ternyata aku bisa juga menulis lagu," ujarnya, lebih pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu, kau pasti bisa mencarikan kata yang tepat dalam bahasa Mandarin."
Na Yeon tersenyum pada Ji Hwan yang kini sudah duduk di sofa mini berwarna hitam di sebelahnya. "Baiklah. Aku akan mencobanya."
"Apa kau keberatan kalau aku menyalakan lagu?"
"Ah, tentu saja tidak. Silahkan. Aku hanya menerjemahkan. Tidak butuh konsentrasi," Na Yeon mengibaskan tangannya sambil tertawa.
Ji Hwan membungkuk ke arah meja ruang duduknya lalu mengambil remot CD Player yang terletak di rak bawah meja. Ia menekan tombol merah pada remot itu lalu dalam beberapa detik yang cepat, sebuah alunan instrumen piano memenuhi ruangan. Ji Hwan sedang membaca majalah musik favoritnya saat Na Yeon tiba-tiba membuka mulut.
"Ngomong-ngomong...," Na Yeon mengarahkan tatapannya pada Ji Hwan lalu menunjuk ke arah kertas lirik yang ada pada pangkuannya, "...lagu ini tentang perpisahan, ya?"
Ji Hwan mengangkat kedua alisnya dan berpaling ke arah jari telunjuk Na Yeon menunjuk. "Ah... ya. Sepertinya begitu."
"Apa tentang perpisahanmu dengan kekasihmu?"
Ji Hwan menarik sudut-sudut bibirnya, membentuk seulas senyuman miring yang tipis. "Apa kau sedang mewawancaraiku?"
Kedua mata Na Yeon melebar. Pertanyaan Ji Hwan barusan mengundang tawa Na Yeon dan membuat gadis itu menunduk. "Tidak. Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk bersikap seperti wartawan. Haha."
Ji Hwan bersandar pada punggung sofa lalu berdeham. "Aku tidak punya pacar."
"Ah, benarkah? Orang sepertimu?"
"Orang sepertiku?"
Na Yeon menggigit bibirnya lalu berkata, "Hmm, maksudku, biasanya selebriti-selebriti terkenal sepertimu memiliki banyak pengagum dan wanita yang menyukaimu, bukan? Bahkan tidak sedikit yang berselingkuh dan berpacaran berkali-kali."
"Orang sepertiku pun masih manusia. Kau sendiri?"
"Aku?"
"Kau punya pacar?"
Na Yeon mengerutkan dahinya. Ia lalu tersenyum jahil, "Apa kau sedang mewawancaraiku?"
Ji Hwan mendesah. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik lebar dan ia tertawa. Ia menikmati candaan ringan seperti ini dan gadis itu ternyata mempunyai kemampuan untuk itu. Ia tidak habis pikir.
"Maaf aku menggunakan bahasa sehari-hari denganmu seperti ini. Samuel memintaku untuk tidak bersikap formal jadi, kuharap kau tidak keberatan," Na Yeon tiba-tiba menambahi.
"Tidak apa-apa. Kau hanya satu tahun lebih muda dariku. Tidak masalah jika mau menggunakan banmal."
"Bagaimana kau tahu?"
"Surat lamaran pekerjaanmu. Tahun 1986, bukan?"
Na Yeon mengangguk-angguk ringan. "Ya. Dan aku lahir di tanggal yang sama dengan tanggal peluncuran albummu nanti."
"1 April?"
Na Yeon mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman lebar. Setelah itu Na Yeon tidak melontarkan sepatah kata pun. Ia berkonsentrasi dengan tulisannya dan kertas lirik lagu yang diberikan oleh Ji Hwan.
Dari tempatnya duduk, Ji Hwan melirik gadis itu. Gadis itu menuliskan kata-kata yang ada pada pikirannya pada selembar kertas di pangkuannya. Seulas senyum terukir di wajahnya. Senyuman yang manis. Senyuman yang membuat Ji Hwan berpikir mengapa gadis itu selalu tersenyum hampir di setiap waktu? Yah, mungkin tidak setiap waktu tapi yang pasti, sejak hari pertama hingga saat ini, ia belum pernah melihat Na Yeon terlihat muram. Gadis itu selalu tersenyum, terkekeh, menyeringai dan semacamnya.
Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Ia seperti anak kecil yang berada di taman bermain. Kadang-kadang Na Yeon juga terlihat seperti anak anjing yang menggoyang-goyangkan ekornya di mata Ji Hwan.
"Selesai."
Na Yeon meletakkan kertas-kertas dari pangkuannya ke atas meja. Sambil mendorong kertas tersebut ke arah Ji Hwan, Na Yeon menatapnya. Saat itulah, Ji Hwan tersentak dan mengalihkan tatapannya dari gadis itu pada kertas-kertas di atas meja. Ia bergerak maju mendekati meja ruang tamu lalu mengangkat kertas-kertas tersebut.
Ji Hwan mengamati hasil tulisan Na Yeon lalu mengangguk-angguk. "Aku tidak mengerti apa arti tulisan ini tapi aku akan mencoba menyanyikannya. Besok."
"Kenapa tidak sekarang?"
"Aku ingin langsung merekam contohnya. Jika kunyanyikan sekarang, kau pasti akan membenahi cara penyebutanku yang salah. Selain itu, kau juga pasti akan mengajariku beberapa hal tentang bahasa Mandarin dan biasanya dua hal itu membutuhkan waktu lebih dari satu jam dan jam kerjamu...," Ji Hwan mengangkat jam tangannya mendekat padanya, "...sudah selesai sekarang."
"Ah, benarkah?" Na Yeon mengangkat kepalanya ke arah jam dinding. "Cepat sekali. Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu."
"Biar kuantar." Entah mengapa kedua kata itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa dicerna terlebih dahulu oleh otaknya.
***
"Biar kuantar."
Na Yeon mengerjap bingung. Apa ia tidak salah dengar? Sepertinya pria yang duduk tidak jauh darinya itu baru saja mengatakan sesuatu namun ia tidak yakin kalau ia benar-benar mendengarnya. Pria itu baru saja menawarkan tumpangan.
"Kakimu terkilir, bukan?"
Na Yeon mengangguk. "Ya, tapi aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, aku akan memesan taksi dari sini jadi aku tidak perlu berjalan jauh."
"Kalau pun kau memesan taksi aku akan tetap ikut denganmu."
Na Yeon menggoyang-goyangkan tangannya dan tertawa kikuk. "Untuk apa? Kau hanya membuang-"
"Berterima-kasih. Aku berterima-kasih padamu."
Kedua mata pria itu menatapnya lekat dan pandangannya terlihat serius. Na Yeon menggigit bibirnya dan berpikir keras.
Apa yang membuat suasana di ruangan ini mendadak berubah? Rasanya baru beberapa saat yang lalu ia bisa berbincang dengan Ji Hwan seperti seorang teman. Sekarang, ia merasa seperti sedang disidang, kaku dan datar. Tatapan mata itu begitu tegas. Terlalu tegas untuk ditentang.
Na Yeon tidak sanggup memikirkan sesuatu untuk diucapkan selama beberapa detik, membuat Ji Hwan kembali melanjutkan dengan tenang, "Aku berterima-kasih padamu karena sudah memberitahu Samuel mengenai kondisiku. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tahu tapi aku harus berterima-kasih padamu. Sekarang aku bisa memiliki lebih banyak waktu luang untuk... istirahat."
Na Yeon menelan ludah dan menyeringai. "Tidak apa-apa. Aku hanya menyarankan saja. Lagipula semua orang memang butuh istirahat, bukan?"
"Ya. Termasuk kau."
Kenapa rasanya canggung sekali mendengar perkataan seperti itu dari Ji Hwan? Mungkin Na Yeon tidak akan mearasa sekikuk ini jika ia mendengar kalimat itu keluar dari mulut seseorang seperti Samuel. Dan mungkin alasan bahwa pria yang sedang duduk menghadapnya saat ini adalah penyanyi yang paling diminati di seantero Korea juga menjadi faktor yang membuat perkataan semacam itu terdengar aneh di telinga Na Yeon. Ya, mungkin seperti itu. Mungkin ia belum terbiasa bekerja dengan Ji Hwan.
"Bisakah kau menganggapnya sebagai ucapan terima kasih? Jika aku mengantarmu...," Ji Hwan kembali melanjutkan saat melihat Na Yeon tidak bereaksi selama beberapa detik.
Na Yeon terkekeh lalu mengangguk. "Te-tentu saja. Kalau begitu, terima kasih banyak," katanya sambil membungkuk.
"Baiklah. Beritahu aku alamatrumahmu."