Suzy terlihat tak gentar menyaksikan tubuh Gina yang ambruk di atas kasur miliknya. Gadis itu masih tidak sadar bahwa sedari tadi wajah Gina terlihat pucat. Ia terlalu sibuk dengan hatinya yang terluka.
"Jangan pura-pura tidur, urusan kita belum selesai." Nada bicara sok dingin tersebut keluar dari mulut Suzy. Ia tidak memperhatikan Gina, tatapannya memandang lurus ke depan bersamaan dengan dagunya yang perlahan naik.
Suzy mengira bahwa Gina hanya berpura-pura tidur karena lelah dengan perdebatannya, akan tetapi melihat sahabatnya itu tidak bergerak sedikitpun dengan nafas yang sangat pelan membuat perasaan khawatir perlahan merasuki tubuhnya.
"Gina, lu jangan jadi pengecut buat ngehindarin pembicaraan kita berdua," ucap Suzy yang pastinya tidak terdengar oleh Gina.
Namun, masih tetap sama yang dipanggil tidak sedikitpun menggerakkan anggota tubuhnya. Suzy mengerutkan kening samar, ia semakin dilanda rasa cemas saat melihat Gina yang masih tidak merespon.
"Gin ... " Suzy memanggil seraya menyentuh pundak sahabatnya. Ia menggoyang sedikit bahu Gina, hingga semakin lama semakin kencang.
"Gina!" panggil Suzy sekali lagi. Kali ini ia menyingkap rambut yang menutupi seluruh wajah Gina. Dan sepersekian detik kemudian setelah melihat seberapa pucatnya wajah gadis itu, Suzy berteriak.
"IBU, GINA PINGSAN!"
*****
Sang surya yang menjadi pengingat dan waktu manusia untuk beraktifitas sudah tidak terlihat lagi. Bulan dan bintang yang biasa menggantikan tugasnya tidak dapat hadir untuk malam ini, membuat suasana gelap gulita terpaksa hadir tanpa keindahan.
Kedua mata lentik seorang gadis cantik yang tertutup itu perlahan bergerak-gerak. Tidak lama kemudian, netra hitam yang tersembunyi di dalamnya terbuka. Gina, remaja itu terdiam sebentar lantas mengedarkan pandangan.
Kebingungan melanda dirinya saat membuka mata tidak mendapati plafon kamar tidurnya, tetapi plafon kamar Suzy. Gina meringis, merasakan sakit di bagian kepala. Dan pada saat itu juga, semua memori yang sempat hilang menyerbu otaknya dengan cepat.
"Errghh ... panjang banget hari ini. Kalau dijadiin film kayaknya udah sampe season ke lima kali ya," monolog Gina. Hari sudah malam, ia tahu. Ibu Suzy pasti juga sudah memberi kabar kepada dua kakak kembarnya bahwa sekarang ia menginap.
Tapi tunggu, Ibu tidak memberi tahu Gian dan Gino bahwa ia pingsan, kan?
Gina melirik ke arah pintu, gadis cantik tersebut menatap benda kotak di sampingnya lekat.
Dia lapar, hari ini terhitung hanya satu kali saja Gina menyuapkan nasi untuk mengisi perut, itupun hanya sedikit yang ia telan. Tidak heran kenapa ia lapar hingga seluruh tubuhnya lemas tak berdaya.
Secara hati-hati agar kepalanya tidak terasa semakin pening, Gina mendudukan diri. Ia berniat keluar dari kamar sebelum suara pintu yang dibuka dari luar berhasil mengurungkan niatnya.
"Kamu udah bangun?" tanya suara yang sudah sangat familiar diterima oleh telinganya.
Gina tersenyum tipis, lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dijawab. Jika seseorang yang saat ini tengah menyiapkan makan untuknya itu bukan Ibu, melainkan kedua kakak kembarnya, Gina pasti sudah melayangkan beberapa kata sarkas.
"Kamu tadi pucet banget, Ibu denger kemaren juga Gina lagi kurang sehat, kan?" Lagi, Gina hanya memberikan senyuman sebagai sebuah jawaban. Ia lebih tertarik dengan telur dadar kesukaannya dan nasi yang terlihat amat menggiurkan di nampan yang sang Ibu bawa.
"Maaf," lirih wanita itu dalam. Gina terebelalak kaget ketika tahu bahwa seseorang yang sudah ia anggap sebagai seorang Ibu itu meminta maaf. Setahu ia, Ibu tidak pernah membuat kesalahan sehingga harus memberikan permintaan maaf.
"Hm? Ibu kenapa minta maaf?"
"Kalau tau kemaren kamu lagi sakit, Ibu nggak bakal nelfon Gian sama Gino biar kamu nggak kesini." Sang Ibu sangat besalah melihat seberapa menyedihkannya kondisi Gina ketika gadis cantik nan baik tersebut menginjakkan kaki di rumah ini.
Sangat sakit melihat seseorang yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri terlihat amat memprihatinkan. Dan parahnya yang ia pedulikan hanyalah Suzy, tidak dengan gadis itu. Jika ia bisa mengembalikan waktu, ia tidak akan sibuk hanya dengan anak kandungnya sendiri.
Melainkan juga memperhatikan Gina yang jelas-jelas sedang ditinggal sang Mama pergi untuk sementara.
Di balik selimut, Gina mengepalkan tangan tidak suka saat raut penyesalan itu terpajang apik di wajah sang Ibu. Ia menepuk-nepuk sebah kasur Suzy, memberi maksud agar Ibu duduk di sampingnya.
Setelah Ibu dari Suzy itu duduk, Gina mendekat lalu setengah merengkuh tubuh sang Ibu dari samping. "Gina nggak papa kok, daripada nggak dikasih tau sama Ibu, pasti kondisi Gina makin parah gara-gara firasat nggak enak."
"Tapi kamu--"
"Bu, Gina nggak papa kok. Cuman sedikit pusing aja tadi sama jatuh pas kesandung. Lagian Suzy udah kayak adek Gina sendiri, Gina nggak bakal tega kalau dia terus ngurung diri kayak tadi."
Gadis cantik yang sedang memejamkan mata seraya menyerahkan kepalanya dipundak hangat sang Ibu, tersenyum menenangkan sekaligus memberikan kode agar Ibunya itu tidak lagi mengucapkan omong kosong yang menyayat hati.
Sang Ibu hanya terdiam, ia tahu bahwa anak tersebut paling tidak suka dikhawatirkan apalagi mendengar kata maaf dari orang yang menurutnya tidak bersalah.
"Ibu," panggil Gina. Ia membuka matanya saat mengingat sesuatu.
"Ibu nggak bilang kan kalau Gina pingsan ke Kak Gian sama Kak Gino?" Hembusan nafas kasar menjadi sambutan petama kali dari pertanyaan Gina. Belasan tahun ikut berperan dalam pertumbuhan gadis di sampingnya, Ibu dari satu anak tersebut sangat tahu segala sikap Gina.
"Nggak, Ibu tau kalau kamu nggak mau Gian-Gino khawatir. Udah itu langsung ngambil kuci mobil, ngebut buat sampe kesini terus ngoceh nggak berenti-berenti nanyain kamu kenapa." Wanita itu terkekeh geli, sungguh Gian, Gino, dan Gina merupakan tiga anak yang menggemaskan.
Saling melindungi satu sama lain, mengenggam erat tangan mereka pada dua saudara kembar masing-masing. Ikatan mereka bertiga seperti baja, terlihat kuat dan tidak mudah hancur. Meskipun takdir memukul mereka berkali-kali.
Gina menghela nafas lega, Ibunya yang satu ini memang sangat mengerti apa yang diinginkan serta dikhawatirkannya. "Makasih," ucap Gina tulus. Otot wajahnya terasa ringan untuk tersenyum, sangat senang karena sang Ibu tidak memberitahu perihal dirinya yang pingsan.
"Gina, Ibu bener-bener nggak bakal marah kok." Perkataan tiba-tiba tersebut membuat Gina mengangkat kepalanya, ia menatap bingung atas apa yang wanita itu ucapkan.
"Maksud Ibu?" Sang Ibu yang memang terlihat sedikit lebih tua dari Mamanya, hanya memberi senyum lebar, amat sangat lebar kepada Gina yang menatapnya heran.
Namun, bukannya merasakan aura positif dari senyuman yang diterimanya, Gina malah bergidik ngeri. Ia jelas tahu ada makna tersembunyi dari senyum lebar sarat akan aura mengerikan dari Ibu itu.
"Kalau Suzy memang udah kelewatan, Ibu sama sekali nggak keberatan kalau kamu ngeduluin Ibu sama Ayah buat nampar Suzy."
Setelah mengucapkan hal itu, sang Ibu mengecup kening Gina yang mematung di tempat. Ia menatap takjub atas izin yang sangat menakjubkan dari orang tua Suzy di hadapannya.
"Nih, kamu makan dulu. Jangan sampe sakitnya makin parah ya, sekalian tuh udah Ibu siapin obat pusing sama penambah darah." Wanita itu meletakkan nampan yang tadinya berada di atas pangkuan miliknya kepada Gina. Ia mengerjap sebentar merasa melupakan sesuatu.
"Oh iya, tadi Suzy nangis banget ngeliat kamu pingsan. Dia mau ngobrol lagi sama kamu kalau udah selesai makan katanya," imbuh sang Ibu di akhir.