Kehidupan Han Yeona berubah seratus delapan puluh derajat pagi ini, semua karena kesalahan fatal yang berawal dari cinta, cinta sejati menurut Yeona, tapi ….
Suara cambukan ikat pinggang menggema dalam ruang megah menebar teror pada Yeona.
Wanita berusia nyaris sembilan belas tahun itu membayangkan betapa sakitnya kulit ketika cambukan Han So Jong, ayah kandungnya menyayat kulit.
Wajah ayah bagai volcano yang meletup siap membakar apapun yang tersentuh olehnya. Suara beliau pun meletus!
"Katakan siapa lelaki sialan itu! Berani sekali dia merusak anak Han! Cepat katakan, atau ikat pinggang ini bakal menyakitimu!"
Ayah memakai ekor sabuk hitam, bukan kepala besi sabuk. Dia masih memikirkan anak pertamanya, suatu hal yang baik.
"Tidak ayah, tidak!" Yeona merangkak mundur, meringkuk di ujung ruang. Dia sadar jika ayah mendapati nama lelaki itu, nyawa lelaki yang dia cintai bisa melayang!
"Katakan, atau kau akan berakhir seperti meja terkutuk ini!" Ayah menendang meja kayu hingga terbalik dan membuat tangis Yeona menjadi - jadi.
Han Ji Er, ibu tiri Yeona, dengan tubuh kurusnya menengahi mereka sambil mendorong suami.
"Hentikan suamiku. Cukup. Dia anakmu, anak kita. Jangan sampai kau menyesali perbuatanmu kelak!"
Ayah mendorong ibu hingga jatuh membentur meja. Masih saja gelegar suaranya menggema. "Semua ini salahmu! Lihat, karena kau memanjakannya, dia menjadi pelacur!"
Suara bentakan ayah membuat Yeona mengerang memeluk janin berusia tiga bulan miliknya, berusaha melindungi apa yang dia cintai.
Bagi mayoritas warga liberal Korea Selatan, hamil di luar nikah dianggap biasa. Bagi mereka seks merupakan ungkapan cinta. Namun, berbeda dengan keluarga Han. Mereka menjunjung tinggi tradisi dan bagi mereka hamil di luar nikah adalah aib.
Derap kaki semakin keras di ruang mewah menghentikan sejenak kebrutalan ayah. Asisten rumah tangga muncul tertunduk, tiada berani memandang ayah. "Maaf Tuan, ada tamu di luar."
Beruntung, kehadiran tamu membuat ayah melempar ikat pinggang hitam ke dinding. Baginya nama baik adalah yang utama dan jika tamu melihat atau mendengar dia menyiksa anak dan istri, mau ditaruh mana muka Han So Jong?
Dia menuding istri dan anaknya bergantian sambil mewanti - wanti nyaris berbisik.
"Awas kalau di depan tamu kamu bertingkah. Aku pastikan janinmu lenyap." Lalu dia pergi meninggalkan ruang mewah yang penuh pecahan porselen hasil kebrutalannya.
Biasanya, ayah murah senyum dan ramah kepada siapapun. Terhadap Yeona dan Han Hye Rin, anak keduanya, pun, dia tidak segan memanjakan mereka dengan barang - barang mewah. Namun, ketika nama baik keluarga terusik, dia pun ringan tangan tega melampiaskan semua amarah ke keluarga.
Ibu membantu Yeona bangkit. "Yang sabar, ya, Nak. Kamu kenal ayahmu, kan? Dia begitu karena sedang marah. Nanti ketika amarahnya surut, dia akan berpikir dengan jernih. Sekarang kamu bersihkan tubuhmu, sambut tamu, ya."
"Iya, Bu." Tertatih - tatih Yeona melangkah menuju kamar mandi.
Baginya ibu adalah malaikat pelindung. Semenjak beberapa tahun silam ketika Yeona pertama kali datang ke rumah ini, ibu begitu baik kepadanya. Dia tidak membedakan antara Hye Rin dan Yeona. Jika Hye Rin dibelikan baju baru, Yeona pun diberi baju baru.
Di dalam kamar mandi, Yeona mencuci muka. Setelah Itu dia pergi ke kamar untuk bersolek menghadap cermin.
Baju sundress dengan rok selutut membalut tubuh langsingnya yang sudah berlapis kaos oblong putih. Aih, dia seperti boneka manis sekali. Senyum tipis menghidupkan wajah tirusnya. Dia harus bersikap baik di depan tamu, jangan sampai terlihat sedih atau bakal timbul pertanyaan tamu kelak.
Dia keluar kamar menuju lantai satu. Senyumnya semakin merekah ketika mendapati sosok pemuda berambut hitam lembut berpakaian kemeja biru motif kotak - kotak sedang duduk membuka sepatu.
"So Sujun, kenapa tidak memberitahu kalau mau datang?"
Mendengar suara yang dia kenal Sujun bangkit menyambutnya dengan senyuman menawan. Senyum di bibir tembem seksinya mampu menghapus lara Yeona.
Lengan Yeona melingkari tubuh langsing Sujun sementara wajahnya terbenam ke dada. Tiada pelukan dari Sujun, janggal, tapi rasa itu sirna ketika tepukan lembit mendarat ke kepalanya.
Manja Yeona mendongak menyerang mata lembut hitam kekasihnya. "Aku kangen, loh. Bagaimana Busan? Apa kau sedang libur, sampai datang ke Seoul?"
"Uhm, sebenarnya kedatanganku kemari karena–"
Belum juga suara lembut itu menyelesaikan ucapannya, suara gadis manja menghalau dari arah tangga. Suara yang sangat Yeona kenal dan benci.
"Hai Kak!" Gadis mungil berambut berombak kemerahan melambai ramah. Pakaian babydoll dengan rok selutut merekah membuat penampilannya menurut Yeona seperti boneka Annabelle.
Yeona bertanya, "Han Hye Rin, kenapa pulang?"
"Kenapa pulang? Ini juga rumahku, kan?" Hye Rin cemberut manja menjawab pertanyaan Kakak, dia menghampiri mereka.
Yeona bertanya, "Dengan siapa kamu ke sini?"
"Kak Sujun."
"Dasar, merepotkan pacar orang."
"Pacar? Kalian masih pacaran?"
"Kau–"
Sujun melerai sebelum dua gadis saling cakar. "Kalian bukan anak kecil lagi, jadi bersikaplah dewasa. Yeona, paman dan bibi di rumah?"
Yeona mengangguk. "Ayo, aku hantar menemui mereka. Ada perlu apa?"
"Mau tahu saja urusan orang," sela Hye Rin, melangkah di antara Yeona dan Sujun.
Gadis menyebalkan. Ingin Yeona menjambak boneka cacat mentak itu, tapi di depan Sujun dia harus menjaga sikap.
Yeona muak dengan tingkah Hye Rin. Semenjak pertemuan pertama mereka beberapa tahun silam, Hye Rin suka merebut milik Yeona. Sepeda, pakaian, sahabat, bahkan universitas.
Dua tahun yang lalu Hye Rin berkuliah di Busan setelah sukses mempengaruhi ayah guna memasukkan Yeona ke kampus kedokteran Seoul.
Padahal Yeona ingin berkuliah di Busan bersama pacarnya. Gara - gara gadis laknat ini pula, Yeona terjebak dalam long distance relationship dengan Sujun.
Sekarang Hye Rin datang bersama Sujun, siapa yang tidak curiga?
Langkah mereka sampai di ruang megah nan mewah. Mereka disambut oleh ayah dan ibu dengan tangan terbuka, lalu mereka duduk di tatami.
Ayah dan ibu bersebelahan menghadap Sujun yang diapit dua gadis cantik dan manis. Mereka berlima ngobrol santai sambil menikmati cemilan yang asisten rumah tangga sajikan di meja kayu hitam brand ternama dunia.
"Aku dengar ayahmu mengakuisisi stasiun TV KBSI," ucap ayah pada Sujun.
"Ayah hanya membantu stasiun TV, Paman."
"Jangan merendah. Seratus milyar Won bukan jumlah sedikit."
Ayah tertawa kecil lalu meneguk teh oolong dalam gelas porselen.
"Sebentar lagi kamu masuk ke dunia kerja. Aku tidak sabar melihat performa-mu mengurus salah satu perusahaan ayahmu."
Mata ayah hijau membahas uang. Baginya prestige dinilai dari jabatan dan uang.
Ibu ikut mengobrol. "Kamu sudah dewasa dan cukup umur untuk menikah. Kalau boleh tahu, siapa calon-mu?"
"Calon?" Sujun sedikit tercekik, mungkin dia tidak siap dengan pertanyaan pribadi macam ini.
"Calon istri," lanjut ayah, tertawa lepas menikmati wajah merah-malu Sujun. "Punya, kan?"
"Sudah ada, Paman, Bibi."
"Wah, siapa wanita beruntung itu?" tanya Ibu, semakin antusias.
"Ada di sini," jawab Sujun, dengan wajahnya memerah tertunduk malu.
Ayah dan ibu bertukar pandang heran, lalu tertawa canggung. Mereka menoleh pada anak tertua mereka. Mungkin menebak jika Yeona yang Sujun maksud.
Dahulu ketika Yeona masih tinggal dengan mendiang Kang Deokman, ibu kandungnya. Sujun merupakan tetangga Yeona di desa. Yeona mengenalkan Sujun pada keluarga Han sebagai pacar. Wajar mereka menerka calon istri Sujun adalah Yeona.
"Kehadiranku kemari untuk melamar anak paman dan bibi," ucap Sujun dengan serius.
"Yang mana?" tanya Tuan Han.
Lirikan Sujun penuh misteri. Mata hitamnya menyembunyikan sesuatu yang gagal bibir sampaikan.
"Jangan membuat ayah menanti, katakan," bisik Yeona dengan manja, menyenggol lengan Sujun.
Sujun mengambil napas dalam - dalam, lalu bicara dengan Tuan Han.
"Aku ingin melamar Han Hye Rin. Kami sepakat ingin bertunangan dulu hingga kelak menemukan waktu yang tepat untuk menikah."
Ucapan Sujun bagai petir menyambar hati Yeona. Bagaimana mungkin pacar sendiri melamar orang lain di depan matanya? Melamar si Jalang Sampah tidak berguna?
"Tidak! Sujun, apa - apaan kau ini? Seharusnya kau melamarku!" teriak Yeona, menepuk dadanya sendiri.
"Maaf Yeona."
"Kau keterlaluan! Kesal Yeona mendorong Sujun, lalu berdiri menudingnya. "Biadab kau, aku memberikan semua, tapi kau mengkhianatiku!"
Tingkah Yeona menyulut emosi ayah. Dia menggebrak meja hingga mengagetkan semua orang. "Dasar anak nakal, duduk! Jangan bikin malu keluarga!"
"Suamiku, suamiku sudah, ingat penyakit jantungmu." Ibu yang khawatir, mengelus dada ayah sambil mengiba kepada Yeona. "Katakan alasanmu kenapa mereka tidak boleh bertunangan?"
"Ayah, Ibu, kalian ingin tahu siapa lelaki yang menghamiliku, kan? Dia! Sujun yang menghamiliku!"
Ayah dan ibu kaget bertukar pandang. Mereka tidak mengira Sujun bisa melakukan hal tercela. Di mata mereka Sujun lelaki baik, ternyata ….
Tidak seperti harapan Yeona. Setelah semua tahu siapa lelaki yang menghamilinya, ibu dan ayah bungkam seperti tembok. Mana niat membunuh ayah? Sekarang Yeona ingin ayah memarahi Sujun!
Semua keheningan pecah oleh tawa sinis Hye Rin, lalu dia bangkit bersedekap, berucap judes pada kakaknya. "Jangan bercanda! Apa bukti janinmu hasil bermain dengan Sujun?"
Yeona membisu dihadapan kesombongan adik tiri.
Bukti apa untuk memaksakan klaim-nya? Dia yakin Sujun ayah dari calon bayinya karena cintanya hanya untuk Sujun.
Sekarang, apa semua itu bisa menjadi bukti ketika cinta mereka dipertanyakan?
****
Halo pembaca, terima kasih sudah berkunjung ke novel pertamaku. Semoga kalian terhibur dan mau memasukkan novelku ke dalam daftar bacaan kalian.
Jika ada salah dalam kepenulisan, maafkan saya. Yuk, baca novelnya sampai tamat!
Insya Allah novel tamat sampai episode 280-an. Semoga betah dan support terus penulisnya dengan batu kuasa, ya.
Selamat membaca.