Evans diam-diam memandang Luna sejak tadi, sudah lebih lima belas menit ke duanya duduk di taman rumah sakit. Namun, satu pun tak ada yang membuka suara untuk memulai percakapan.
Luna sendiri tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, wanita itu memandang jauh ke depan. Seakan tengah menyaksikan masa yang akan datang.
Tak mau menganggu Luna, Evans pun akhirnya memilih untuk tetap menutup rapat bibirnya hingga Luna sendiri mau untuk memulai percakapan di antara mereka.
"Ada yang ingin, Dokter. Katakan?" tanya Luna tiba-tiba dengan nada yang begitu pelan.
Evans yang tadinya sudah memandang lurus ke depan kini menoleh lagi, melihat wajah cantik itu dari samping.
"Tidak, aku hanya ingin menemani kamu. Mungkin kamu yang ingin bicara?" tanya Evans balik, dia menyipitkan matanya saat angin siang ini terasa sedikit kencang mengenai wajahnya.
Evans baru bisa tenang setelah operasi yang begitu banyak menyita waktunya sejak pagi tadi, harusnya sekarang Evans menggunakan waktu luangnya untuk merehatkan tubuh.
Tetapi, dia memilih untuk menemani Luna duduk di sana. Evans tahu Luna pasti tengah terpikirkan sesuatu akan suaminya yang gila wanita itu.
Evans kadang bingung dengan Luna, kenapa dia bisa mencintai pria seperti Ekal setelah apa yang pria itu lakukan padanya sejauh ini.
"Dokter tidak ingin istirahat? Pasti lelah melakukan banyak operasi sejak tadi?" tegur Luna.
Evans adalah dokter ahli bedah, Luna jelas paham seperti apa sibuk dan lelahnya menjadi sosok Evans.
Evans tersenyum tipis, dia lantas menunduk memainkan kuku-kukunya yang pendek.
"Dibandingkan aku, kamu pasti jauh lebih lelah. Tidak apa-apa, hari ini aku tidak terlalu lelah," dalihnya.
Terdengar helaan napas berat dari Luna, dia sangat beruntung bisa mengenal sosok Evans yang begitu pengertian pada dirinya dan masalahnya.
"Jangan bicara begitu, Dok. Aku bukan siapa-siapa, Dokter. Tidak perlu bertingkah sampai seperti ini."
Luna merasa tak enak hati jika Evans pun harus mengorbankan waktu istirahatnya yang tak banyak untuk dirinya.
"Ck, berapa kali aku harus katakan kalau kamu adalah pasien dan juga rekanku, jangan sering berpikir seperti itu, mengerti?" tegur Evans sembari menatap Luna.
Berhasil menarik perhatian Luna untuk membalas tatapan itu.
Luna tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum karena ditatap dengan wajah setampan Evans.
"Kenapa, Dokter. Memandangku seperti itu?" ujar Luna sembari mengibaskan tangannya di udara antara wajahnya dan juga Evans menunjukkan jika dia sangat grogi ditatap demikian.
Luna lebih dulu membuang muka, masih menyisakan tawa yang indah di wajah wanita itu. Melihat Luna tersenyum Evans sedikit lega.
"Tidak apa-apa, oh. Iya, setelah ini apa yang akan kamu lakukan?"
Luna melihat sekitar dengan lamban, sekaligus memikirkan apa agaknya yang akan dia lakukan selama Ekal tak di rumah.
"Entahlah, Dok. Mungkin aku akan pergi ke suatu tempat untuk beberapa waktu selagi Ekal tidak di rumah," jawab Luna apa adanya.
"Pergi? Ke mana?"
Luna menyipitkan matanya, berpikir dengan keras bersama senyuman misterius yang membuat kening Evans mengerut tanda dia penasaran.
"Ke tempat di mana aku dibesarkan."
"Rumah orang tuamu?" tebak Evans cepat, dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Luna yang seperti tengah memikirkan sesuatu dengan matanya yang teduh itu.
"Ah, andai aku memiliki mereka. Aku pasti tidak akan merasa begitu hancur setelah tau suamimu memiliki simpanan di luar sana," jawab Luna dengan senyuman miris.
Ya, Luna merasa begitu miris pada nasibnya sendiri. Entah apa yang Tuhan takdirkan untuk dirinya hingga dia mendapatkan ujian yang seberat ini.
"Maaf, maksud kamu bagaimana?"
Evans memang dokter yang hebat, tapi. Untuk mengerti apa yang Luna katakan rasanya agak sulit untuk dirinya cerna.
"Aku tidak memiliki orang tua sejak kecil, lebih tepatnya mereka meninggalkan aku begitu saja di panti asuhan, entah bagaimana kabar mereka sekarang. Aku tidak tau," jawab Luna apa adanya.
Sama seperti Evans, dia memainkan kuku-kukunya yang panjang karena hampir menangis, Luna harus melakukan sesuatu untuk bisa menahan linangan air matanya yang siap tumpah kapan saja.
Jika, dia kembali teringat tentang orang tuanya yang membuang dia ke tempat itu.
"Oh, maafkan aku. Jadi, sejak kecil kamu tinggal di panti asuhan?" simpul Evans setelah mendengarkan Luna lebih jelas.
Luna mengangguk dua kali, dia mengangkat kepalanya mendongak ke atas menghalangi air matanya yang hampir jatuh karena dia asik menunduk.
"Kamu pasti melewati banyak luka selama ini, Luna."
Luna tersenyum miring, dia menggeleng tak membenarkan hal itu.
"Tidak, Dok. Tinggal di panti asuhan jauh lebih baik dari pada aku tinggal dengan orang tuaku yang telah membuangku," jawaban Luna menunjukkan seberapa besar rasa kecewa yang dia alami karena merasa dibuang sejak kecil.
"Apa kamu tau bagaimana wajah orang tuamu?" tanya Evans hati-hati.
Luna menggeleng.
"Aku berada di panti sejak usiaku dua tahun, pengurus panti pun tidak tau siapa nama orang tuaku karena katanya aku ditinggalkan di panti pada saat tengah malam dengan secarik surat saja."
Evans terdiam, jika seperti ini maka akan sulit untuk mencari tahu siapa orang tua Luna.
Ya, lagi-lagi Evans memiliki niatan untuk membantu Luna mencari orang tuannya yang membuang dia.
"Ngomong-ngomong, apa kamu pernah berusaha mencari siapa orang tua kamu?"
"Pernah, tapi aku selalu gagal. Sampai pada akhirnya aku mengenal Ekal. Dia memberikan cinta padaku, dan mengajak aku menikah. Sejak saat itu aku mulai berpikir jika aku sudah memiliki Ekal maka aku tidak butuh siapa pun bahkan orang tuaku, tapi. Sekarang...?"
Luna tersenyum miris lagi, dia menatap hal lain asal bukan Evans dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Ekal pun menduakan aku, cintanya yang dulu hanya untukku, kini dia bagi ke wanita lain. Mau orang tuaku dan suamiku, mereka sama saja, Dok. Menelantarkan aku sesuka mereka, seperti aku ini barang yang tidak berharga."
Suara Luna bergerak, dia hampir menangis. Saat wanita itu tak sanggup lagi, dia langsung bangkit begitu cepat. Evans pun melakukan hal yang sama.
Luna membelakanginya, Luna memang selalu begitu tak ingin orang lain melihat kesedihannya.
"Baiklah, Dok. Aku akan pulang, Dokter istirahatlah. Permisi," cakap Luna terkesan terdesak.
Dia meninggalkan rumah sakit dengan air mata yang tumpah, tapi. Syukurlah Evans tak melihat dirinya menangis.
Sepeninggalan Luna, Evans masih berdiri di tempat yang sama. Menunggu hingga punggung wanita itu menghilang dari pandangannya.
"Nasib baik apa yang akan kamu dapatkan di masa depan Luna, sehingga Tuhan memberikan cobaan yang begitu berat ke pundak kamu," gumam Evans pelan.
Pria itu menghela napas panjang, Evans kembali menatap depan. Lantas dia mengeluarkan ponselnya yang bacase hitam itu, memandang sebuah foto yang selalu membuat dirinya ingin hilang detik ini juga.
***