Disclaimer : AU buat pecinta #Lovely Runner #ImSol #RyuSunJae #WooHye #KimHyeYoon #ByeonWooSeok. Saya cuma punya imajinasi berlebih untuk buat cerita.
.
.
.
A Tender Heart Only For You
Author : F15TY
Pair : Im Sol x SunJae
.
.
Bonus : Side Story (SunJae's POV)
.
.
September 2025
Ruang konsultasi dokter kandungan terlihat sangat penuh, di musim ini sampai musim dingin biasanya angka ibu hamil memang selalu meningkat, dan aku tidak pernah berpikir akan tiba waktunya aku yang akan duduk di bangku antrian setelah selama bertahun-tahun sebelumnya selalu meledek In Hyuk.
Ya, sudah hampir dua tahun sejak pernikahan aku dan Im Sol di bulan Februari 2024.
Jangan berkomentar kalau aku terlalu cepat menikahi Im Sol!
Setelah dia menerima perasaanku di malam pergantian tahun, hingga akhirnya aku menikahinya di tanggal 2 Februari 2024 itu adalah jeda waktu paling menyiksa bagiku.
Aku ingin segera menikahinya setelah dia menerimaku, tapi Im Sol bersikeras bahwa dia harus menyelesaikan proyek dan laporannya sebelum menikah dan mengambil cuti panjang. Beralasan bahwa dia harus professional dalam proses hand over, dan dia juga menjabarkan begitu banyak pertimbangan. Menurutnya persiapan pernikahan tidaklah sederhana dan dia perlu menyiapkan banyak hal.
Aku terlalu obsesif? Tidak sabaran? Takut kehilangan?
Terserah apa kata kalian, tapi yang pasti aku memang ingin segera meresmikan hubungan kami sebagai suami istri.
Im Sol adalah wanita paling konservatif. Ketika banyak wanita di sekelilingku menawarkan diri mereka hanya agar bisa merasakan pengalaman tidur denganku, Im Sol justru tidak mau melakukannya kalau bukan dengan pria yang berstatus suaminya.
Aku menikahinya karena nafsu? Maaf saja, aku ini pria polos, sangat murni! Semurni oksigen!
Sekalipun ada banyak wanita yang mengejarku, aku hanya konsentrasi pada profesiku, berpegang teguh pada prinsip bahwa aku tidak akan melakukannya jika wanita itu bukan orang yang aku sukai.
Sampai akhirnya aku menemukan wanita yang menyita hampir seluruh bagian dari otakku, Im Sol.
Saat melihatnya lagi, aku hanya berharap dia menjadi yang pertama dan yang terakhir dalam hidupku.
Berstatus sebagai suami Im Sol berarti aku punya akses penuh terhadap kehidupannya, dan aku bisa leluasa mengawasinya yang sering kali mengabaikan kesehatannya sendiri.
Selama hampir satu tahun aku memperbaiki pola hidupnya, hingga akhirnya manajernya sendiri, merasa jengah dan memindahkan Im Sol ke bagian keuangan karena sering kali menerima pesan panjang dariku.
Ya, benar sekali. Im Sol, wanita keras kepala yang aku cintai itu, memilih tetap bekerja sekalipun aku bolak balik menyatakan bisa memenuhi semua yang diinginkan.
Tidak sekali dua kali aku mengancam Manager Jeong kalau aku akan memaksa Im Sol mengundurkan diri jika terus mendapatkan target yang membuatnya harus kerja lembur apalagi menghabiskan akhir pekan di kantor.
Aku menyadari bakat Im Sol, dan Manager Jeong membutuhkan bakat Im Sol sebagai perencana handal. Belum lagi, ternyata ayah Manager Jeong adalah pasienku, aku jadi lebih mudah untuk intervensi sekalipun lewat sindiran-sindiran kecil ke ayahnya. Aku sudah memperhitungkan semua sebelum menjalankan rencanaku.
Awalnya Im Sol keberatan dengan intervensiku, tapi saat aku balik merajuk dia melunak dan mau mendengarkanku. Semua demi kebaikannya, aku mengerti mungkin aku terlihat seperti orang yang sangat ikut campur, tapi Im Sol tidak pernah mengenal rem jika bukan aku yang menarik tuasnya. Aku bersyukur karena wajah tampanku benar-benar efektif meluluhkan hatinya.
Terimakasih Ayah, Ibu, karena sudah memberikan wajah tampan ini untukku.
Satu lagi hal yang membuat Im Sol kaget adalah perihal pekerjaanku.
Jujur saja, aku bukan perawat seperti yang dia duga, melainkan dokter. Apotek yang Im Sol kunjungi saat membeli tonik pun adalah apotek milikku.
Berkali-kali aku ingin meluruskan salah paham itu sebelum kami mengurus surat-surat pernikahan, tapi aku urungkan. Hingga Im Sol baru mengetahui statusku sebagai dokter spesilis saraf saat kami menerima tamu undangan di pesta pernikahan kami.
Para tamu yang kebanyakan kenalanku akan langsung menyebutku 'Dokter Ryu' dan Im Sol hanya bisa melirikku dengan mata bingungnya. Tidak heran di malam pertama aku harus merayu Im Sol habis-habisan karena dia ngambek dan tidak mau bicara padaku. Merasa aku sudah membohonginya.
Jangan tanya mengenai malam pertamaku dan Im Sol. Kami menghabiskan bulan madu di sebuah villa di pulau Jeju. Im Sol benar-benar sosok yang menakjubkan. Terkadang dia terlihat sangat berani dan lantang mengeluarkan pendapatnya, tapi tidak jarang juga terlihat sangat pemalu dan menutup diri sampai aku harus yang lebih dulu memulainya.
Bagai mimpi memang aku bisa meraih seseorang seperti Im Sol.
Cerita tentang Im Sol yang tidak mengetahui profesiku menjadi bahan olok-olokan di RS Seoul. Tidak hanya dokter, sampai ke perawat yang dekat denganku pun ikut menyerangku.
Karena itu, seperti sekarang. Saat aku menemani Im Sol memeriksakan kandungan, InHyuk akan meledekku, menyindirku tanpa henti. Ini pertemuan kedelapan kami, dan InHyuk belum bosan melakukan hal yang sama.
Usia kandungan Im Sol sudah memasuki usia delapan bulan, aku sudah ketar ketir setiap kali Im Sol terlihat meringis kesakitan. Aku menyuruhnya segera mengundurkan diri dan bersiap menghadapi proses persalinan, tapi Im Sol tetaplah Im Sol, dia memintaku agar bersabar hingga anak kami lahir dan dia bisa mengundurkan diri dengan tenang dengan alasan yang lebih masuk akal ke tim HRD kantornya.
Kenapa dia harus memiliki alasan itu? Terkadang aku bingung dengan jalan pikiran istriku ini, tapi aku terlanjur sayang dan tidak bisa mendebatnya.
"Tuan Ryu SunJae silahkan masuk!" terdengar suara perawat dari pintu ruang konsultasi yang terbuka. Saat aku bertemu pandang dengan DongSeok reflek dia tersenyum lebar, terlihat jelas hampir tertawa. Rasanya mau aku tinju saja muka InHyuk, DongSeok pasti disuruh InHyuk.
Park DongSeok, asisten Baek InHyuk yang sepertinya berbagi sel otak yang sama. Sejak lama aku tahu dia memiliki selera humor yang sama dengan InHyuk. Tapi kalau begini aku juga yang repot.
Dimana ceritanya, ada yang dipanggil nama suaminya ketika mau konsultasi ke spesialis obgyn?!
Ini sih akal-akalan Baek InHyuk saja yang mau mempermalukanku!
Lihat saja bagaimana orang-orang melirik ke arahku sambil menutupi mulut mereka dan berbisik satu sama lain.
"Ini Im Sol, istriku. Sepertinya Dokter InHyuk salah tulis nama di datanya, maaf ya, aku ini lelaki tulen. Permisi, he he he!" kataku sambil merangkul bahu Im Sol, dan Im Sol malah ikut-ikutan tertawa di sebelahku.
"Sejak kapan kau hamil, Sayang?" bisik Im Sol yang berusaha keras menahan tawanya.
"Jangan kau juga, Im Sol …." Desisku menghela napas sambil menahan luapan emosi.
"Silahkan." DongSeok mempersilahkan kami masuk dan aku segera membantu Im Sol duduk di kursi tepat di seberang InHyuk.
"Apa kabar, Nyonya Ryu?" sapa InHyuk, tapi belum sempat Im Sol menjawab aku bergerak cepat menyambar kerah baju InHyuk.
"Mau sampai kapan kau bersikap kekanakan begini, Baek InHyuk?!" geramku sambil menggemeretakkan gigi, tapi dia malah nyengir lebar.
"SunJae-ya, tahan emosimu, nanti anak kita kaget."
Im Sol menyentuh tanganku lembut dan seketika itu juga tekanan darahku langsung turun. Aku tidak boleh bertindak urakan di depan calon anakku, semenyebalkan apapun sikap InHyuk, kesabaranku harus lebih lagi, lebih lagi, lebih lagi.
"Maafkan Ayah ya Sayang," bisikku seraya mengelus perut Im Sol yang sangat besar. Akhir-akhir ini bayi kami sangat aktif dan sering menendang, bereaksi setiap kali aku ajak bicara sambil mengelus perut Im Sol.
"Kau tidak kaget 'kan, Im Sol?"
Im Sol menggeleng cepat sambil tersenyum menenangkan.
Auh, wajahnya terlihat sangat menggemaskan. Langsung saja aku mengecup pipinya, mengabaikan suara mengejek dari InHyuk dan DongSeok.
"Lihat bagaimana seorang Ryu SunJae sekarang menjadi pria yang terlalu cinta pada keluarganya. Padahal dulu setiap kali disuruh pulang dia tidak pernah mau pulang, malah menawarkan diri jadi dokter jaga. Bucin atau Bulol kau?!" cerocos InHyuk sambil geleng-geleng kepala.
"Tapi aku merasa beruntung memiliki SunJae, dan nilai plus nya lagi dia bukan dokter kandungan yang sering bolak balik klub malam seperti Dokter Baek InHyuk."
Im Sol tiba-tiba menyambar dan langsung memberikan serangan final pada InHyuk, membuat teman kuliahku itu langsung menutup rapat mulutnya. Sejak lama aku menasehati InHyuk agar berhenti hidup terlalu bebas, dia belum menikah tapi hobi sekali keluar masuk klub malam dan menggandeng wanita baru hampir setiap bulannya.
"Nah! Rasa'in!" gumamku sambil mendengus penuh bangga.
Proses konsultasi langsung kembali pada jalurnya setelah Im Sol mengeluarkan kata-kata pamungkasnya, membuat InHyuk langsung bungkam seribu bahasa. Aku senang sekali InHyuk dapat lower jab dari Im Sol. Langsung K.O, ha ha ha
.
.
.
Satu bulan kemudian anak kami lahir. Seorang bayi mungil dan tampan dengan rambut hitam berkilau dan mata hitam yang memukau. Bayi kami yang matanya sangat mirip dengan Im Sol, anak pertama kami, yang begitu bertemu membuat kami menangis.
Bayi kecil buah cinta antara aku dan Im Sol.
Kebahagiaan yang harus kami jaga dan perjuangkan, kami besarkan dengan sepenuh hati. Kami memberinya nama Ryu Hwan. Berharap dia akan menjadi seseorang yang bersinar, mampu membahagiakan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.
.
.
.
Im Sol mengundurkan diri dari pekerjaan dan menjadi seorang ibu sepenuhnya, membesarkan Hwan. Bahkan setelah 5 tahun berlalu setelahnya, istriku terlihat masih seperti saat kami menikah. Aku tidak menemukan kerut di wajahnya sama sekali, dia bahkan berhasil mengembalikan berat badannya ke semula setelah naik sampai hampir 15 kg saat mengandung Hwan.
Sementara aku?
Tentu saja aku tidak boleh kalah. Ketampananku adalah daya pikat utama yang membuat Im Sol mau menerimaku. Orang-orang bilang aku tambah menawan seiring bertambahnya usiaku. Aura sebagai Ayah terpancar jelas dariku, dan banyak yang menyebutku Ayah Muda sekalipun usiaku sudah jauh dari standard Ayah Muda.
Menghabiskan waktu bersama Im Sol dan Hwan adalah momen paling membahagiakan bagiku. Seperti sekarang ini, kami pergi berkunjung ke rumah orang tuaku. Jadwal rutin sebulan sekali, bergantian kami mengunjungi ke rumah orang tua masing-masing. Mengingat Ayahku benar-benar menyukai Hwan dan selalu iri jika kami membawa Hwan ke rumah orang tua Im Sol.
"Jadi Hwan sudah minta apa untuk ulang tahun Hwan minggu depan?" tanya Ayahku yang menemani Hwan membangun istana pasir di sisi halaman rumah. Ayahku sampai membuat area tersendiri untuk bermain Hwan di halaman rumah ini. Terlihat seperti taman bermain mini.
Terkadang aku berpikir siapa sebenarnya anak kandungnya, aku atau Hwan?!
Kalau kata InHyuk, tahta seorang anak (sekalipun anak tunggal) tetap akan tergantikan dengan cucu, terlebih lagi cucu pertama.
"Ayah bilang, Hwan bisa menyimpan permintaan sampai ulang tahun berikutnya," jawab Hwan polos, tangan mungilnya menepuk-nepuk pasir di cetakan plastik berbentuk menara.
"Kenapa? Kenapa harus disimpan?" Ayahku bertanya lagi dengan mata melirik sengit ke arahku.
Apa salahku?! Aku bertanya dalam bahasa tubuh sambil mengendikkan bahu tidak mengerti, tapi Ayahku tetap saja mengirimkan sorot mata tajam.
"Sol-a …." Aku merengek pada Im Sol yang duduk di sebelahku, dan dia langsung menarikku masuk ke pelukannya. Aku membenamkan diriku di dadanya sementara dia mengelus-elus rambutku penuh sayang.
"Kau ini, seperti baru saja mengetahui sifat ayah," bisik Im Sol yang lagi-lagi mengimbangi sikap manjaku.
Aku menyukai setiap sentuhan Im Sol, sekecil apapun itu selalu menenangkanku. Di awal-awal tahun kami membesarkan Hwan, aku merasa bagian kasih sayang Im Sol untukku berkurang, tapi aku mengerti karena aku juga merasakan rasa sayang yang luar biasa besar untuk Hwan.
Mungkin hanya aku yang berusaha membagi rata perhatianku dengan adil, sementara istriku seperti hanya memberikanku 25% dari perhatiannya, dan sisanya untuk Hwan.
"Karena Hwan belum tahu mau minta apa, jadi Hwan mau buat tabungan permintaan. Hwan mau tabung sampai baaanyaaak, dan nanti dipakai kalau Hwan sudah besar," kelakar Hwan dengan senyum polosnya.
Senyum di bibirnya terpancar hingga ke mata. Mata bulat indah dengan iris gelap, sangat mirip dengan Im Sol, dan aku menyukai, mata yang selalu aku rindukan dan akhirnya menjadi milikku.
"Kenapa Hwan sangat mirip denganmu," Im Sol berkata sambil menghela napas panjang.
Sontak kepalaku terangkat, dan menatap Im Sol langsung. "Maksudnya? Bukankah Hwan lebih mirip denganmu?" balasku agak bingung.
"Sifatnya yang perhitungan, penuh strategi dan tidak mau menyerah. Kau pikir mirip siapa?" sahut Im Sol sambil mengerucutkan bibirnya.
"Oh iya iya," jawabku seraya memeluk Im Sol erat, mengecup puncak kepalanya yang menguarkan wangi lavender menyejukkan.
"Sampai sekarang aku masih penasaran. Apa yang membuatmu bisa sangat terobsesi denganku? Kita hanya bertemu beberapa kali di RS dan kau mengejarku tanpa henti, bahkan memutuskan menikahiku secepat itu." Mata Im Sol memicing tajam, menghujamku bertubi-tubi.
"Umm … Sebenarnya masih ada satu rahasia lagi yang belum aku sampaikan padamu… Kau adalah cinta pertamaku."
"Hah?" Im Sol sampai mengerutkan alisnya dalam-dalam.
"Kau mungkin sudah lupa. Saat aku berusia 10 tahun dan dirawat selama hampir 4 bulan karena penyakit saraf, kita pernah bertemu di RS Seoul. Apa kau ingat anak kecil botak yang kepalanya diperban dan duduk di kursi roda dengan kacamata tebal?"
Im Sol tampak bingung, dan tidak yakin dengan ingatannya sendiri.
"Sepertinya kau memang tidak ingat. Hal itu terjadi sangat lama, dan saat kita bertemu lagi di RS Seoul, kau bahkan tidak mengenaliku sekalipun saat itu hati kecilku benar-benar mengingatmu. Aku sempat ragu, tapi saat petugas apotek menyebut namamu aku yakin kaulah orang yang aku cari selama ini."
Kerutan di dahi Im Sol semakin dalam, dia terlihat sangat keras berusaha mengorek ingatannya, tapi tidak menemukan kejadian yang aku sebutkan.
"Waktu itu, aku tengah duduk di taman sendirian menunggu Ayahku kembali dari ruang konsultasi, dan kau sedang berjalan-jalan sendirian di taman. Kau yang duluan menyapaku dan menawarkan permen padaku sambil bertanya aku sakit apa.
"Setelah berbulan-bulan sakit dan berjuang melawan penyakitku tanpa ada teman, kau adalah orang pertama yang peduli padaku selain ayahku. Aku bercerita tentang penyakitku padamu, orang asing yang bahkan tidak aku kenal."
Mata Im Sol membelalak dalam gerakan lambat, seolah bagian terdalam dari ingatannya yang baru saja muncul ke permukaan.
"Saat itu aku menangis sejadi-jadinya, dan kau menyentuh tanganku sambil berkata 'Kalau mau menangis, menangis saja. Tapi kau harus menang melawan penyakitnya, kau harus sehat lagi. Kalau kau sudah sehat, jangan lupa balas dendam.' Aku tidak mengerti apa maksud dari kata-katamu tentang balas dendam, dan dengan polosnya kau berkata 'Jadi dokter dan sembuhkan orang lain yang sakit sepertiku sampai penyakitnya capek sendiri dan berhenti membuat orang lain sakit' Aku hanya bisa terdiam, bingung kenapa ada anak perempuan yang jauh lebih kecil badannya dariku, tapi bisa berkata seperti itu."
Mataku bergerak pelan melihat langit biru cerah yang terbentang di atasku. Hari itu sangat cerah seperti hari ini, hari yang awalnya sangat aku benci berubah menjadi penuh warna setelah aku bertemu Im Sol.
"Aku ingin mengetahui keberadaanmu, tapi kemudian waktu berlalu dengan sangat cepat dan aku mengubur harapanku untuk bertemu denganmu setelah sekian lama mencari. Karena itu aku berjuang menjadi dokter, berharap suatu hari kau akan mengenaliku, tapi anehnya kau malah menganggapku sebagai perawat."
Im Sol terkesiap dan berhambur memelukku.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau ocehanku di waktu kecil membuatmu sampai seperti itu," bisik Im Sol dengan suara bergetar. "Maafkan aku tidak langsung mengenalimu. Aku hampir benar-benar melupakannya. Siapa sangka anak laki-laki kurus, pucat dan botak itu, sekarang berubah jadi pria tinggi dan tampan begini?!"
Aku tersenyum mendapati komentarnya yang seperti memuji tapi juga sedikit menyindir.
"Tapi bagaimana bisa kau mengenaliku?" tanyanya lagi.
"Wajahmu tidak banyak berubah, dan aku bisa langsung mengenalimu hanya dalam sekali pandang."
"SunJae-ya…" Im Sol tersenyum tapi sorot matanya dipenuhi penyesalan.
"Itu tidak masalah sekarang. Karena kau sekarang adalah istriku. Bertemu kembali denganmu bagai sebuah keajaiban bagiku, karena itu aku tidak ingin kehilanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenal rem dan terus berlari ke arahmu," tuturku sepenuh hati, berharap kehangatan yang aku rasakan di dalam dadaku saat ini bisa sampai pada Im Sol.
"Aku mencintaimu, Sol-a," bisikku sebelum terpejam dan mengecup bibirnya lama.
"Aku juga mencintaimu, SunJae. Terima kasih telah membuatku menjadi wanita paling bahagia, mengulurkan tangan padaku ketika aku berpikir harus berjuang sendirian."
Kali ini Im Sol yang menghampiriku, mengalungkan kedua lengan mungilnya di leherku sebelum menciumku. Akupun balas memeluknya hingga tidak ada celah lagi di antara kami, membiarkan tiap sentuhan bibir kami mengabutkan akal sehatku. Im Sol menarik diri sejenak untuk mengambil napas sebelum kembali menyerangku dengan kecupan lainnya.
Selama beberapa saat aku biarkan diriku mengikuti ritme yang Im Sol ciptakan, tapi tiba-tiba tangan Im Sol menyusup ke dalam jaketku, dan merambat naik ke dadaku.
"Time Out, Im Sol! Time Out! Jika kau tidak berniat memberikan adik untuk Hwan, jangan teruskan. Aku tidak bawa kondom hari ini!" aku sontak menarik diri, mengangkat tangan ke udara, menunjukkan bahwa aku tidak akan menyerang, tidak juga pasrah menerima serangan.
Aku sudah merasakan desiran panas yang menjalar sampai bagian bawah tubuhku, kalau diteruskan lagi bisa gawat urusannya.
"Aku tidak keberatan memberikan adik untuk Hwan, tapi apakah kau bisa meminta izin pada Ayah untuk meminjamkan kamarnya?" bisik Im Sol dengan suara menggoda di telingaku.
Putus! Tamat! Dead End!
Hilang sudah tali kekang terakhir yang aku punya.
"AYAH!" aku berteriak penuh frustasi, tidak sadar suaraku sampai menggema ke seantero halaman.
Ayah dan Hwan sama-sama kaget, mereka menegakkan diri dari tumpukan pasir melihat ke arahku bingung.
"Aku titip Hwan dan pinjam kamarmu. Berikan aku waktu satu, bukan! Dua! Bukan! Bukan! Tiga jam!" teriakku seraya membopong Im Sol di lenganku, tanpa pikir panjang lagi aku langsung membawanya masuk ke kamar, tidak menunggu sampai ayahku memberi jawaban.
Sekalipun hanya sekilas aku bisa melihat seringai nakal ayahku, dan wajah bingung Hwan.
"Kakek, Ayah dan Bunda kenapa?"
"Ayah mau bicara serius dengan Bunda, jadi Hwan main sama Kakek saja ya. Bagaimana kalau kita main ke rumah Nenek Im di Noori-dong? Kita berangkat sekarang?"
"Mau! Mau! Ayo!"
Aku tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Ayahku pada Hwan, karena yang kemudian menyita perhatianku adalah Im Sol yang tersenyum menggoda. Bagiku yang sekarang paling bersinar adalah Im Sol.
Anak keduaku, tunggu ya … Ayah dan Bunda sedang dalam perjalanan untuk menjemputmu.
.
.
.
End of Side Story
Akhirnya ending juga cerita singkat yang dibuat iseng di sela-sela kesibukan saya.
Bagaimana menurut kawan semua?
Maaf ya masih banyak kekurangan, rada absurd dan banyak typo.
Tapi jujur saya suka banget interaksi SunJae dan Im Sol, lovely dan super duper sweet, sumpah ga bohong!
Rada-rada OOC (Out of character) dan rate menjurus ke Mature.
Sampai jumpa di karya yang lain
-:-:-:-07.06.2024 -:-:-:-
— 新章節待更 — 寫檢討