"Saya memperkenalkan diri supaya kamu tidak terlalu terkejut nantinya."
Gadis itu mengganguk tak begitu terlihat perduli pada pria yang tengah bicara di hadapannya.
"Ya... tunggu—siapa kau tadi?" tanyanya menyahut.
"Calon suamimu."
"Oh..." Gadis itu mengganguk.
Detik berikutnya matanya mendelik karena kaget.
"Tunggu— apa?!"
***
Gempa.
Tidak, ini bukan gempa sungguhan, tapi hanya semacam kiasan.
Karena terlalu bingung ingin mendeskripsikannya. Rasanya seperti tersedat di kloset, kata-kata sulit sekali untuk keluar. Mereka seperti bersembunyi dalam celah, maksudnya, lihatnya remahan camilan berbentuk keripik tersebar di pinggiran kasur. Tempat tidur besar yang porak-poranda, ceceran pakaian tergeletak tak beraturan. Kursi rias yang beralih fungsi menjadi tempat pakaian dalam. Atau kertas-kertas berserakan, yang membuat lantai bewarna coklat itu penuh warna putih.
Lalu laptop dengan kabel berbelit dan masih menyala, menayangkan beberapa potongan adegan film, rupanya sang empunya tertidur saat masih menonton.
Dan di atas kasur itu sendiri, tergeletak seongok daging yang untungnya masih bernyawa. Ditandai dengan gerakan perut dan dadanya yang kembang-kempis, terlebih mulutnya yang mengganga untuk jalan keluar masuknya udara.
Serta terdengar dengkuran halus, mirip dengkuran kucing, jika kau tidur di dekatnya.
Seprai itu pun penuh bekas noda, yang asalnya dari minuman kaleng, sehingga mampu membuat sang Ibu marah besar ketika melihatnya. Dengan sandal melayang tentunya sebagai bonus. Plus bahan tertawaan jika tepat sasaran.
Kalian salah jika berpikir ia seorang pria, karena si pendengkur tak mirip manusia ini adalah seorang wanita muda, setidaknya masih terlihat seperti itu, wanita yang bahkan belum bangun dari tidurnya. Sedangkan jam telah menunjukkan pukul 11 siang.
Dia menggeliat, bak anak ayam yang mencari kehangatan pada induknya. Ia membalikkan badan dengan posisi telungkup sekarang. Kepalanya beringsut. Mencari bantal yang entah kemana terpelantingnya, ia berharap tak dijual oleh sang Mama, karena kelakuan sang anak yang abnormal ini.
Ketika sudah merasakan ada tonjolan seperti bantal, ia pun menenggelamkan wajahnya di sana.
Matanya masih terlelap, namun kakinya menggelinjang, ketika sesuatu yang basah menjilati kakinya yang menjuntai, dan itu
membuatnya kegelian.
"Tom, jangan nakal," lirihnya dengan suara serak, khas orang baru bangun tidur, tapi ia masih setengah tidur. Matanya masih menutup sempurna.
Bukannya berhenti, Tom kini sudah naik ke atas ranjang, dan malah menjilati betisnya yang dilapisi celana pendek batas lutut.
"Tom, hentikan!" desisnya.
Namun Tom masih tidak mau berhenti, malah sekarang ia pelan-pelan mencari wajahnya. Lalu ketika dapat menemukannya, ia sekarang menjilati wajah sang Gadis.
Tertawa.
Gadis itu akhirnya tertawa. Kemudian menggeliat.
"Iya, iya, aku bangun," ucapnya setengah mengerutu.
Ia terduduk dengan rambut mengembang, tahu rambut yang habis kena setrum? Kira-kira seperti itulah bentuknya, tapi jangan dibayangkan, terlebih ada bekas liur sedikit menempel di wajahnya.
Di hadapannya kini, kucing manis bernama Tom nampak menungguinya. Kebiasaan memang, jika ia tak bangun-bangun sang peliharaan akan membangunkannya. Mungkin takut sang pemilik kehilangan nyawa karena tidur terlalu lama.
Sambil menggaruk rambutnya yang mekar. Ia meregangkan badannya.
"Capek," lirihnya sambil menguap cukup panjang.
"Meow..." Tom bersuara. Ia melirik kucingnya. Jelas dirinya paham, sang kucing butuh makan untuk rebahan dan jalan-jalan di sekitar kompleks. Mungkin saja nanti akan bertemu kucing betina yang seusia dengaannya.
"Bentar," ucapnya.
Kamarnya masih sedikit remang, sebab tirai jendela belum dibuka. Setelah menekan tombol pause pada laptopnya. Ia kemudian berdiri.
Naas.
Baru saja ingin melangkah, kakinya tersandung selimut yang bergulung di bawah ranjang. Ia kehilangan keseimbangan
Dan—wajahnya menghantam lantai dengan telak. Ada bunyi dentuman ketika ia jatuh, Efek masih setengah sadar ia tak bisa menghindar seperti di film action.
"Mama!" Jerit gadis itu merasakan keningnya tiba-tiba berkedut hebat, walau kepalanya keras, tetap saja ia merasakan sakit. Ia yakin ada benjolan sebesar telur ayam kampung nantinya.
Hening, tak ada jawaban. Padahal ia yakin telah memanggil Mamanya cukup kencang. Harusnya hal itu membuat Mamanya mendatangi kamarnya, sebab sang ibu punya pendengaran ultrasonik. Suara cangkir jatuh pun bisa membuat sang ibu yang berada di rumah tetangga, langsung berbalik ke rumah ketika mendengarnya. Tentu saja untuk memarahi sang ceroboh. Lain cerita kalau dia sendiri yang menjatuhkannya.
Sambil meringis ia pun bangkit sendiri dengan sisa tenaga. Ia Mengusap keningnya pelan. Baru saja duduk sambil bersandar.
Perutnya berbunyi keras, lengkap sudah, sekarang ia lapar dan sakit di kening menjadi satu.
Dengan sempoyongan, ia membuka tirai jendela. Matanya yang setengah menutup mendekat, lalu menempelkan wajahnya pada jendela yang terkena sinar matahari.
"Oh, mataharinya sudah setinggi itu ya," gumamnya.
"Ma?" teriaknya keluar dari kamar dan menuju ke dapur.
Biasanya di jam sekarang sang Mama tengah sibuk memasak di dapur. Palingan dia akan mendapatkan lemparan centong sayur karena bangun terlambat.
"Ma?" Suara itu kembali terdengar mengelegar, anehnya tidak ada suara menyahut lantang.
Entah sudah berapa kali ia memanggilnya.
Namun tak nampak keberadaan sang Mama di mana pun, ia mengecek satu persatu. Dapur, kamar mandi. Halaman. Bahkan ke dalam panci, entahlah apa faedahnya ia sampai membuka tutup panci. Saking absurdnya, ia malah mencari Mamanya di bawah sofa. Atau pun di dalam laci. Berharap sang Mama sedang mengerjai dan bersembunyi.
Rumah hening, tak nampak ada orang di sana. Kecuali dia. Ya. Meski bentuknya seperti itu, dia masih termasuk golongan manusia.
Mungkin.
"Ke mana sih Mama pagi-pagi—"
Gadis itu terdiam, matanya mengerjap beberapa kali, ada yang aneh pikirnya, ibunya tidak mungkin pergi sepagi itu, terlebih tanpa pamitan, terlebih adik dan ayahnya juga tidak terlihat.
"Tunggu sebentar," gumamnya mondar-mandir Ia berusaha memakai otaknya. Tapi butuh waktu berapa menit, karena sudah lama tidak ia pakai.
"Matahari terang," cicitnya masih belum sadar sambil mengigiti kuku jarinya.
"Eh?!" Langkahnya terhenti dengan mata melotot kaget. Lalu buru-buru ia menoleh ke arah jam dinding dengan gerakan slow motion.
"Ha? Pukul 11 siang?!" pekiknya histeris.
Sedangkan Tom mengelus-elus bulunya di kakinya, minta makan, sebab sudah bosan mendengar gadis itu berteriak dan histeris sendiri.
"Bentar! Tom!" Lagi-lagi ia mengatakan hal yang sama. Hanya menyisakan janji palsu pada sang kucing yang pilu.
Dirinya segera berlari ke arah pintu kulkas, sedikit berhati-hati juga karena takut terjatuh untuk kedua kalinya. Benar seperti dugaannya, sang Mama meninggalkan catatan di sana. Berupa secarik kertas panjang.
"... Beli makanan sendiri." Tulisnya di sana dengan huruf besar semua. Tapi yang Ia baca hanya bagian akhirnya saja, karena dari atas ia yakin, sang Mama hanya mengomel. Bisa ia bayangkan seberapa kesal sang mama ketika tahu ia baru bangun jam sekarang.
Gadis itu langsung bergidik ngeri. Membayangkannya saja sudah begitu menakutkan.
***
Jangan lupa masukkan ke rak.