Dua bulan berlalu. Bunga yang kuncup kini merekah sudah. Hari berganti hari. Lembar bulan pun telah berganti dua lembar di kalender. Seperti kecambah yang tumbuh menjadi bibit kacang hijau yang siap tumbuh besar menumbuhkan panennya.
Begitu pula Ardhan dan Anaya. Keduanya sudah dekat sejak dua bulan lalu, sejak awal pertemuan mereka, dimana Anaya kecelakaan dan Ardhan menolongnya. Hingga kini pun kedekatan mereka makin dekat. Memang belum tumbuh menjadi sepasang kekasih yang diharapkan Ardhan. Tapi, jauh dalam lubuk hatinya, Ardhan ingin menjadi seorang yang lebih dari sekedar teman.
Anaya gadis yang baik. Tidak seperti yang dikatakan Doni waktu itu. Anaya memang tertutup dengan orang yang memang tidak terlalu dekat dengannya. Senang diajak bercanda juga. Hanya saja mungkin ada sesuatu yang Anaya tutupi tapi entah apa, Ardhan pun juga tak tahu. Tapi Ardhan tak mempermasalahkan hal tersebut. Karena Ardhan yakin suatu saat Anaya juga mau terbuka dengannya.
Entah kenapa Ardhan merasa dirinya cocok dengan Anaya. Ardhan tak pernah sebelumnya merasa nyaman di dekat seorang gadis seperti ini. Biasanya setiap gadis akan berpura-pura baik di depannya. Berpura-pura lembut untuk mencari perhatian Ardhan. Dan Ardhan bukan tipe cowok yang akan merendahkan cewek karena menjadi orang lain saat didepannya atau bahkan mencari perhatiannya. Ardhan tak pernah memberikan pengharapan pada gadis-gadis yang terlihat minat dengannya.
Ardhan menyandarkan tubuhnya di tembok samping sekolah yang menghadap parkiran sepeda. Mengetuk-mengetukkan sepatunya menunggu Anaya keluar dari kelasnya. Beberapa kali Ardhan menoleh kesamping saat lalu lalang anak-anak mulai meninggalkan sekolah. Sebuah tepukan di bahunya membuatnya menoleh dan segera menegakkan badan. Tersenyum. Itu yang selalu Ardhan lakukan menyambut Anaya datang.
"Hai..! Lama nunggunya?" tanya Anaya.
"Gak kok. Baru juga berapa menit disini," jawab Ardhan bohong. Padahal kakinya hampir kesemutan menunggu. Karena kelasnya memang keluar lebih awal.
Namun, Ardhan tak mengeluh di depan Anaya. Selama apapun menunggu, selagi yang ditunggu adalah pujaan hatinya, Ardhan akan tetap sabar dan setia menungguinya. (Icik iwiiirrr haha)
Ardhan mengambil helm dan memakaikannya pada Anaya. Setiap anak yang lewat pasti mengira mereka sudah berpacaran. Namun sayang hubungan mereka masih belum berkembang.
"Suuiiitt suiiitt!!!" Terdengar siulan dari segerombolan teman-teman Ardhan yang hendak melewati mereka berdua.
Anaya menoleh pada Ardhan. Mengerti arti tatapan Anaya. Ardhan hanya menanggapi santai saja.
" Anggap saja angin lewat. Tak usah dihiraukan," ucap Ardhan sembari memakai helmnya sendiri. Anaya hanya tersenyum.
Ardhan mulai men starter sepedanya. Lalu Anaya pun segera naik dan duduk dibelakang Ardhan.
"Dhan ke toko buku dulu boleh?" pinta Anaya dari belakang saat Ardhan mulai melaju.
"Boleh dong. Anything for you," jawab Ardhan sambil menoleh ke samping.
"Modus," timpal Anaya sambil tertawa.
Begitulah keduanya. Meski hanya obrolan ringan Ardhan merasa senang berada di dekat Anaya. Mungkin jika Anaya diam saja Ardhan pun akan tetap senang.
Karena begitulah cinta bekerja, tanpa alasan tanpa syarat dan tanpa tahu sebabnya. Ardhan tak tahu, apa perasaan ini hanya sekedar perasaan kagum, ataukah perasaan sayang sesama teman atau perasaan sayang dan cinta yang sesungguhnya. Yang Ardhan rasakan sekarang ini, Ardhan merasa rindu bila tak berjumpa dengan Anaya. Dan Ardhan akan bahagia meski hanya melihat senyum Anaya dari kejauhan.
Dua anak muda itu kini berada di toko buku. Ardhan mengekori Anaya yang sedang mencari-cari buku.
" Emang mau cari buku apa?" tanya Ardhan sambil sesekali melihat-lihat buku didepannya.
"Novel," jawab Anaya singkat karena masih sibuk mencari buku nya.
"Suka banget baca novel?" tanya Ardhan lagi.
" Banget."
"Genre apa?"
"Romance,"
"Itu doang?" tanya Ardhan terus menatap Anaya yang sedang sibuk memilih buku.
"Gak juga si,"
"Seperti?"
"Komedi, love, fantasi banyak lah," jawab Anaya sambil membolak balikan buku didepannya.
"Kalo film suka?" tanya Ardhan lagi.
"Suka,"
"Musik?"
"Suka juga."
"Kalau aku?"
"Suka do..." jawab Anaya menggantung dan segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Karena terlalu cepat pertanyaan Ardhan membuat Anaya reflek menjawab sama dengan hal yang sebelumnya.
Ardhan tersenyum senang. Entah itu benar atau tidak. Setidaknya ucapan itu keluar dari bibir Anaya sendiri.
Ardhan menarik nafas panjang. Menghirup udara sebanyak-banyaknya guna menetralkan perasaan yang bergejolak dihatinya. Dan entah kenapa jantungnya menjadi berdetak lebih cepat dari biasanya.
Anaya membola mata menatap Ardhan didepannya, seraya menutup mulutnya dengan satu tangan. Ardhan meraih tangan itu. Lalu menggenggam kedua tangan Anaya erat. Ardhan menundukkan kepala sejenak sebelum berkata.
"An.. Gue ... gak tau harus ngomong gimana lagi. But i always so nervous, if i am with you. My heart beast fast when i see you. A... aku gak tau perasaan apa ini. Tapi, yang aku sadari adalah i always so miss you, if i dont meet you. Aku selalu rindu jika tak bertemu. A.. Aku.. Emm," ucap Ardhan terbata. Ia mendesah, menggantung ucapannya.
Anaya terpaku melihat Ardhan mengatakan perasaannya. Bingung. Mungkin itu yang ia rasakan. Anaya tersenyum dan membalas genggaman Ardhan di jemarinya.
" Gerogi ya, Dhan? Dingin banget tangannya," goda Anaya membuat Ardhan malu setengah mati dibuatnya. Pasti muka nya memerah saat ini. Namun Ardhan hanya menarik nafas panjang untuk menlanjutkan perkataannya tadi yang menggantung.
"Aku...." Tapi sebelum Ardhan bersuara, Anaya sudah bersuara lebih dulu.
"Gue tahu kok apa yang lo rasain, Dhan. Gue paham banget. Karena gue juga merasakan hal yang sama seperti lo. Gue tahu lo suka sama gue. Karena gue juga punya rasa yang sama seperti lo. Tapi... " Anaya menghentikan suaranya. Kembali menunduk setelah tadi menatap kedua bola mata Ardhan.
"Tapi Apa, Nay?" tanya Ardhan tidak sabar.
"Gue takut kalo kita jadian kita gak seasik kayak berteman. Gue takut satu sama lain dari kita akan saling menyakiti. Dan setelah itu kita gak akan ada hubungan apa-apa lagi kalau udah putus," ucap Anaya dengan sorot mata sendu.
"Kita jalani dulu, Nay. Jangan negatif thinking dulu. Segala sesuatu jangan dipikir buruknya dulu, Nay. Atau, mungkin kita bisa jalani semua seperti biasa. Tapi, kita sama-sama tahu perasaan kita. Saling menyayangi. Kita seperti teman. Selalu berbagi. Tapi kita juga sayang sebagai kekasih," terang Ardhan dengan terbata-bata.
Anaya menghela nafas panjang. Cukup lama mereka terdiam. Saling memandang satu sama lain. Mencari-cari sebuah jawaban. Benarkah semua ini?? Anaya tersenyum. Dan Samar-samar Ardhan melihat Anaya mengangguk lemah. Tapi, apa benar Anaya mengangguk. Atau hanya bayangan matanya saja yang seolah melihat Anaya menganggukkan kepala?
"Nay...?" tanya Ardhan tak mengerti.
"Yes, Dhan. I Like you too," jawab Anaya Lirih.
Ardhan tersenyum sumringah melihat Anaya memberikan jawaban seperti yang diharapkannya. Kalau tidak salah ini berarti mereka jadian kan? tanya Ardhan dalam hati.
"So... kita.. " Saking senangnya Ardhan ngomong putus-putus. Seperti kehilangan suaranya yang hilang entah kemana.
Anaya tertawa melihat tingkah laku Ardhan. Lalu mereka tertawa bersama menepis rasa malu dan gugup tengah melingkupi keduanya.
Lalu mereka pulang bersama, dan melupakan acara untuk mencari buku yang dimaksud Anaya. Mereka lupa tujuan mereka di toko buku. Yang mereka rasakan sekarang hanyalah bunga-bunga cinta berterbangan di sekitar dunia mereka.
Berkendara saat Anaya dibelakangnya yang saat ini berstatus pacarnya itu, membuat Ardhan panas dingin. Hembusan Angin pun tak akan mampu meredakan gerahnya Ardhan saat ini. Apakah mereka akan bertahan lama? ataukah hanya sementara? Tapi yang pasti, ini adalah pengalaman Ardhan yang pertama. Cinta Pertama Ardhan.