"Penerjemah buku... penerjemah tur... penerjemah Inggris-Korea... ah, tidak. Siapa yang mau menerima seseorang dengan kemampuan bahasa Inggris yang hanya cukup untuk bertanya dimana toilet berada? Tidak, tidak. Jangan yang itu," Na Yeon bergumam sambil menekan-nekan tombol mouse komputernya.
Sudah lebih dari dua jam Na Yeon bertengger di depan layar komputer kerjanya dan sudah lebih dari dua jam pula pencariannya belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Situs lowongan pekerjaan yang ramai dibicarakan orang di internet ternyata tidak selalu bisa membantu orang dengan latar belakang seperti Na Yeon. Lowongan pekerjaan yang ditawarkan di situs ini hanya pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan eksekutif bergaji tinggi dengan jam kerja yang padat. Kalau saja saat ini Na Yeon bertekad untuk bekerja di perusahaan besar dengan jas dan rok ketat, ia pasti sudah menghubungi banyak orang sejak tadi.
Na Yeon menghembuskan napasnya dan menatap kertas berisikan nomor penting hasil pencariannya yang terletak di samping tangannya. Dari ratusan nomor telepon perusahaan dan sekolah yang mencari jasa penerjemah, hanya dua nomor penting yang berhasil didapatkan Na Yeon. Itu pun tidak sesuai seperti yang diharapkannya.
Nomor pertama adalah nomor dari perusahaan hukum yang mencari penerjemah bahasa Mandarin untuk menerjemahkan surat perjanjian dan berkas-berkas sedangkan nomor yang kedua adalah nomor dari perusahaan majalah yang mencari penerjemah untuk menerjemahkan artikelnya dalam bahasa Mandarin.
Na Yeon sudah menghubungi kedua nomor tersebut dan kedua perusahaan itu ternyata mengadakan wawancara di hari yang sama -dua hari dari sekarang. Walaupun diadakan di jam yang berbeda tapi rasanya tidak memungkinkan untuk mengikuti kedua wawancara ini mengingat jarak antara kedua perusahaan itu memakan setengah jam perjalanan menggunakan kereta. Selain itu, wawancara kedua perusahaan ini hanya berbeda dua jam. Sepertinya ia harus memilih salah satu.
Na Yeon menjentik-jentikkan jari telunjuknya pada permukaan mouse komputernya. Hmm. Jika disuruh memilih salah satu dari kedua perusahaan ini, sudah jelas ia akan memilih perusahaan majalah. Karena kalau dilihat-lihat, bekerja di perusahaan hukum itu benar-benar sulit dan memusingkan. Jika bekerja di bidang hukum Na Yeon pasti akan berurusan dengan pasal, ayat, undang-undang dan hukuman. Ah, benar-benar memusingkan!
Ah! Lupakan saja gaji besar di dunia hukum, perusahaan majalah saja, batin Na Yeon. Ia membulatkan tekadnya dan mematikan layar komputer kerjanya lalu kembali bekerja.
***
Na Yeon melihat jam tangan yang terpasang di bagian bawah pergelangan tangannya. Sudah satu jam ia menunggu di koridor namun kepala HRD perusahaan majalah yang ia datangi tidak kunjung muncul memanggil namanya.
Saat datang tadi, Na Yeon ditemani oleh beberapa peserta wawancara lainnya. Ia bahkan sempat berbincang-bincang dalam bahasa Mandarin, membicarakan beberapa pengalaman mereka selama menjadi penerjemah dan bahasa-bahasa baru yang mereka ketahui. Satu per satu teman bicara Na Yeon itu dipanggil masuk ke dalam ruangan. Beberapa di antara mereka kembali keluar untuk pulang dan beberapa yang lain tetap tinggal di dalam sampai sekarang. Na Yeon mulai bosan. Bosan dan tidak nyaman.
Kalau memang mereka sudah mendapatkan penerjemah yang tepat, mengapa mereka tidak memberitahunya untuk pulang saja? Jadi ia tidak perlu menunggu seperti ini.
Sejak dulu, Na Yeon tidak pernah suka menunggu. Ia benci menanti-nanti hal yang belum tentu datang. Ia tidak senang menebak-nebak apakah hal yang ia tunggu sudah datang atau belum. Baginya, menunggu itu sama dengan membuang waktu. Membuang waktu untuk suatu hal yang belum pasti.
Setengah jam berlalu dan namanya tak kunjung dipanggil. Na Yeon bangkit dari tempat duduknya dan melihat ke sekelilingnya. Sepertinya kemurungannya membuatnya tidak sadar kalau sejak tadi ia sendirian. Ia baru sadar kalau ia adalah peserta terakhir.
Astaga, ia merasa bodoh.
Na Yeon mengambil tas tangannya lalu beranjak dari situ. Ia menggantungkan tali tas di pundaknya lalu berjalan perlahan menuju lift yang terletak di ujung koridor.
"Song Na Yeon."
Na Yeon yang hampir menyentuh tombol lift, menghentikan langkahnya saat mendengar sebuah suara dengan nada tinggi memanggil namanya. Ia menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati seorang wanita berambut pendek tersenyum ke arahnya. Melihat Na Yeon tidak bereaksi, wanita tersebut kembali memastikan, "Anda yang bernama Song Na Yeon?"
Na Yeon mengerjap dan mengangguk. "Eh... iya. Saya Song Na Yeon."
Wanita itu berjalan menghampiri Na Yeon lalu mengulurkan tangannya. "Saya Park Min Hee, asisten kepala HRD di sini."
Na Yeon membalas uluran tangan Min Hee lalu membungkukkan badannya, memberi salam.
"Kepala HRD kami sedang mewawancara dua peserta di dalam dan sepertinya kami akan memutuskan untuk mempekerjakan mereka sebagai penerjemah di perusahaan kami," ujar Min Hee dengan nada bicara yang teratur.
Na Yeon tahu kalau perbincangan ini adalah tentang dirinya yang diminta pulang karena tidak ada lowongan kerja yang tersisa baginya tapi entah mengapa ia tidak merasa kesal. Wanita bertubuh mungil di hadapannya ini memiliki senyum yang manis dan wajah yang cantik. Selain itu, ia juga seperti orang yang tahu tatakrama dan cara penolakan orang yang benar hingga membuat orang yang ditolaknya tidak pulang dengan rasa dendam tapi membawa harapan baru.
"Kami mohon maaf tapi sepertinya tidak ada lowongan baru untuk Anda," Min Hee mengerutkan dahinya dengan khawatir lalu tersenyum, "Anda mungkin tidak bisa bekerja di sini tapi Anda bisa bekerja di tempat lain. Kebetulan, rekan kerja kami juga sedang mencari penerjemah bahasa Mandarin untuk proyek mereka. Mungkin Anda bisa melamar di sana?"
Na Yeon mengangkat kedua alisnya, terkejut. Apa katanya?
"Ini kartu nama rekan kerja kami. Anda bisa menghubunginya untuk wawancara kerja. Jika beliau bertanya darimana Anda mendapat informasi ini, sebutkan saja nama perusahaan kami." Min Hee mengulurkan sebuah kartu nama berwarna putih ke arah Na Yeon dengan kedua tangannya.
Na Yeon masih tidak mengerti apa yang terjadi tapi yang ia tahu pasti, wanita di hadapannya ini memberinya kesempatan baru. Sepertinya wanita ini malaikat yang dikirim khusus untuknya hari ini. Malaikat keberuntungan.
Na Yeon mengambil kartu nama yang disodorkan ke arahnya lalu membungkukkan badannya untuk memberi salam. "Te... terima kasih banyak."
"Sama-sama, senang bisa membantu. Sampai jumpa," ujar Min Hee, membalas salam Na Yeon.
"Sampai jumpa."
Na Yeon menepuk-nepuk pipinya sambil memandangi kartu nama yang sedang digenggamnya begitu Min Hee kembali masuk ke dalam ruang kantornya. Astaga, ia tidak percaya ia masih memiliki keberuntungan. Ia harus memberitahu Soo Min tentang ini.
***
Joo Ji Hwan berjalan cepat menuju mobil sedan hitamnya yang sudah menanti di depan lobi gedung utama perusahaan manajemennya, Kimstar Agency. Ia sedang berusaha menghindari wartawan yang beramai-ramai mengejarnya. Wartawan-wartawan itu terus menanyakan hal yang sama sejak dua bulan yang lalu, yaitu mengenai isu kedekatannya dengan aktris dan penyanyi pop, Baek Yoon Jeong.
Ji Hwan sudah berulang kali menjelaskan status dan hubungannya dengan aktris yang sering membuat proyek duet dengannya itu namun sepertinya pers tidak pernah mengerti. Publik yang tidak pernah puas membuat mereka terus mengejar Ji Hwan sampai ia mengatakan kata-kata yang ingin mereka dengar. Ji Hwan senang ia bisa menyanyi untuk banyak orang tapi ia tidak pernah senang dengan konsekuensinya.
Setelah berhasil berjalan dengan kepala tertunduk dan langkah kaki yang lebar, Ji Hwan akhirnya memasuki mobil dengan hembusan napas lega. Samuel yang sudah menunggu di balik kemudi, menggelengkan kepala. "Sudah kubilang keluar lewat pintu belakang saja."
"Jalan saja." Ji Hwan memasang sabuk pengaman dan mengibaskan tangannya.
Mobil sedan Nissan Teana mereka berhasil menembus kerumunan wartawan yang mengelilingi mobil mereka. Seperti baru saja keluar dari kepungan zombi-zombi mematikan, Samuel mengangkat kedua tangannya sambil setengah berteriak ketika mobil mereka menyentuh jalan raya.
"Astaga, Hyong. Kalau setiap hari mereka mencarimu aku bisa gila." Samuel menghentikan mobilnya pada lampu merah pertama yang mereka jumpai.
"Aku sudah gila," balas Ji Hwan, datar.
"Bolehkah kegilaan ini kugunakan sebagai alasan untuk minum malam ini?"
Ji Hwan menoleh ke arah sepupunya yang sekarang mengangkat-angkat kedua alisnya dengan senyuman menyeringai. "Aku tidak ikut."
"Oh, ayolah, Hyong. Aku sudah menyelamatkanmu dari kerumunan vampir-vampir tadi dan kau tidak berterima-kasih padaku sedikit pun?"
"Aku tidak bilang tidak boleh. Kau boleh minum tapi aku tidak ikut. Aku menemani saja."
Lampu merah berganti hijau. Samuel menginjak pedal gas dan kembali menjalankan mobilnya.
Sambil memutar roda kemudi Samuel bertanya, "Kau serius? Kalau kau serius aku akan putar arah ke Hongdae."
Ji Hwan melempar tatapan lelah. "Kau mau aku berubah pikiran?"
Saat itu juga Samuel memutar roda kemudi mobilnya dan membuat putaran U.
***
Kafe eksklusif bernama Everlast di kawasan Hongdae yang mereka datangi saat ini sudah menjadi tempat pelampiasan emosi bagi Samuel selama dua tahun terakhir. Dan selama dua tahun pula tempat ini tidak pernah kehilangan pengunjung.
Kafe itu dihiasi dengan lampu neon berwarna biru muda di setiap sudut ruangannya. Di dalamnya hanya terdapat sepuluh meja kaca yang dikelilingi dengan sofa serta meja panjang dengan bangku-bangku tinggi di ujung ruangan tempat bartender* membuat minuman pesanan tamu. Manager dan pemilik kafe ini menjaga standar eksklusif mereka dengan cara membatasi tamu yang masuk. Untuk itulah mereka hanya menyediakan meja dan kursi yang terbatas. Samuel cukup kenal baik dengan Manager kafe langganannya itu jadi begitu mereka tiba, manager yang sering dipanggil dengan sebutan Jay Lee itu langsung membuka pintu untuknya dan Ji Hwan.
Aroma pengharum ruangan yang bercampur dengan alkohol tiba-tiba saja membuat Ji Hwan mual begitu ia memasuki kafe itu. Ia hampir saja mengeluarkan cairan asamnya. Namun bagai air yang meredakan panas, alunan musik jazz dan saxophone dari band yang sedang tampil membuat Ji Hwan bisa mengendalikan dirinya.
Mereka duduk di bangku tinggi bar yang ada di ujung ruangan, bersebelahan dengan panggung musik. Samuel melambai pada bartender berkebangsaan Rusia bernama Mark Chernov yang sedang menoleh ke arahnya.
"Apa kabar, Mark?" sapa Samuel dalam bahasa Inggris.
Mark sangat suka dengan Samuel. Selain karena kemampuan bahasa Inggris Samuel yang sempurna, Mark senang bertukar informasi dengan Samuel yang tidak pernah kehabisan topik untuk bicara. Pada intinya, Mark senang sekali mengobrol dan hanya Samuellah yang selalu bisa menjadi teman bicaranya.
Pria berambut ikal panjang itu berjalan menghampiri Samuel dan memberikan salam dengan tepukan tangan. "Baik, seperti biasa. Kau membawa temanmu?
"Ini sepupuku. Panggil saja dia James."
"Senang bertemu denganmu," Ji Hwan mengulurkan sebelah tangannya dan membalas dalam bahasa Inggris.
Mark membalas uluran tangan Ji Hwan dengan dua tangannya. "Annyong...ha...seyo!"
Ji Hwan tertawa pendek.
"Berikan aku Tropical-mu yang mematikan dan... Vodka ringan untuk kakakku yang satu ini," Samuel mengedipkan sebelah matanya pada Mark dan membuat Mark berjalan menuju rak minuman dengan langkah lincah. Saat memperhatikan Mark yang sedang sibuk mengocok botol minuman, Samuel tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah, Hyong... apa sudah ada kabar?" tanyanya.
Ji Hwan yang sedang berfokus ke arah panggung musik, mengalihkan pandangannya pada Samuel. "Tentang apa?"
"Bibi Kim."
Dua kata yang dilontarkan Samuel terasa seperti jangkar berat yang tiba-tiba jatuh menimpa bahunya, berat dan menusuk. Saat itu juga ia merasa kelelahannya terasa dua kali lipat lebih menyiksa dari sebelumnya.
Ji Hwan mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak dapat menemukan petunjuk apapun."
"Tenang. Seluruh Korea sudah tahu siapa dirimu, Hyong. Namamu ada di banyak majalah di toko-toko. Mereka pasti akan menghampirimu suatu saat nanti. Selama mereka masih di Korea, aku yakin mereka akan mencarimu."
"Here you go!" Mark tiba-tiba meletakkan dua gelas kaca berukuran sedang di atas meja lalu menggeberak meja dengan kedua tangannya. Suasana resah antara Ji Hwan dan Samuel tiba-tiba saja berubah saat Mark tersenyum dengan lebar ke arah mereka. "Beritahu aku kalau rasanya tidak senikmat kelihatannya," tambah Mark.
Samuel berpaling pada Mark dan tertawa. Ia menarik gelas minumannya dan mengangkatnya ke arah Mark. "Hope you satisfy me."
***
Ji Hwan melingkarkan lengan Samuel di bahunya dan sambil menahan tubuh sepupunya yang berbau alkohol itu, Ji Hwan menutup pintu rumahnya. Ia menyalakan lampu ruang duduk dan menarik tubuh Samuel perlahan-lahan.
"Ah... Hyong... kau sudah bekerja keras...," Samuel berkata tanpa menggerakkan rahangnya. Setiap kata yang dilontarkan Samuel mengeluarkan bau alkohol yang membuat Ji Hwan selalu memalingkan wajahnya. "Kau... pria yang... hebat!"
"Cih." Ji Hwan melempar tatapan kesal saat Samuel mengacungkan ibu jarinya.
Ia menarik tubuh Samuel menuju kamar tamu yang terletak di samping kamar tidurnya dan membanting sepupunya itu ke atas tempat tidur begitu ia berhasil membuka pintu. Ji Hwan berkacak-pinggang saat melihat Samuel berguling dan menggulung dirinya sendiri dengan selimut tebal. "Bocah bodoh," celetuk Ji Hwan sambil menggelengkan kepalanya.
Ia berjalan keluar menuju ruang tamu lalu menyalakan mesin penghangat. Mesin kedua yang dinyalakannya setelah penghangat ruangan adalah pemutar musik. Hanya kedua mesin ituah yang mampu menenangkan dirinya setiap kali ia kelelahan. Ia membanting tubuhnya di atas sofa dan beberapa detik kemudian alunan musik instrumen piano memenuhi ruangan.
Ji Hwan memandang langit-langit ruang tamunya lalu memejamkan kedua matanya.
Di sanalah mereka berada.
Ibunya tersenyum padanya dalam kegelapan. Adiknya melambai ke arahnya dalam bayangan yang hitam. Di sinilah ia bisa melihat kedua wajah malaikat-malaikatnya dengan jelas. Ia berharap ia bisa melihat wajah mereka sejelas ini ketika ia membuka matanya.
Alasan inilah yang membuat Ji Hwan terkadang berharap ia tidak mau membuka mata; karena ia tidak pernah bisa melihat wajah kedua malaikatnya di dunia nyata.
Ia harap perkataan Samuel benar. Suatu saat kedua malaikatnya akan datang mencarinya.
***
Kedua matanya terasa berat. Sinar matahari yang masuk lewat kaca jendela rumahnya yang besar membuat Ji Hwan mengernyitkan keningnya. Rasanya ia tidak lupa menutup tirai jendelanya semalam tapi mengapa sinar terik matahari masih bisa masuk?
Ji Hwan memegangi keningnya. Apa tanpa ia sadari kemarin malam ia juga minum terlalu banyak? Seingatnya hanya Samuellah yang berteriak-teriak dalam kafe akibat lima gelas Tropical yang dibuatkan oleh Mark. Kalau begitu apa yang membuat kepalanya sepusing ini?
Ia mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding ruang duduk yang tergantung di tembok. Jam menunjukkan pukul 10:15. Ia masih ingin tidur lagi. Ia membenamkan kepalanya pada bantal tidurnya, mencoba menarik rasa kantuknya kembali masuk ke dalam dirinya. Ia sudah memejamkan kedua matanya namun ada sesuatu yang mengusiknya.
Ada suara bising. Suara melodi lagu I Feel Good yang sangat dikenalinya. Itu ringtone ponsel Samuel.
Ji Hwan membuka kedua matanya dan melihat ke sekelilingnya. Ruang duduknya terlihat sepi. Di mana bocah itu? Kenapa ia tidak kunjung menghentikan suara benda sialan itu?
Kekesalan Ji Hwan membuat dirinya bangkit dari sofa panjang tempatnya tertidur dan berjalan menuju kamar tidur Samuel. Anehnya, semakin jauh ia berjalan, semakin kecil suara bising lagu itu terdengar. Ji Hwan menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara tersebut. Ia kembali berjalan menuju ruang duduk dan mendapati benda putih menyala-nyala tergeletak di atas lantai dekat meja televisi.
Ji Hwan memungut ponsel Samuel yang bergetar-getar tersebut dan menatapinya dengan kerutan alis. Mengapa benda itu bisa ada di sini? Sepertinya jatuh dari saku celana bocah itu pada saat ia membopongnya kemarin malam.
Di layar ponsel Samuel kini tertera nomor seseorang tanpa nama. Siapa ini?
Tanpa berpikir ulang untuk membuat keputusan, Ji Hwan menyentuh gambar telepon berwarna hijau pada layar ponsel dan mengangkatnya. "Halo?"
***
Na Yeon berjalan mondar-mandir di balik pintu toko binatu Soo Min. Tangannya yang satu memegangi kartu nama pemberian Park Min Hee sedangkan tangan yang lainnya memegang ponselnya yang dibiarkan menyala selama bermenit-menit.
Soo Min yang sedang menata pakaian di dalam plastik pembungkus, mulai lelah memperhatikan Na Yeon. Temannya itu sudah menghabiskan kurang lebih tiga puluh menit berjalan bolak-balik untuk membuat suatu keputusan dan sampai sekarang tidak terdengar satu kata pun keluar dari mulut Na Yeon.
"Song Na Yeon! Berhenti mengepel lantaiku dengan kakimu yang kotor itu! Kau terlihat seperti seterikaan, kau tahu?!" Soo Min meletakkan tumpukkan pakaian yang sudah terbungkus plastik ke atas meja penerima tamu.
Na Yeon menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Soo Min. "Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menelepon sekarang?"
"Kalau kau menginginkan pekerjaan itu, tentu saja kau harus menelepon."
"Bagaimana kalau orang ini masih tidur?"
Soo Min menghela napas kesal. "Sekarang sudah jam sepuluh pagi. Pemilik kartu nama semewah itu tidak mungkin masih tidur."
"Apa kau akan bertanggung-jawab?"
Soo Min bertolak-pinggang. "Kau ingin aku yang menelepon dan berpura-pura menjadi kau?"
"Tidak perlu. Baiklah, baiklah aku akan menelepon."
Na Yeon menghela napas lalu menatap layar ponselnya. Ibu jarinya terasa kaku saat ia menekan nomor yang tertera pada kartu nama yang digenggamnya. Entah mengapa tulisan Kimstar Agency yang tertera di bawah nama pemilik kartu itu membuat Na Yeon gugup. Bahkan sebelum bertatap muka untuk wawancara.
Na Yeon menempelkan ponsel pada telinganya dan menunggu. Satu deringan... dua deringan... tiga deringan.... Tidak ada jawaban.
"Bagaimana?" Soo Min bertanya kepada Na Yeon yang saat ini mengerutkan kedua alisnya bingung.
Tanpa suara, Na Yeon menjawab, "Tidak ada yang jawab."
Mendengar itu, bahu Soo Min yang semula tegang karena tidak sabar menjadi lemas karena hilang harapan. Ia kembali menyusun pakaian-pakaian di rak begitu mendengar jawaban Na Yeon.
Na Yeon hampir saja menjauhkan ponselnya dari telinga untuk menutup telepon namun tiba-tiba terdengar suara berat dari speaker ponsel yang mengejutkannya.
"Halo?"
Na Yeon mengerjap tidak percaya lalu dengan gugup menjawab, "Ha... halo. Apa benar ini nomor Samuel Han?"
"Ya, benar. Dengan siapa ini?"
Na Yeon terkesiap. Suara laki-laki yang bicara dengannya ini terdengar sangat tenang. Tenang dan merdu. Apa orang ini pemilik kartu nama yang ia pegang saat ini?
"Ah, saya Song Na Yeon. Kemarin perusahaan majalah TWIST memberi tahu saya kalau Anda sedang mencari seorang penerjemah untuk proyek Anda dan mereka memberi saya kartu nama Anda. Apa Anda mengadakan wawancara untuk lowongan ini?"
Jeda. Tidak terdengar suara apapun dari speaker ponsel Na Yeon. Ia sempat berpikir kalau panggilannya terputus namun tiba-tiba suara laki-laki dalam ponsel itu kembali muncul.
"Ah, penerjemah. Ya. Kau boleh datang ke sini jam dua siang nanti. Untuk wawancara."
"Ke sana? Ke kantor Anda?"
"Tidak. Jangan ke sana. Aku akan mengirimkan alamatnya nanti."
Seperti bisa bertatap muka dengan lawan bicaranya, Na Yeon membungkukkan badan sambil tersenyum. "Baiklah. Terima kasih. Saya akan datang ke sana."
"Sama-sama."
Dua kata dari pria tersebut sebelum memutus telepon, membuat Na Yeon berjingkat-jingkat kesenangan.