20 April 2004
Suara gaduh entah dari ruangan mana, membangunkanku dari lelapnya tidur. Jarum jam di dinding baru menunjukkan pukul dua dini hari, tapi sudah ada keributan di rumahku. Memang, ayah dan ibu adalah orang yang sibuk. Terkadang mereka baru pulang ketika yang lain sudah dibuai mimpi.
Ditunggangi rasa penasaran, dengan perlahan aku melangkah mencari sumber kegaduhan. Tidak biasanya ayah dan ibu bertengkar ketika sampai di rumah. Bahkan setahuku, keduanya memang tidak pernah bertengkar. Menapaki anak tangga satu per satu, suara ribut itu terdengar semakin jelas.
Tangis seorang wanita mendominasi. Meraung dengan kata-kata yang sedikit kupahami. Aku yakin itu suara ibu. Rasa penasaranku semakin menggebu, dibarengi dengan kekhawatiran akan kondisi ibu. Terakhir kali mendengarnya menangis sekeras ini adalah ketika nenek meninggal. Dan aku yakin saat ini pun sedang terjadi hal buruk di sana.
Sampai pada anak tangga terakhir, aku mencoba menambah kecepatan. Sialnya suara letupan senjata api membuat tubuhku limbung, dan hampir terjatuh di atas lantai. Tanpa sengaja, vas bunga kesayangan ibu tersenggol dan jatuh. Pecah menjadi kepingan tajam berbagai bentuk dan ukuran. Aku terdiam untuk beberapa saat. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Bau anyir terbawa angin yang dingin, menyadarkanku kembali dari lamunan. Tangis ibu sudah tidak terdengar lagi. Hanya sunyi yang tersisa. Membuatku gelisah. Ibu, apa yang terjadi padamu?
Aku berbelok sedikit dan mengintip dari balik tembok pemisah dengan ruang tamu. Bau anyir tadi semakin tercium jelas dari sini. Begitu juga dengan pemandangan yang tersaji. Sungguh mengerikan, dan mendadak perutku terasa sangat mual.
Kulihat ibu terduduk di lantai, bersandar pada kursi. Tangannya terlihat memeluk tubuh kakak perempuanku dengan erat. Dari kepala keduanya, darah mengucur dengan deras. Tidak jauh dari posisi mereka, ayah terduduk lesu. Menatap kosong pada keduanya. Aku tidak ingin percaya ini, tapi ayah memegang senjata api.
Aku beringsut mundur, ketika tatapan ayah tiba-tiba teralih ke arahku. Perasaanku kacau. Takut, marah, sedih dan tentunya penuh tanda tanya.
Air mata sudah bercucuran. Tidak lagi kuhiraukan kata-kata ibu yang selalu memintaku untuk tidak menangis. Untuk tidak menjadi anak yang cengeng.
Apa yang kedua mataku saksikan saat ini, terlalu pilu jika hanya direnungi tanpa air mata. Pun begitu sulit untuk diterima.
"A-ayah, apa yang kau lakukan?" Suaraku tercekat.
Bukan jawaban yang aku dapat, ayah justru menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Dia juga menodongkan benda mematikan itu ke arahku. Apa dia akan menghabisiku juga? Tidak!
"Lari jika kau ingin hidup!" ucapnya. Terdengar datar dan mengerikan.
Tidak seperti ayah yang selama ini aku kenal. Ayah berhati lembut. Ayah yang selalu menjaga emosi ketika bersama kami, seolah lenyap begitu saja entah pergi ke mana. Tergantikan oleh iblis yang baru turun dari neraka.
Aku melirik ibu. Sangat ingin memeluknya untuk terakhir kali. Ah tidak, apa-apaan pikiranku ini. Aku yakin dia hanya pingsan. Lagi pula, ibu adalah orang yang kuat. Satu peluru tidak mungkin membunuhnya. Ya. Sangat tidak mungkin.
Dorr!
Satu peluru melesat di sampingku. Melubangi dinding di belakang. Tampaknya ayah benar-benar ingin menghabisiku juga.
Apa salah kami? Jika pun ibu memiliki salah padanya, tidak sepantasnya dia berbuat seperti ini, bukan? Segala sesuatu bisa diatasi tanpa harus menumpahkan darah. Itu kalimat yang orang dewasa katakan, tapi sepertinya ayah tidak pernah mendengar kalimat itu.
"Kubilang lari!" Ayah berteriak.
Letupan senjata kembali terdengar memekakkan telinga. Dia melubangi dinding lagi.
Sungguh. Ini bukan ayahku. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, aku menuju pintu keluar. Membukanya dan berlari ke arah gerbang.
Sebelum mencapai tempat itu, aku dikagetkan dengan beberapa suara tembakan dari belakang. Apa dia menyesali keputusannya? Atau sengaja melakukan hal ini untuk menyiksaku?
Satu peluru berhasil menembus punggungku. Dalam hitungan detik, rasa sakit menjalar di seluruh tubuh. Sakit sekali.
Namun, aku mencoba untuk tetap menghindari ayah. Sampai kedua kakiku sudah tidak sanggup menahannya lagi, aku ambruk entah di mana. Pandanganku meremang.
Sebelum semuanya berubah menjadi gelap, aku sempat merasakan seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku. Antara hidup dan mati, aku sudah tidak peduli lagi akan hal itu. Alasan mengapa ayah melakukan hal ini pada kami, adalah satu-satunya yang ingin aku ketahui saat ini. Hanya itu!
Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, pangkat, latar tempat dan kejadian/kasus. Itu murni atas ketidaksengajaan penulis. Pun penulis tidak memiliki tujuan tertentu atau hubungannya dengan pekerjaan dari instansi terkait.