Laki-laki tua itu melihat Nial yang berjalan mendekat ia segera menyuruh Nial untuk bergabung bersamanya. Nial sangat senang, akhirnya ada yang mengajaknya bergabung tanpa ia minta. Ia akhirnya menyusun beberapa batu hingga bisa digunakan untuk duduk.
“Tadi pagi kakek mencarimu Nial. Ingin mengajakmu mancing bersama kakek” Ungkap laki-laki tua itu sambil mengulurkan satu pancing berukuran lebih kecil darinya. Nial menerimanya dengan antusias dan tanpa basa-basi lagi ia langsung memasang umpan.
“Tadi pagi Nial sekolah kek. Apa kakek datang ke rumah?” Tanya Nial penasaran.
“Tidak juga. Hanya melintas di depan rumah Nial dan kakek tidak melihat tanda-tanda ada Nial di sana. Akhirnya kakek memutuskan untuk pergi memancing sendiri.” Jawab kakek. Nial menoleh kanan-kiri ia baru sadar ada yang kurang.
“Tapi bukannya kakek biasanya datang bersama Zul di mana dia? Tadi pagi ia juga izin masuk sekolah. Apa acaranya belum selesai kek?” Tanya Nial pada laki-laki tua itu.
Nial menyebut laki-laki tua itu dengan sebutan 'kakek Zul’. Rumahnya berjarak sepuluh rumah dari rumah Nial. Tak hanya itu, ia juga tinggal bersama dengan Zul lebih tepatnya Zul tinggal bersamanya. Biasanya Zul yang menemani kakek memancing, tapi hari ini Nial justru tidak melihat teman kelasnya itu.
“Zul masih belum pulang Ni, ia masih ada urusan di sana.” Ujar kakek. Wajahnya menatap umpan yang bergerak-gerak. Ia tidak memperdulikan tatapan tanda tanya Nial. Sesaat, Nial mengalihkan pandangannya pada kail miliknya yang juga ikut bergerak. Ia menarik pancing dengan perlahan hingga ia akhirnya mendapatkan ikan yang cukup besar meskipun tidak sebesar ikan yang didapat kakek. Nial melempar umpan lagi.
“Sayang sekali ya kek, besok Nial tidak bisa bermain dengan Zul” Tanya Nial sambil membayangkan. Kakek Zul tertawa ringan, baginya Zul bahkan hampir setiap hari melaporkan Nial padanya. Zul pasti akan mengadu perihal Nial yang selalu sibuk di rumah dan jarang ada waktu untuk sekedar bermain bersama Zul.
“Zul selalu menceritakan kamu pada kakek, Nial. Dia akan mengadu begini, Nial menyebalkan kek, ia selalu sibuk, dan Zul tidak bisa bermain bersama Nial. Zul bosan menunggu Nial yang sampai ia selesai dengan kesibukannya. begitulah yang selalu Zul laporkan pada kakek” Kakek Zul semakin terbahak di akhir kalimatnya. Bukannya marah, Nial malah ikut terbahak memang begitu kenyataannya. Zul selalu setia menunggu Nial untuk bermain bersama meskipun Nial harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah dulu. Ah, Nial jadi rindu dengan Zul ia ingin bermain kelereng bersama dengannya.
“Tapi itu benar kek. Zul selalu sabar menunggu Nial untuk bermain bersama. Bahkan kadang-kadang Zul mau membantu Nial menyelesaikan pekerjaan di rumah.” Jelas Nial. Kakek jadi tertegun sesaat.
“Ah, kakek tau! Mungkin itulah sebabnya Zul suka membantu kakek berkebun di belakang. Ia juga kadang mau membersihkan kandang ayam di samping rumah. Itu pasti juga karena sering melihat kamu mengerjakan pekerjaan di rumahmu” Kakek Zul menjawab dan melempar umpan lagi untuk yang kesekian kalinya. Nial meletakkan ikan tangkapannya di ember dan segera melempar pancing lagi.
“Itu mungkin benar kek. Nial jadi rindu dengan Zul, kapan Zul pulang kek? Apa Kia juga belum bisa pulang?” Tanya Nial lagi.
“Iya. Mereka masih akan di sana. Paling mereka pulang lusa Ni.” Jawab kakek tersenyum sambil melemparkan satu ikan besar pada ember berisi ikan pancingannya. Nial menarik pancingnya dan mendapatkan satu ikan lagi. Matahari sudah semakin tumbang ke arah barat. Kakek mengajak Nial untuk berhenti dan segera membawa ikan menuju pasar ikan.
Mereka berdua akhirnya membereskan semua alat pancing dan kursi. Kakek Zul membawa ember besar hasil pancingannya. Nial pun ikut membawa satu ember hasil pancingannya di sertai dengan rantang yang ia bawa tadi. Kakek Zul melihat ember milik Nial yang penuh dengan ikan.
“Kamu berbakat juga dalam hal memancing Ni, biasanya Zul hanya dapat beberapa macam ikan saja. Tapi hari ini, kamu mendapatkan satu ember ikan penuh. Sangat mengesankan untuk anak seusiamu” Kakek Zul memuji Nial yang hanya di balas tawa polos darinya. Kakek Zul melihat Nial yang sedang menyeka banyak keringat di dahinya. Kemudian beralih mengamati langkah Nial yang berusaha mengimbangi langkah kakinya yang besar-besar. Tapi bukan itu yang membuat hatinya terenyuh menahan pilu, kaki mungil itu sangat terlihat kokoh bahkan tanpa alas kaki.
Langkah mereka berhenti di salah satu toko menjual ikan-ikan segar. Ikan itu terjual semua hanya menyisakan beberapa ekor saja dengan ukuran sedang. Kakek Zul sengaja menyisakan beberapa ikan tersebut untuk di masak.
“Kang, saya mau menjual ikan pancingan saya hari ini. Ini, saya baru pulang dari danau” Ujar kakek Zul. Penjual ikan itu pun mengecek ikan-ikan itu.
“Ikannya memang masih segar. Sebentar pak saya timbang dulu.” Ujar Penjual ikan dan kakek menyetujuinya. Berat ikan itu sekitar sepuluh kilogram lebih sehingga kakek memutuskan untuk membawa pulang juga sisanya itu. Setelah mendapat uang, keduanya memutuskan pulang. Kakek Zul masih belum selesai dengan pikiran pilunya.
“Ni, mari sini..” Ujar kakek setelah menerima uang itu. Kakek membagi dua uang yang ia terima barusan. Nial menerima uang itu dengan senyum penuh makna. Ia segera menyimpannya di balik saku celana lusuhnya. Ia berjalan lebih bersemangat dan rasa bahagia terpancar dari wajahnya. Kakek Zul meraih tangan Nial sambil membawa dua plastik ikan yang tidak ia jual.
“Terima kasih kakek Zul !” Seru Nial. Kakek Zul mengangguk.
“Ayo ke sini” Ujar kakek Zul saat berada di depan toko. Nial hanya ikut saja tanpa banyak tanya. Seorang pelayan bertanya pada kakek apakah ada yang bisa ia bantu. Kakek mengangguk cepat, ia mencari sandal yang pas untuk anak seumuran Nial. Nial hanya menyimak pembicaraan mereka tanpa mau mencari tahu hal lebih.
“Apa kamu memiliki sandal yang cocok untuk anak seusia anak ini?” tanya kakek pada pelayan itu. Pelayan itu mengamati sejenak dan kemudian mengangguk, ia mencari sesuatu pada tumpukan kardus. Kakek Zul meminta Nial duduk di salah satu kursi kosong untuk menunggu. Tapi Nial menolak justru ia mengambil kursi itu dan meletakkan di sisi kakek agar kakek duduk di sana. Kakek Zul lagi – lagi terkesan dengan sikap Nial kemudia mengusap kepala Nial dan duduk.
“Kami punya seperti ini kek” Ujar pelayan itu. Kemudian kakek menyuruh Nial mencobanya tapi Nial menolaknya. Ia hanya menunduk melihat kakinya yang kotor. Pelayan itu menatap iba ia mengambil sesuatu di balik meja kasir. Ia membawakan tisu basah untuk membersihkan kaki Nial, Nial meraihnya sedikit sungkan karena paksaan kakek. Dalam hati Nial masih berpikir bahwa sandal itu pasti untuk Zul. Ia sangat bahagia mencoba sandal itu, sedikit ada perasaan tantang betapa bahagianya Zul memiliki kakek pengertian seperti Kakek Zul. Selain itu, ia juga sudah sangat bersyukur dengan uang yang ia miliki sekarang ini. Dalam pikirannya ia membayangkan bahwa uang ini pasti akan mampu membantu ayahnya berobat. Mengingat itu senyum Nial terus mengembang, tidak ada pikiran yang lain selain bertemu ayah dan membelikan sesuatu untuknya sepulang nanti.
Setelah di coba, sandal itu sangat cocok di kaki Nial. Selain warnanya yang bagus tidak begitu kontras dan tidak begitu menyatu dengan warna kulitnya, sandal itu sangat cocok untuk kaki Nial. Kakek setuju untuk membeli sandal itu, harganya pun sangat terjangkau. Dan kakek memutuskan untuk membeli dua pasang. Tanpa kata-kata lagi kakek Zul membungkuskan satu sandal lagi selain yang Nial pakai. Setelah selesai membayar kakek meminta Nial untuk memakainya tak perlu di lepas lagi. Nial sangat terkejut pada awalnya ia baru sadar sandal itu untuknya.
“Tapi kek, bukankah ini untuk Zul?” Tanya Nial. Kakek menunjuk satu bungkus plastik hitam yang berada di tangan kanannya.
“Kakek membeli dua pasang yang sama persis Nial. Agar kalian bisa memiliki sandal yang sama, pasti itu akan terlihat menyenangkan saat kalian bisa bermain bersama nanti.” Kakek Zul sangat pandai menyimpan perasaan agar orang lain tidak tersinggung. Ia membelikan Zul sandal atas dasar persahabatan Zul dengan Nial agar Nial tidak merasa tersinggung. Meskipun Nial masih kecil, tapi Nial bukan seperti anak kecil pada umumnya. Pemikirannya jauh lebih dewasa dari usianya dan kakek Zul bisa melihatnya.
“Ah ya, ini ikan untuk kamu makan malam ini pasti ikan ini sangat lezat.” Ujar Kakek Zul saat mereka telah tiba di depan rumah Nial.
“Titip salam untuk ayah ibumu. Dan satu lagi, besok kalau tidak ada pekerjaan atau pekerjaan Nial sudah selesai. Nial bisa ikut kakek memancing lagi.” Ungkap kakek Nial. Nial menerimanya dan mengangguk cepat.
“Nial senang sekali besok pergi memancing dengan kakek lagi. Besok Nial akan bangun lebih pagi agar bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu kek. Terima kasih kakek Zul. Sekali lagi terima kasih.” Balas Nial sambil sedikit membungkukkan badan sebagai ungkapan terima kasih. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi ia benar-benar bahagia. Ia mengamati plastik itu.
“Harusnya kakek tidak usah repot-repot membawakan ini untuk Nial. Kakek bisa memberikannya sepulang dari toko ikan itu agar tidak berat membawa ikan ini” Ungkap Nial.
“Tidak masalah Ni. Jangan lupa besok pagi, kakek pulang dulu.” Kakek Nial melambaikan tangan yang di balas lambaian tangan oleh Nial. Nial menepuk jidatnya ada sesuatu yang ia lupa, Nial langsung berlari masuk ke dalam rumah.