"A-apakah Anda sedang bercanda, Pak? Banyak kandidat lain yang menanti di luar, Anda bahkan belum memanggil mereka," protes Marion pada pria yang kini resmi menjadi bosnya. Pria itu tak menjawab melainkan mengunci manik hazel milik gadis itu.
Marion pun tanpa rasa gentar justru balik menatap mata bersorot tajam milik pria di hadapannya. Ada sesuatu yang aneh menyergap dalam rongga dadanya, sayangnya, ia tak bisa menjelaskan perasaan macam apa itu.
Ia tak mengingat apa pun yang terjadi malam itu, hanya ingat satu hal, bahwa memang William-lah pria yang bertabrakan dengannya. Dan bahkan menerima hadiah muntahan isi perutnya kala itu. Lalu, apa yang mereka lakukan setelahnya?
Marion memejamkan mata, kepalanya terasa pening berusaha mengembalikan dalam memorinya, apa saja yang terjadi saat itu. Andai saja ia memiliki alat untuk memutar waktu, mungkin ia akan kembali ke hari kemarin dan mencegah kejadian itu agar tidak terjadi.
Namun, siapa yang bisa memutar waktu? Anggap saja takdir sedang ingin bercanda, dengan mempertemukan dirinya dan William sekali lagi.
Tengah bergumul dengan kegalauan dalam batinnya, Marion tak pedulikan apa yang tengah terjadi pada pria di hadapannya. Memandang Marion dengan tatapan yang terpaku di satu titik. MARION. Seolah ada dorongan yang tak mampu digambarkan oleh William ketika melihat dan berada di dekat gadis itu. Ia tak tahu apa, tetapi perasaan itu sungguh sangat mengganggunya.
Namun, ia tak mungkin mengatakan pada Marion bahwa dirinyalah yang menghabiskan malam dan mencumbui gadis di hadapannya, malam itu. Ia hanya tak menyangka dirinya kembali dipertemukan dengan gadis ini.
"Kau ingin membantahku? Keputusan sepenuhnya ada di tanganku. Jika aku sudah memilih, maka tak ada satu pun yang bisa menghalangi atau menghentikan. Apakah itu sudah cukup jelas bagimu, Nona Alsen?" tegas William, yang di pendengaran Marion terdengar kasar dan angkuh.
Melihat sikap arogan yang ditunjukkan oleh William terhadapnya, Marion sungguh menyesali keputusannya untuk hadir pada panggilan kerja yang penuh dengan omong kosong seperti ini. Jika pada akhirnya pria ini memilihnya tanpa seleksi, mengapa sengaja memanggil wanita dan pegawai lain untuk hadir juga? Bukankah itu sama saja dengan membuang-buang waktu?
"Tapi ... kau sama saja membuang waktu orang lain, Tuan Reynz," ucap Marion, sementara William sama sekali tak menyimak perkataan gadis itu. Ia justru kembali sibuk dengan setumpuk berkas di hadapannya.
"Apakah kau sudah selesai dan sudah memahami apa yang kukatakan, Nona Alsen? Jika sudah, kau bisa keluar, temui salah satu pegawaiku yang sudah menantimu. Ia nanti akan menunjukkan semuanya," ucap William tanpa mengangkat wajahnya, dan tetap menggoreskan tinta di atas tumpukan kertas di atas mejanya.
Marion memberengut. "Dasar arogan!" desisnya berbisik, yang ia yakin pria itu tak akan mendengar. Namun, sepeninggal Marion, William justru tak henti memikirkan segala hal tentang Marion Alsen, gadis yang sudah membuatnya mabuk meski tanpa alkohol malam itu. Dan kini, takdir seolah mempertemukan mereka tanpa ia perlu mencari.
***
Marion mengentak kaki keluar dari ruangan pria arogan yang kini telah resmi menjadi bosnya, bukan atas kehendak berdua melainkan didominasi oleh keputusan William sendiri. Pria itu yang mengatakan jika ia telah memutuskan maka tak ada yang bisa mengubahnya.
Maka itulah yang harus diterima oleh Marion.
Salah seorang pegawai berpakaian seksi mendatanginya. Ada apa dengan wanita-wanita ini? Mengapa mereka mengenakan pakaian yang bahkan tampak kurang bahan atau seperti kekecilan? Apakah William 'memakai' mereka semua untuk memuaskan hasratnya?
Marion bergidik sendiri kala bayangan itu berkelebatan nakal di otaknya. Terlebih saat yang muncul adalah bayangan dirinya yang harus memuaskan hasrat William.
"Tidak!"
"Nona Alsen, apakah Anda baik-baik saja?" tanya pegawai tersebut, karena mendengar pekikan Marion yang bahkan membuat wanita lain yang masih menunggu di sana, menoleh ke arahnya.
"Uhm ... m-maaf, aku hanya—siapa namamu tadi?"
"Aku Leah Carlton, Nona. Mari ikut denganku, aku akan tunjukkan apa saja yang telah disiapkan Tuan Reynz untuk Anda." Wanita itu memberi isyarat pada Marion untuk mengikuti arah yang ia tunjukkan.
"T-tunggu! Lalu bagaimana dengan wanita-wanita itu? Apakah mereka juga akan menjalani seleksi untuk menjadi asisten Tuan Reynz?" tanya Marion, mencari tahu demi menjawab rasa penasarannya.
Leah menggeleng. "Mereka nanti akan diminta untuk pulang, Nona. Tak perlu cemaskan mereka. Karena Tuan Reynz sudah menemukan apa yang ia cari, maka sepertinya tak akan ada lagi pencarian asisten."
"A-apa maksudnya?" tanya Marion, bingung dengan apa yang baru saja dikatakan Leah.
"Kita bicara sambil jalan, Nona. mari, lewat sini." Leah melangkah menyejajari langkah Marion, tentu saja Marion lebih memilih untuk mengekor langkah wanita itu, karena ia sama sekali tidak tahu ke mana tujuan mereka.
"Tuan Reynz sudah memilih, maka itu adalah yang terakhir. Mari silakan masuk Nona."
Leah membuka pintu kaca dan mempersilakan Marion masuk ke ruangan yang bagian luar pintunya bertuliskan namanya. Letaknya tak terlalu jauh dari ruangan William. Terkesan jauh, karena baik ruangan William maupun ruangan milik Marion berukuran tak lazim.
Terlalu besar dan megah untuk dikatakan sebuah ruang kerja. Ini lebih mirip sebuah apartemen.
"Ini ruangan Anda, Nona. Dan ini adalah connecting door menuju ke ruangan tuan Reynz." Tak hanya sampai di situ penjelasan wanita cantik berambut sewarna tembaga dengan polesan lipstik merah itu, ia kemudian membuka pintu penghubung yang juga terbuat dari kaca itu dan menampakkan William yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Setelah selesai, Leah berjalan menuju arah berlawanan dari connecting door dan membuka satu pintu lain. Sebuah pintu geser yang di dalamnya terdapat lemari dengan pakaian, sepatu, dan berbagai aksesoris wanita yang ketika diperhatikan dengan saksama, semuanya berukuran serta sesuai dengan selera dan kesukaan Marion.
"Sulit dipercaya! Untuk apa ini semua, Nona Carlton?"
"Panggil Leah saja, Nona. Ini semua adalah untuk Anda, Nona Alsen. Semua sudah disesuaikan dengan selera dan apa yang Anda sukai."
Marion menggeleng cepat. "Apakah ini bekas milik wanita yang pernah menjadi asisten tuan Reynz?"
Leah mengatupkan bibir, kemudian mengambil beberapa helai pakaian, perhiasan dan sepatu yang semuanya masih tergantung label harga dan mereknya di sana.
"Ini semua baru, dan memang dipersiapkan untuk Anda, Nona. Ini khusus dibeli dan dipilih sendiri oleh tuan Reynz, menyesuaikan dengan ukuran dan seleramu. Jika ada hal lain yang Anda inginkan, Anda bisa sampaikan padaku."
"Mustahil ... ini benar-benar pas di tubuhku. Bagaimana ia bisa tahu ukuranku dengan begitu tepat?" gumam Marion, yang membuat Leah mengulum senyum. "Uhm ... Leah, kau jangan terlalu formal padaku, panggil saja Marion, dan berbicaralah yang santai. Kedudukan kita sama, bukan?"
Leah mengulas senyum lembut, kemudian menunduk sebelum akhirnya menjelaskan kembali.
"Kedudukan kita tidak sama, Nona. Anda adalah asisten pribadi tuan Reynz, memiliki hak istimewa yang sudah ditetapkan oleh tuan Reynz sendiri sejak Anda terpilih, sementara aku ...." Leah tidak melanjutkan kalimatnya, melainkan kembali tersenyum.
"Kau apa? Jangan bilang kalau kau ...."
"Ya, Nona. Aku adalah pegawai yang ditunjuk tuan Reynz dan mendapat kehormatan untuk melayani Anda. Aku adalah asisten pribadi Anda."
Marion menggeleng tak percaya. "What the hell!"