Petir menyambar-nyambar di atas langit, pepohonan bergerak tertiup angin, menimbulkan suara gemerisik yang tidak tertahankan, tanah diguyur oleh hujan yang turun dengan deras dan mulai longsor, membawa bebatuan dan lumpur turun ke bawah.
Seorang wanita bergaun hitam melangkah memijak tangga batu yang menanjak naik ke atas bukit, tidak peduli jika bajunya basah kuyup karena derasnya hujan, tidak peduli jika tubuhnya sudah menggigil karena kedinginan, ia terus memijak naik ke atas.
Di tengah derasnya hujan yang mengguyur, mata merah wanita itu meneteskan air mata dan suara isakan yang lemah.
Ia tidak membawa payung, juga tidak membawa mantel untuk menahan air hujan membasahinya, tangannya yang pucat memeluk sebuah kain kulit yang membalut sesuatu berbentuk persegi di dadanya.
Di atas bukit, di antara rimbunnya pepohonan, terlihat sebuah bangunan kuno berwarna coklat pudar, pintunya tinggi menjulang ke atas, dihiasi dengan ukiran-ukiran yang rumit, di sisinya terdapat jendela kaca yang sebagian telah retak dan pecah, penuh dengan sarang laba-laba.
Wanita itu berhenti sejenak, ia menarik napas dalam-dalam.
Ia mengulurkan sebuah kunci dan mendorong pintunya dengan pelan, bunyi berderit pun tak terelakkan, diiringi dengan suara petir yang menyambar membuat suasana semakin mengerikan.
Wanita itu adalah Luna Banadeth, seorang wanita putus asa yang gila.
Luna mengabaikan kakinya yang gemetar hebat sejak ia melangkah masuk, pintu telah terbuka lebar menampilkan gambaran suram ruangan di dalam bangunan itu.
Di dalam ruangan terdapat kursi-kursi yang berjejer, sebagian masih utuh, sebagian lagi sudah lapuk termakan usia, ada sebuah mimbar di depan yang penuh dengan sarang laba-laba, meja panjang di sudut ditumpuk dengan lilin-lilin yang sudah berubah warna menjadi coklat.
Luna berdiri di tengah-tengah ruangan, ia menatap lurus ke atas, tepat di atas kepalanya ada sebuah atap yang terbuat dari kaca, menampilkan keadaan langit yang dihiasi kilatan petir.
"Tidak apa-apa," ucap Luna dengan getir, setetes air mata jatuh di pipinya.
Luna membuka kain kulit yang sedari tadi ia dekap di dadanya, sebuah buku yang telah usang keluar diikuti dengan tiga buah lilin yang penuh dengan ukiran tinta merah.
"Tidak apa-apa," ucap Luna sekali lagi, ia memejamkan matanya dan bersimpuh. "Jika ini gagal tidak ada yang perlu disesali, setidaknya sudah pernah mencoba."
Luna menaruh tiga buah lilin di depan dan di kanan kirinya, membentuk garis segitiga dengan darah yang ia curi dari tempat donor darah kemarin.
Di luar hujan masih terus mengguyur, Luna mengabaikan dan menyalakan satu persatu lilin.
Ruangan yang tadi gelap berubah menjadi temaram, ia membuka buku usang itu pada halaman yang ditandai dan mulai melafalkan kalimat-kalimat aneh.
Luna terus membaca semua kalimat yang tertulis di buku usang itu, sekali dua kali, tidak ada yang terjadi.
Lilin bergoyang tertiup angin dan mulai meleleh, Luna terus membaca kalimat aneh itu hingga mulutnya terasa kering.
Tidak ada terjadi apa pun, pintu di depan terus berderit karena angin kencang yang berhembus, ranting-ranting menggesek dinding dan kaca-kaca bergetar.
Tapi tidak ada yang terjadi, semuanya normal karena hujan deras yang menerpa.
Luna menggigit bibir dan memejamkan matanya, setetes air mata jatuh di pipinya.
Bayangan beberapa orang meneriakinya sebagai wanita gila muncul di benaknya, diikuti dengan bayangan laki-laki yang ia cintai melemparkan surat perceraian dan sahabat yang ia percayai menyeringai sambil memeluk suaminya.
Luna telah dikhianati.
Tidak hanya oleh suaminya saja, tapi juga sahabatnya.
Ia bahkan dicap sebagai wanita gila oleh teman-temannya karena ia berusaha mempertahankan rumah tangganya.
Luna menarik napas panjang, ia mengacak-acak rambutnya yang basah. Ia memang gila, ia tahu itu.
Bahkan ia nekat naik ke atas bukit terlarang hanya untuk membaca mantera memanggil Iblis untuk membalaskan dendamnya, walau ia tahu hal itu mustahil tapi ia tetap naik di tengah malam dan hujan deras hanya untuk melakukan hal segila ini.
Ketika seorang wanita tua menawarkan buku usang ini padanya, Luna sudah terlalu putus asa dengan semuanya. Dunianya serasa hancur, ia kehilangan segalanya dan miskin.
Semua orang mencemoohnya, memuji mantan suami dan sahabatnya.
Luna meremas buku usang yang ada di tangannya, kembali merapalkan kalimat-kalimat aneh dengan air mata yang bercucuran.
"Ayolah, aku mohon … aku mohon berhasil."
Luna terus merapalkan kalimat yang sama hingga satu jam kemudian, sampai tenggorokannya terasa kering dan hujan mulai mereda.
Tapi tidak ada yang terjadi, semuanya normal.
"Aku memang gila."
Luna tertawa dengan getir, semua yang diucapkan wanita tua itu kebohongan, tidak ada Iblis yang datang untuk membalaskan dendamnya.
Luna tidak tahu harus menghadapi seperti apa lagi hari esok, rasanya ia ingin mati saja.
Buku usang itu dihempas, membuat cahaya lilin bergoyang pelan, Luna mengambil pisau lipat dari saku dan mengarahkannya ke lengannya.
"Tidak apa-apa, di sini sangat terpencil." Kedua tangan Luna gemetar hebat, antara kedinginan dan takut. "Tidak apa-apa, ini hanya sakit sebentar."
Pisau menggores sedikit, setetes darah jatuh ke lantai, Luna membuang pisau lipat dan mengubur kepalanya di lututnya.
Ia tidak sanggup, wanita itu menangis tersedu-sedu.
Darah yang menetes ke lantai menghitam, lalu menghilang ke dalam lantai seperti diserap oleh kain, tidak lama kemudian darah-darah yang dibentuk segitiga menyala, bersamaan dengan tulisan-tulisan yang tertulis di batang lilin.
"Ah!" Luna terkejut, ia hampir terjungkal ke belakang, cahaya merah berpendar terang dan naik ke atas, menembus ke atas atap kaca dan terus ke langit.
"Mustahil! Ini benar-benar berhasil?!"
Luna melompat keluar dari segitiga, ia menelan ludah dan melihat ke atas langit.
Terdengar suara dengungan yang nyaring, kemudian atap kaca di atas hancur berkeping-keping.
Luna segera mengangkat tangan melindungi kepalanya dan berjongkok.
"Ggrr!"
Sesuatu yang besar menabrak bangunan kuno itu, membuat dinding-dinding retak dan hancur, merengsek masuk ke dalam menuju segitiga yang dibentuk oleh Luna.
Luna mengabaikan tangannya yang tergores pecahan kaca, ia mendongak ke atas, di bawah kilatan cahaya petir, ia melihat sebuah sosok laki-laki dengan sepasang sayap terentang lebar di punggung, tanduk yang mencuat di atas kepala dan sebuah ekor panjang di belakangnya.
"Apakah ini Iblis?"
Sepasang mata emas mengerjap ke arah Luna, sebelum wanita itu terpesona lebih lama, detik berikutnya tubuhnya menghempas ke bawah, jatuh dengan keras.
BRUAK!
Lantai-lantai berderak retak, menerbangkan debu tebal dan membuat tiga buah lilin yang disusun Luna padam.
"Oh, tunggu!" Luna meraba-raba sakunya dan menemukan korek api, ia mengotak-atik selama beberapa saat hingga akhirnya menyala.
Ia mengedarkan cahaya dari korek api, sosok laki-laki bermata emas tadi menghilang, tergantikan dengan sosok kecil berwarna hitam yang mendesis ke arahnya.
"Apa-apaan ini … kenapa malah jadi kadal?!"
Selamat datang di cerita fantasi ketiga saya yang berjudul Be My Bride, semoga suka dan terhibur (◍•ᴗ•◍)❤
Jika berkenan silakan tinggalkan power stone atau komentar (≧▽≦)
Selamat membaca (◍•ᴗ•◍)✧*。