Setelah melatih tubuhnya, Rainer duduk bersila dan kedua tangannya ia temukan serta tempelkan telapaknya. Perlahan, ia memejamkan mata.
Rainer yang tadinya ada di tempat latihan kini berada di sebuah tempat yang cuma ada awan. Setelahnya, muncul seorang pria tua berambut, berkumis, serta berjanggut putih bepakaian ala prajurit kerajaan-kerajaan Indonesia pada jaman 'Majapahit'. Rambut pria itu dikuncir ke belakang.
"Rainer Dzulfiqar!" panggil pria itu ketika Rainer membuka mata.
Rainer pun langsung berdiri dan menghampiri pria itu. "Bagaimana tingkat 'kultivasi'ku hari ini, Tuan Bhatara? Apa sudah naik?"
Pria tua yang dipanggil 'Bhatara' tersebut mengelus-elus janggutnya sambil tersenyum. "Sekarang kau sudah naik ke level 'Silver'."
Rainer langsung kaget. "Apa?? Apakah sekarang aku sudah mencapai keabadian??"
Bhatara menggeleng. "Masih jauh. Aku tahu silatmu sudah tingkat atas, tapi kau masih harus berlatih lagi jika ingin naik level. Sulit jika hanya mengandalkan keberuntungan."
"Baiklah, kalau begitu aku-"
"Aku ingin memberimu sesuatu!" Bhatara menyambar perkataan Rainer.
Rainer mengerutkan kening. "Apa itu??"
Bhatara lantas mengangkat telapak tangan kanannya dan ia arahkan ke depan. Dari telapak tangan tersebut keluarlah sinar terang yang meluncur ke arah Rainer dan masuk ke dahinya. Karena hal itu, Rainer hampir saja terjengkal.
"Apa yang-"
"Itu Mata Dewa." Bhatara memotong ucapan Rainer. "Itu adalah hadiah karena kau sudah mencapai Kultivasi Silver. Cara menggunakannya tinggal mengalirkan Tenaga Dalam ke matamu, lalu lepaskan keluar. Fungsinya adalah menciptakan ilusi. Mata itu bisa naik tingkat jika terus diasah dan dilatih dengan olah napas Tenaga Dalam. Seiringnya naiknya kemampuan mata itu, fungsinya akan bertambah. Sekarang, kembalilah, prajurit tangguh." Ia lalu tersenyum.
Rainer mengangguk. Ia kembali duduk bersila dan memejamkan mata. Posisinya sama seperti sebelum ia berpindah ke tempat ini.
Tak berselang lama, Rainer kembali ke tempat asalnya.
Esoknya, di Kampus Futuran, Rainer yang selesai ngobrol-ngobrol dengan Beni, Doddy, dan, Made, tidur di bangku panjang kayu dekat kolam, sementara Beni dan dua orang temannya sedang membicarakan anak baru berjulukan 'Dark Dynamite'. Kabarnya, orang itu adalah berandalan yang memiliki reputasi bagus di tempat asalnya, 'Universitas 3 Bangsa'. Dia yang begitu kuat adalah orang yang paling ditakuti di kampus itu. Seluruh pihak kepolisian yang tengah memberhentikan tawuran berhasil dihabisinya. Ia bahkan bisa menghindari tembakan polisi. Sekarang, karena bosan di kampusnya itu, ia mengadu nasib di Futuran dan kabarnya ingin menyatukan Futuran serta menggantikan posisi One Hit.
Begitu sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba orang yang mereka bicarakan datang bersama beberapa orang.
"HOY!!! Mana ketua kalian???" teriak Dark Dynamite.
"Sadari tempatmu!" teriak Beni. "Kita cuma tim paling kecil di Futuran."
"Aku tidak peduli! Yang kuinginkan adalah puncaknya Futuran!" teriak Dark Dynamite. "Aku tidak mau mendengar ocehan yang seperti lapet, kotoran kemaluan kalian!"
Tiba-tiba, Rainer bangun. "Oh hey, hentikan bahasa tidak enak seperti zakar dan kemaluan itu."
"Rainer!! Aku tahu kau sudah menghabisi 5 Preman Faust atau omong kosong lain semacam itu. Tapi, akan kurobek kemaluanmu!! Uryaaaaa!!!" Dark Dynamite berteriak lalu berlari ke arah Rainer sambil mengepal kuat tangannya. Saat itu, Rainer menguap.
Akan tetapi, begitu hendak melayangkan tinjunya, Dark Dynamite ditendang lehernya oleh Rainer hingga jatuh ke dalam kolam.
"Alarm yang berisik sekali," ucap Rainer sambil melangkah pergi.
Beni dan teman-temannya melihat ke arah tempat Dark Dynamite jatuh.
"Sumbu Dynamite, sudah padam," ucap Beni yang kemudian tertawa, begitu pula kedua orang temannya.
Rainer berjalan menuju kantin. Kebetulan saat itu perutnya lapar. Akan tetapi, di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Cantika.
"One Hit." Rainer menatap tajam Cantika.
"Rainer Dzulfiqar." Cantika balas menatap tajam Rainer.
Mereka saling tatap selama beberapa saat.
"Katanya kau orang paling teratas di kampus ini. Buktikanlah!" ujar Rainer.
"Kau ingin pembuktian seperti apa?" tantang Cantika.
"Seperti ini!" Rainer langsung melesat ke arah Cantika dan meluncurkan pukulan ke wajahnya.
Sayang sekali, Cantika menghindarinya, lalu memegang tangan Rainer dengan tangan kirinya dan segera menghantam dada Rainer dengan tinju tangan kanannya.
Rainer pun terpental jauh ke arah salah satu kelas yang membuat para mahasiswi berteriak histeris. Akibatnya, bangunan kelas tersebut rusak.
"Cuma segitu kekuatan orang yang sudah mengalahkan Preman Faust. Cih!" Cantika melenggang pergi.