下載應用程式
17.64% BAGIAN YANG LAIN. / Chapter 3: Bagian III ( Bagian Gila )

章節 3: Bagian III ( Bagian Gila )

"Salwa benar-benar enggak apa-apa di tinggal?" Ibu bertanya untuk kesekian tiba-tiba sebelum berangkat kerja.

Untuk kesekian kalinya juga Salwa mengangguk yakin. Mungkin Ibu sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Membuat dirinya percaya bahwa memang tidak apa-apa meninggalkan anak yang baru sadar setelah satu tahun koma seorang diri di rumah.

"Bu!" Panggil Salwa sebelum Ibunya benar-benar meninggalkan rumah. "Boleh aku minta uang jajan. Aku berencana membeli beberapa kaset untuk ditonton saat di rumah."

"Iya sayang, tentu saja." Ibu mengeluarkan tiga lembar uang seratus dari dompetnya. Jumlah yang lebih dari cukup untuk Salwa. "Ingat untuk menelpon kalau ada apa-apa. Jangan berjalan terlalu jauh dari rumah, habiskan sarapanmu dan jangan lupa minum obat, oke. Ibu pergi."

Salwa, 24 tahun. Dia tahu pesan Ibunya tidak cocok untuk wanita seusianya. Tapi Salwa juga tidak lupa bahwa dia baru saja keluar dari rumah sakit sehingga bisa mengerti ketika Ibunya mulai terlalu protektif.

Ibu mengambil kunci motor di atas televisi dan meninggalkan rumah. Ayah dan Daffa telah melesat lebih dulu begitu menyelesaikan sarapan. Mereka pergi bersama karena tempat tujuan searah. Ibu sendiri sengaja mengulur-ulur waktu karena terus menghawatirkan Salwa. Naluri seorang Ibu.

Dua puluh menit kemudian Salwa berada di dalam sebuah toko kaset. Kaset-kaset dijajarkan dalam rak-rak yang berbeda menurut asal negara dan genrenya. Toko kaset yang Salwa kunjungi cukup lengkap karena selain film juga mengoleksi CD dan DVD musik, juga panduan belajar. Penempatan yang cepat mempermudah pelanggan menemukan kaset yang diinginkan.

Salwa telah berpindah rak berkali-kali dan belum menemukan apa yang ingin dia tonton. Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya Salwa menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Bukan tentang kaset, melainkan sesuatu.

Jun.Entah sejak kapan Jun berada di toko yang sama dengannya, yang jelas mata Salwa baru saja menangkap wujudnya.

Salwa mendekat.

"Sedang…"

"Sttt!" Jun memotong kata-kata Salwa. Ia celingukan ke segala arah. "Sebentar lagi akan terjadi sesuatu," tambahnya dengan nada berbisik, seolah ada orang lain yang bisa mendengar suara selain Salwa.

Jun sedang memperhatikan seorang wanita yang kira-kira berumur 25 tahun, mengenakan daster panjang yang dilapisi dengan kardigan cokelat. Wanita itu membeli beberapa DVD pelajaran. Setelah mengatur pilihannya, wanita pun menuju kasir untuk membayar. Ingin tahu maksud dari kalimat Jun, lihat Salwa terus mengikuti wanita itu hingga ke luar dari toko.

"Kenapa lama sekali, apa kamu senang melihat suamimu menunggu kepanasan?!" Seorang pria berkulit gelap yang sedang menunggangi kendaraan beroda dua miliknya menyalak. Matanya merah tidak wajar. Jelas bukan karena baru bangun tidur.

"Maaf." Si wanita berusaha meredakan amarah suaminya.

Saat motor hendak tancap gas, kantong plastik yang dibawa si wanita terjatuh. Si wanita pun meminta suaminya kembali berhenti dan menunggu. Suami yang sejak awal memang telah uring-uringan semakin menjadi-jadi. Suami terus-menerus memaki istrinya. Perangainya benar-benar sangat buruk. Bahkan untuk menyulut keributan di depan umum karena masalah sepele si suami tidak merasa malu.

"Maaf." Si wanita mengucap maaf lagi.

"Maaf, maaf, cuma kalimat itu saja yang dari tadi keluar dari mulutmu!" Suami belum berhenti menyalak. Kantong plastik hitam yang baru diambil istrinya, ditarik paksa, kemudian dibuang.

Si wanita mengambil kembali kantongan berisi kaset yang suaminya lemparkan dengan sabar dan tanpa mengatakan apapun. Tidak membela diri atau pun melawan. Jelas tidak memiliki nyali.

"Barang yang sudah kubuang enggak boleh diambil lagi, apa kamu enggak mengerti, hah! Buang!!"

Pemandangan tentang kekerasan dalam rumah tangga pun menjadi tontonan. Si wanita tidak membiarkan suaminya membuang kaset yang dibelinya untuk membantu anaknya belajar. Melihat istri yang bersikeras tetap mengambil sesuatu yang telah dibuang, membuat suami berang bukan main. Suami menganggap istrinya membangkang karena tidak mendengarkan perintahnya. Melukai harga dirinya sebagai pria.

Tindakan kekerasan pun dimulai. Tangan si suami menarik rambut wanitanya yang terurai dengan kasar. Si wanita memekik kesakitan, namun hal itu bukannya membuat suami simpati. Amarahnya justru menjadi-jadi. Tangannya terayun dan memukul istrinya. Semakin istrinya merasa kesakitan, semakin gila suami memukul.

"Lihat!" Jun berbicara pada Salwa. "Entah siapa yang tidak memiliki perasaan sebenarnya. Kami, atau kalian para manusia."

Kalimat Jun sontak membuat Salwa menyadari sesuatu. Jun tidak hanya berbicara mengenai pria itu, tapi tentang semua orang.

Salwa memperhatikan sekelilingnya. Semua orang yang ada di sekitarnya membiarkan saja kejadian mengerikan ini terjadi di depan mata mereka. Entah itu pria muda, dewasa, perempuan, atau ibu-ibu. Semua hanya diam sebagai penonton.

Menyaksikannya dengan begitu dekat mungkin membuat mereka merasa sedang menyaksikan drama keluarga yang menyedihkan. Dalam hati berdoa agar tidak tertimpa nasib sial yang sama. Beberapa orang diam-diam mengambil ponsel untuk merekam. Bersiap-siap memviralkan dengan berbaris-baris kalimat penuh serapah untuk memaki pelaku kekerasan.

"Kamu tahu, wanita itu sedang hamil. Baru memasuki usia satu bulan." Jun membuat Salwa terbelalak.

Bakal manusia bukan sesuatu yang ada dalam alur, sehingga melakukan hal-hal yang terlalu dalam di kehidupan manusia justru akan menghancurkan mereka sebelum batas waktunya berakhir. Mencampuri urusan manusia adalah hal mutlak yang tidak boleh dilanggar. Mereka yang terlihat bahkan bisa tiba-tiba menjadi tak kasat mata jika berada di posisi rentan. Dari awal mereka memang ditakdirkan tidak masuk dalam alur. Sehingga kehadiran yang bisa membuat rantai kehidupan manusia kacau dapat ditiadakan sewaktu-waktu.

Tidak tahan hanya berdiam saja, Salwa mengalihkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu. Dapat.

Dalam situasi dimana orang lain berpikir tidak ingin mencampuri urusan yang bukan urusannya, atau perasaan takut karena melihat betapa berang suami memukuli istrinya, Salwa justru masuk dalam arena. Dengan tangan menggenggam balok yang diambil dari bangunan yang sedang dalam tahap renovasi, Salwa terus berjalan mendekati pria itu.

–Buk, Salwa memukul punggungnya dengan sekuat tenaga. Pria itu berbalik. Sambil menahan sakit, matanya menatap marah, bola matanya terlihat seperti akan melompat keluar. Salwa memukulnya lagi sebelum si pria sempat menyerang balik, tepat di dekat lehernya dan pria itu akhirnya jatuh pingsan.

"Tindakan selanjutnya terserah Mbak." Salwa berkata sambil menatap wanita yang terlihat begitu terkejut. Air matanya berurai. Rasa sakit, tidak berdaya, malu, dan kesedihan tergambar begitu jelas dalam bola matanya yang hitam. "Memilih terus bersama orang seperti ini dia dan menderita, atau berlari dan melepaskan diri. Bayi Mbak, juga butuh diselamatkan."

Salwa menjatuhkan balok yang ada di tangannya dan pergi.

Telinga Salwa masih menangkap suara orang-orang yang berseru dan berbisik-bisik membicarakannya.

Ada yang memuji keberaniannya, namun ada juga yang bergumam mengenai tindakan kekerasan yang tidak seharusnya Salwa lakukan.

"Apa manusia itu mengerikan?" Salwa bertanya ketika mereka telah memasuki jalan setapak dimana hanya ada Salwa yang terlihat di sepanjang jalan.

"Tidak hanya mengerikan, tapi bodoh, menyedihkan, juga… ada yang menggugah," Jun menjawab. "Mengerikan, bodoh, menyedihkan, dan menggugah, itu adalah hal-hal yang selalu kami lihat selama batas waktu yang diberikan. Selalu diberi pemandangan seperti itu terkadang membuatku merasa seperti ada dum-dum. Awalnya hanya desiran lembut, lama kelamaan berubah menjadi dentuman keras. Sesuatu seperti berusaha mendobrak keluar di ruang kosong ini." Jun meletakkan tangan kanannya di depan dada.

Ingatan Jun menerawang ke masa dimana salah satu sesamanya menghilang karena melanggar hal mutlak yang tidak bisa dilanggar. Dum-dum yang juga menimpa sesamanya. Dum-dun yang seharusnya mereka abaikan tapi tidak bisa.

Salwa tidak lagi menanggapi, hanya mengikuti saja kemana langkah Jun membawa mereka. Setelah melewati jalan setapak, keduanya tiba di sebuah jalan besar. Di jam-jam seperti ini, jalan dapat bernafas dengan leluasa karena legang. Hanya beberapa kendaraan yang terlihat berlalu lalang. Lebih banyak kesibukan dan kepadatan berada di dalam ruangan. Di sekolah, kantor-kantor, atau rumah. Harusnya.

Tapi kelihatannya tidak demikian seperti yang baru saja Salwa pikirkan. Baru sebelas langkah kakinya berjalan melewati jalan besar, dari jauh terlihat beberapa orang berkumpul. Sesuatu sedang terjadi. Masih di jalan besar yang sama, tidak jauh dari simpang empat yang menghubungkan pusat kota.

"Lihatlah!" Jun menghentikan gerak kakinya dan berkata pada Salwa. "Dimana pun tempatnya, sikap acuh selalu saja berulang. Mereka tahu dampaknya, mereka juga tahu bagaimana rasanya diacuhkan, tapi selalu saja ada alasan yang dibuat-buat untuk menutupi perasaan simpati yang sebenarnya masih bisa mereka rasakan. Akhirnya, semua menjadi kebiasaan. Terbiasa membiarkan, dan terbiasa mencari-cari alasan."

Salwa berusaha mencari tahu apa yang terjadi dari kejauhan. Berjinjit, mendongakkan kepala ke kanan dan ke kiri, dan sesekali melompat. Ketika salah seorang bergeser dari tempatnya, barulah dia bisa melihat sesuatu yang memang sedang terjadi. Kecelakaan. Terjadi antara sesama pengendara motor. Keduanya terluka parah karena terlihat hanya berbaring saja di tempanya terjatuh.

Orang-orang yang berdiri di area kecelakaan hanya menonton. Ada yang merasa ngeri tapi tetap tidak melakukan apapun. Ada yang mengeluarkan ponselnya namun hanya digunakan untuk meng-update status, mengambil foto, dan merekam. Sisanya, berdiri dengan penuh keragu-raguan. Ingin bertindak namun tidak ada yang memulai. Diam saja namun hati kecilnya berteriak sangat keras, merasa iba.

Darah segar masih menggalir, kening yang mengerut menahan rasa sakit terlihat begitu jelas. Bibir yang bergetar, pandangan yang mulai mengabur, tapi tetap tidak membuat satu pun dari yang menonton untuk segera bergerak mengambil tindakan.

"Huh, pemandangan macam apa yang sedang aku saksikan ini!" Jun berkata sinis.

"Terkadang di saat paling menyedihkan, akan diperlihatkan hal lain yang berbeda." Sebuah suara tiba-tiba saja terdengar ketika Salwa hendak beranjak mendekat ke tempat kecelakaan terjadi.

"Zeis!" Salwa menyebut nama sebuah uap yang mulai membentuk. Sepasang matanya menatap lurus ke arah jalan.

Seorang gadis yang mengendarai motor metik menepi. Setengah berlari gadis itu lebih dulu mendekati korban yang berada paling dekat dengannya. Helm belum dilepaskan, bahkan kunci masih belum dicabut dari motornya. Dengan menggunakan selayar yang digunakan sebagai masker untuk berlindung dari panas, dan debu, gadis itu membalut luka di kaki korban yang masih mengeluarkan darah.

"Kalian, siapapun itu tolong cari bantuan!" katanya meninggikan suara. Seolah tidak mendengar, tidak ada seorang pun yang bergerak dari tempatnya. "Apa enggak ada yang dengar! Cepat, ini darurat!!" tambahnya sembari menahan marah.

Seseorang mulai bergerak. Orang itu berdiri di pinggir jalan untuk meminta bantuan. Satu orang lagi, satu lagi, dan semakin bertambah. Gadis itu kini tidak lagi sendiri membantu dua korban kecelakaan. Orang-orang yang awalnya hanya menonton juga ikut turun tangan. Bersama-sama, mereka memberi pertolongan pertama dan mengangkut kedua korban untuk diantar ke rumah sakit begitu mendapat tumpangan.

"Itu artinya masih ada harapan. Semengerikan apapun dunia ini, sekacau apapun keadaan, akan ada 1, 2, 3 orang yang diutus sebagai penggerak. Mampu menyentuh dan mempengaruhi hati orang lain dengan kalimat dan tindakannya. Merekalah yang disebut sebagai orang-orang baik. Terlihat mirip drama memang, tapi bukankah jalan cerita seperti itu memang dibutuhkan untuk mendinginkan klimaks." Zeis menarik ujung bibirnya yang tipis. Tersenyum.

Salwa memikirkan kalimat Zeis sembari memberi warna pada perasaannya. Melihat keburukan, mendengar Bakal Manusia mengomentari kehidupan manusia, sebenarnya terasa aneh.

Salwa adalah salah satu manusia dan merupakan bagian dari kehidupan ini. Salwa tidak tahu seperti apa dulu dia hidup, tapi menjadi bagian yang bodoh, mengerikan, atau pun menyedihkan adalah kemungkinan yang pasti dialaminya. Jika memang benar Salwa salah satu dari ketiga bagian itu, bukankah itu artinya yang sedang Jun dan Zeis katai sebenarnya adalah manusia yang tepat berada di samping mereka saat ini. Manusia bernama Salwa Latifa.

*****

Salwa telah berada di rumah. Duduk di depan televisi dan menonton kaset yang telah dibeli. Film yang ditonton bercerita tentang seorang wanita yang bisa melihat hantu. Pemeran utamanya pernah berada di antara hidup dan mati karena menolong seorang bocah kecil yang hampir saja tertabrak truk. Kemampuannya itu ternyata membuatnya harus bertahan hidup lebih keras dari roh-roh jahat yang berencana mengambil alih tubuhnya.

Salwa menikmati tontonannya di ruang tamu sehingga terdengar jelas ketika suara motor memasuki pekarangan. Mesin motor dimatikan dan tidak lama kemudian pintu rumah terbuka. Ibu.

"Ibu membawakan makan siang, Salwa pasti belum makan." Ibu menunjukkan kantongan putih yang dibawanya. Bakmi ayam, makanan kesukaan Salwa.

Salwa ke dapur, mengambil mangkok beserta sendok, sementara Ibu sedang berada di kamar mengambil flasdisknya yang tertinggal. Ketika hendak menuangkan bakmi, terdengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Ayah.

Ayah dan Ibu sengaja pulang untuk menemani Salwa makan siang di rumah. Salwa benar-benar merasa menjadi seorang anak yang sangat beruntung. Seorang putri. Hidup dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Tapi… tetap saja masih ada bagian yang kosong. Perasaan hampa yang tidak juga kunjung hilang. Entahlah.

Ayah, Ibu, dan Salwa menikmati makan siang mereka di depan televisi sembari melanjutkan menonton.

Ibu menceritakan beberapa hal mengenai masa kecil Salwa. Bahwa Salwa adalah anak yang ceria dan penuh semangat. Kadang-kadang suka jahil, namun cengeng. Ayah ikut menambahkan dan sesekali tertawa. Ayah dan Ibu begitu bersemangat menceritakan berbagai hal mengenai masa kecil anak perempuan mereka yang meski seperti itu, Salwa sama sekali tidak menemukan gambarannya muncul dalam benaknya. Masih tidak ada, sedikitpun.

*****

Hari-hari yang Salwa jalani selalu berada di sekitar makhluk yang bernama Bakal Manusia. Salwa melihat apa yang mereka lihat, mengerti apa yang mereka katakan, dan harus menatap sedih saat melihat pemandangan yang menyakitkan.

Salwa tidak tahu apa yang sebenarnya dunia ini pertontonkan pada makhluk seperti mereka. Ada begitu banyaknya kejadian yang menyenangkan tersebar di setiap tempat tapi entah kenapa mata mereka selalu memandang ke arah yang menyedihkan, menyakitkan, mengerikan, atau hal-hal bodoh. Memang akan menemukan sesuatu yang menggugah sesekali, tapi itu ibarat pemanis yang sengaja disemaikan untuk menghiasi jalan terjal yang sedang mereka lalui.

Ini hari pertama Salwa pergi bekerja. Ibu merekomendasikan ke sebuah Sekolah Menengah Pertama yang sedang membutuhkan pengajar bidang studi Bahasa Inggris. Salwa mencoba mengirimkan CV-nya beberapa hari lalu, setelah wawancara, keesokan harinya Salwa dipanggil untuk mulai mengajar.

Salwa mengajar untuk semua kelas VII dan kelas VIII-C. Jam mengajarnya cukup banyak meski menjadi guru sementara. Tapi paling tidak Salwa bisa menemukan sebuah tempat untuk menghabiskan waktunya selain hanya berkeliaran saja mengikuti kemana Bakal Manusia satu atau yang lainnya pergi. Hanya dalam waktu sebulan Salwa sudah menjelajahi hampir semua sudut kota yang awalnya dia merasa benar-benar asing.

Kota tempat Salwa tinggal memang tidak seluas kota-kota lain di sekitarnya, tapi mengetahui ada begitu banyak 'hal-hal gila' yang, akan, atau sedang terjadi membuatnya ikut gila. Semua yang dilihatnya adalah pemandangan tentang dunia yang sedang Salwa tinggali, betapa telah jauh bergeser dari norma-norma yang sebelumnya memegang peranan penting.

Salwa bahkan tahu ada 5 Bakal Manusia tampak yang sedang membaur, dan 7 yang tak kasat mata atau hanya berupa uap. Beberapa yang lainnya datang dan pergi sesuka hati. Mereka hanya sesekali berkunjung, tidak benar-benar sedang menghabiskan batas waktunya di kota yang sama dengan yang Salwa tinggali.

Dengan sesamanya, Bakal Manusia biasanya sangat sering saling menghampiri untuk sekadar 'memamerkan' pemandangan 'gila' yang sedang mereka amati. Berkunjung untuk bertegur sapa atau saling mengenal bukanlah hal yang Bakal Manusia akan lakukan. Mereka semua berasal dari satu benang merah yang sama. Benang merah yang seolah menjuntai dari suatu ketinggian di langit biru sana. Mereka saling mengenal dan mengetahui identitas sesamanya tanpa harus mengendus lebih dulu untuk memastikan memiliki aroma tubuh atau tidak.

Bus berhenti di halte yang tidak jauh dari sekolah tempat Salwa akan mulai mengajar. Sebenarnya Salwa bisa saja pergi bersama Ayah atau Ibu dengan kendaraan pribadi. Tapi Salwa mulai merasa bahwa berjalan kaki dan menumpangi kendaraan umum itu menarik. Dia bisa mengamati dan memperhatikan sekelilingnya. Manusia-manusia lainnya atau semua pemandangan yang matanya pautkan.

Setelah menjelajahi sudut-sudut kota, tentu saja Salwa bisa dinobatkan sebagai pejalan kaki yang hebat. Pernah suatu ketika Salwa pingsan kelelahan sesampainya di rumah. Dia mengikuti Rui seharian. Rui adalah Bakal Manusia tak kasat mata.

Rui sedang menjadi saksi sebuah hal mengerikan yang tengah terjadi. Seorang anak laki-laki yang menjadi sasaran seorang pedofilia. Orang tua yang sangat membenci pelaku pedofil hanya berpikir tentang bagaimana membalas dan membuat pelaku menebus dosa-dosanya. Kebencian membuat mereka lambat dalam memberikan penanganan terhadap anak semata wayang mereka yang sangat membutuhkan pertolongan.

Salwa mengingatnya dengan jelas, bagaimana mata anak itu ketika menatap mata orang lain, rasa sakitnya, ketakutannya, bibirnya yang senantiasa gemetar. Salwa bisa merasakannya seolah dialah yang mengalaminya.

Amarah yang bagi seorang anak berusia 5 tahun tidak tahu bagaimana meluapkannya, terkumpul dalam suatu tempat di sudut hatinya. Menekan perkembangan kepribadiannya. Suatu saat, entah kapan, atau di usianya yang keberapa, tempat yang menampung semua perasaannya itu pasti akan meluap dengan tumpahan berwujud tidak tahu seperti apa.

Saat itu Salwa berharap dunia runtuh seketika itu juga. Bagaimana manusia bisa memangsa sesamanya dengan cara yang sangat mengerikan. Terlebih seorang anak. Hari itu adalah pemandangan paling mengerikan yang pernah Salwa saksikan selama sebulan petualangan bebasnya bersama seorang Bakal.

"Ini mengerikan, tapi menjadi sangat mengerikan karena akan tumbuh sebagai rantai. Korban, dengan kemungkinan besar menjadi pelaku."

Rui berbicara dengan nada datar. Tatapannya jauh, tidak tahu tertuju dan berhenti pada titik mana.

"Perasaan kasihan bukanlah hal yang sedang anak itu butuhkan. Karena perasaan kasihan meski membuat hatimu sampai bergetar, tetap tidak akan bisa menyembuhkannya. Lukanya… harusnya ditangani lebih cepat. Memang tidak akan langsung sembuh karena tetap memerlukan waktu yang panjang. Bahkan mungkin… sepanjang hidupnya adalah masa penyembuhan."

Berada dalam lingkungan baru ternyata tidak semudah apa yang Salwa bayangkan. Salwa tidak tahu bagaimana mengakrabkan diri, dan lidahnya selalu tertahan saat akan memulai pembicaraan. Hal itu membuatnya memilih hanya menyendiri saja setelah mengajar dan menghilang sesaat ketika jam istirahat tiba.

Hanya ada Salwa seorang diri membuatnya tidak perlu berpikir bagaimana harus menyapa dan memulai pembicaraan, atau bagaimana harus berpura-pura tersenyum dan ikut tertawa ketika seseorang bercerita. Disebuah tempat, dimana hanya ada diri sendiri, benar-benar membuatnya tenang.

Meski waktu terasa berjalan begitu lambat, akhirnya sampai juga di penghujung waktu kerja. Hari pertama ada dua kelas yang Salwa ajar. Masih hanya membahas mengenai perkenalan. Memperkenalkan diri, mengenal anak-anak didiknya, dan mengenal Bahasa asing yang akan diajarkan.

Membaur dengan remaja lebih mudah bagi Salwa dibanding dengan orang-orang seusia atau di atasnya. Entah batas apa yang ada pada dirinya, permasalahan itu membuatnya sulit bersosialisasi.

Di parkiran paling luar Salwa melihat mobil Ayah terparkir rapi. Dari mobil Daffa memanggilku, sementara Ayah melambaikan tangannya. Mereka semua tersenyum ke arah Salwa. Bahkan wajah Ibu yang merekah juga terlihat jelas meski pandangannya terhalang kaca mobil.

"Kenapa menjemputku tiba-tiba ?" Salwa bertanya setelah masuk ke dalam mobil.

"Ayah mengajak kita makan di luar," Daffa menjawab. "Padahal sebenarnya aku ada janji dengan temanku jam 4 ini."

"Makan di luar, kenapa ?" Salwa bertanya lagi.

"Ayah bilang perayaan hari kerja pertama Kakak." Daffa yang duduk tepat di samping kakaknya memberi jawaban dengan cepat.

Ekspresi Daffa mengatakan dia masih belum sepenuhnya setuju mengenai rencana makan sekeluarga di luar. Usia Daffa sama seperti anak didik di tempat Salwa mengajar. Anak laki-laki seusianya memang mulai susah jika harus jalan bersama keluarga untuk sekadar berkumpul menghabiskan waktu. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman atau bermain game seharian di rumah.

Ayah memilih tempat makan yang menyajikan berbagai macam pilihan hidangan laut. Meski masih ogah-ogahan, Daffa tetap menyantap makanannya dengan lahap. Makanan enak memang dapat memperbaiki suasana hati yang sedang tidak baik.

Setelah selesai makan, kegiatan selanjutnya berbelanja dengan Ibu. Ibu berbelanja bulanan, sementara Salwa dan Daffa membeli beberapa keperluan pribadi. Mengelilingi super market, dan bermain di time zone, sama melelahkannya seperti mengikuti Bakal Manusia menyelami kehidupan manusia.

Begitu semua keperluan telah selesai dibungkus, Ibu kembali mengecek belajaan sebelum mereka meninggalkan parkiran. Benar saja, Ibu melupakan sesuatu. Rokok Ayah.

Ayah memang bukan tipe perokok berat, namun terkadang Ayah harus merokok jika begadang untuk menyelesaikan pekerjaannya. Atau ketika ada temannya yang merokok. Salwa menemani Ibu membeli rokok di warung seberang jalan. Jalannya sangat padat sehingga mereka harus menunggu beberapa saat untuk bisa menyebrang.

"Jun?" kata Salwa pelan.

"Salwa bahaya!" Seru Ibu sambil menarik lengan anaknya.

Sebuah motor yang di kendarai oleh seseorang yang masih mengenakan seragam sekolahnya dengan ugal-ugalan hampir saja menyambar tubuh Salwa.

"Hati-hati, jalanan sangat ramai." Ibu mengingatkan.

"Maaf, aku tadi melihat temanku di seberang sana."

"Teman?" Ibu terdengar heran mendengar Salwa memanggil kata temannya. "Dimana ?"

Sebenarnya Salwa juga terkejut mengatakan Jun, makhluk yang tidak tampak seperti teman pada Ibu. Ibu celingukan mencari sosok yang tadi Salwa tunjuk.

"Tadi ada di sebrang sana." Kata Salwa menunjuk ke arah warung masakan Padang.

Jun tadi memang berjalan di trotoar depan warung Padang seberang jalan yang Salwa tunjuk. Namun sekarang entah menghilang kemana makhluk satu itu, mata Salwa tidak lagi mampu menangkap sosoknya. Ibu juga tidak melihat siapa pun yang ada di sana selain dua anak kecil dengan sepedanya. Salwa pun sama. Meski Jun masih di sana, Ibu juga tetap tidak mungkin bisa melihatnya.

"Makhluk kasat mata satu itu… siapa lagi kali ini yang menjadi pasiennya." Salwa membatin.

Ibu memegangi Salwa ketika mereka menyebrang. Kembali pun seperti itu. Sepertinya Ibu masih terkejut dengan kejadian saat Salwa nyaris di serempet motor.


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C3
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄