"Ahh ah Arvy teruskan…lebih dalam lagi ahh." Amy mendesah.
Sembari memasukkan miliknya, Arvy memeluk dan menciumnya.
Ia tak menyangka bahwa keponakannya dulu yang masih kecil itu, sekarang memiliki tubuh yang sangat dewasa. Mereka berdua terpaut 5 tahun, sedang Amy baru 20 tahun.
Keduanya menikmati cumbuan itu, namun tiba-tiba…
Drrrrt drrrrt drrrt
Suara ponsel yang berdering di meja mengagetkannya. Arvy membuka matanya dan tersadar bahwa itu semua hanyalah mimpi. Ia melirik jam dinding, waktu menunjukkan hampir pukul lima. Spertinya ia bangun terlalu pagi.
"Aku tidak percaya memimpikannya setelah yang kulakukan kemarin. Aku benar-benar pria menjijikkan yang memangsa keponakanku sendiri." Arvy duduk di tepi ranjangnya sembari memegang kepala. Wajahnya tertekuk. Ia melihat selimutnya basah. Dirinya ingat saat Amy ketakutan kemarin saat ia dekati. Dirinya sangat menyesal, ia mengacak rambutnya.
"Semua pria sama saja. Sama-sama predator, termasuk diriku."
Arvy melangkah ke kamar mandi dan membersihkan badannya. Tak lama kemudian ia keluar dengan handuk kecil putih di rambutnya yang basah. Dirinya duduk di tepi ranjang. Dibukanya laci kecil lemari di sana. Sebuah figura foto kecil terpampang rapi dan bersih. Ia mengambilnya perlahan dan menatapnya lama.
Itu adalah foto Gita bersamanya saat mereka belajar di perpustakaan dahulu semasa kuliah. Arvy menghela napas panjang.
"Dimana kau sekarang…Gita."
Arvy mengambil ponsel di dekat bantalnya lalu menelepon seseorang.
"Kakek…."
"Arvy! Kau..menghubungiku?" dari seberang telepon suara kakek terdengar tidak percaya sekaligus senang. Ia mengira cucunya yang satu itu tidak pernah mau menghubunginya. Kakek bersemangat.
"Setelah dari rumah Kakek kemarin aku mabuk."
"Eh? Ya… tidak apa-apa. Kau kan sudah dewasa. Kenapa tiba-tiba membicarakan hal seperti itu?"
"Jawab aku, Kek. Kenapa kau menyerahkan perusahaan pada ayah tiba-tiba? Aku dalam posisi sadar dan berpikir sekarang. Maafkan aku yang kemarin emosi dan memarahimu. Aku benar-benar ingin tahu. Aku tidak ingin menuduhmu lagi, Kek."
"Kau tidak perlu minta maaf, Nak. Tapi sepertinya aku belum bisa menjawab pertanyaan ini. Jika kau sangat ingin tahu, coba kau tanyakan pada ayahmu. Aku juga sadar terlalu keras dulu pada Ardana. Tapi, kau tidak pernah muncul di hadapanku begitu saja kan? Apa kau pernah ikut makan malam sekali selain kelulusan Dio dan Amy? Kau tidak pernah ada setiap aku akan membicarakan hal penting untuk keluarga kita."
Arvy diam.
Kakek menyadari Arvy benci pada dirinya karena ia merasa kakeknya pilih kasih antara ayahnya dan keluarga Nadia. Namun sejak dari dulu kakek adalah orang yang keras. Namun seiring berjalannya waktu, semakin menua ia semakin bijaksana dan mengurangi amarahnya.
"Maafkan aku, Kek," suara Arvy terdengar rendah. Ia merasa bersalah.
"Aku sedang mencari keberadaan gadis yang kau cari."
"Benarkah?"
"Hem. Aku akan mengabarimu secepatnya."
"Baiklah. Terima kasih, Kek."
"Sepertinya kita lebih akrab saat berbicara di telepon daripada tatap muka," Kakek tertawa renyah.
"Untuk pertanyaan Kakek kemarin…sebenarnya aku bukan indigo. Aku hanya bisa melihat aura beberapa orang tertentu. Aku tidak tahu kriterianya, itu seperti acak, terjadi begitu saja di otakku. Aku juga tidak bisa melihat makhluk astral. Jadi, kesimpulannya adalah aku normal, Kek. Aku bukan anak indigo."
"Amy…berarti kau tahu tentangnya, bukan?"
Arvy sadar suara Kakek berubah serius dan lebih dalam.
"Kau tahu kondisinya, kan? Kuharap kau melindunginya."
"Apa Dio dan Om Holan tahu?"
"Bahkan Nadia juga tahu."
"Baiklah kalau begitu."
"Mampirlah, kubelikan kau daging supaya cepat jadi pria."
"A…pa maksud, Kakek?!" Arvy gelagapan.
"Sebelum menemukan gadis yang kau cari, kau harus jadi jantan dulu. Biar tidak mengecewakanku. Jangan mempermalukanku, langsung ajak dia menikah dan buatlah cucu untukku. Dio dan Amy masih terlalu muda. Aku sangat ingin cucu, huhu" Kakek pura-pura mewek.
Arvy menelan ludah.
***
Makan malam kelulusan Amy dan Dio
Amy melihat kakaknya dan Arvy berbincang ringan. Dio duduk diantara Amy dan Arvy, di tengah-tengah mereka berdua.
"Sepertinya kau dekat dengan Kak Arvy?" senggol Amy.
"Iya. Kemarin dia sempat datang di kelulusanku."
"Ha? Yang benar saja? Aku tidak melihatnya."
"Sepertinya kau sibuk bercanda dengan ayahmu saat itu," timpal Arvy kemudian.
"Apa?!" Amy memicingkan mata pada Arvy, lalu berbisik pada Dio. "Dia terlihat lebih menyebalkan darimu saat berbicara. Sepertinya kepribadiannya juga mirip alien. Kenapa kau jadi dekat dengannya, sih?"
"Aku dengar itu." kata Arvy sembari mengiris steak dan menikmatinya.
"Ayah, aku mau salad," katanya sambil menunjuk salad yang berada tepat di depannya.
Kakek melihat Holan tersenyum lebar dan mengambilkan anaknya makanan yang diminta. Ardana hanya menyeruput kopi. Sedang anggota keluarga lainnya tidak bisa datang. Hanya ada keluarga Holan dan Ardana.
"Biasanya kau lebih memilih daging," sahut Dio.
"Kau akan jadi pendek selamanya jika tak makan daging," olok Arvy.
"Apa kau hanya bisa mengejek, dasar alien sialan!"
"Hush, jaga mulutmu, Amy," bisik Ayah.
"Aku mau dessert manis. Tapi Kakek tak menyediakannya." Amy cemberut.
Kakek yang mendengar percakapan renyah itu tertawa lebar. Sudah lama tak menikmati bercanda seperti ini.
"Kalian bertiga banyak bicara hari ini," kata Kakek yang senang melihat cucu-cucunya akrab satu sama lain. "Harusnya ada acara kelulusan tiap hari ya, ha ha."
"Mana ada, Ayah," ujar Ardana. "Yang ada kau akan brangkut."
Kakek makin tertawa mendengarnya, seolah lelucon.
"Kakek juga makanlah yang banyak," kata Holan dengan tersenyum lembut.
"Tidak, tidak. Kalian lah yang harus banyak makan."
Kakek memanggil pelayan untuk mengambil lebih banyak steak, seafood dan makanan lainnya untuk dihidangkan di meja.
"Buatkan beebrapa dessert manis dan cup cakes," perintah Kakek pada pelayan-pelayan di sana.
"Aku mau yang cokelat, Kek. Dan juga macaron, Hehe." Amy mengengeh.
"Woi, kau kira ini pesta ulang tahun apa?" Dio protes.
"Terserah aku, wlek!" Amy mengejeknya. "Kakek akan membuatkannya untukku."
Kakek makin tertawa. Ia meminta pelayan menyediakan yang Amy inginkan. Beberapa saat kemudian semua kue manis disajikan di meja yang didorong khusus untuk Amy.
"Waaahhh!" mata Amy berbinar.
Dio dan Arvy juga ikut menyicipinya dan makan beberapa potong kue.
"Ini semua milikku! Jangan ada yang mengambilnya."
"Memang kau bisa menghabiskannya?" balas Arvy.
"Oi alien sialan! Kalau kau berbicara lagi awas ya."
Amy yang hampir memukulnya, ditengahi oleh Dio. Mereka bertiga bertengkar seperti anak kecil. Dio sebagai penengah, dia kena pukul adiknya, sedang Arvy makin mengganggunya.
"Ayah, bukankah kau terlalu memanjakannya?" komentar Holan.
"Lagian cuma Amy yang princess di sini. Aku ingin punya lebih banyak cucu perempuan yang cantik dan lucu." Kakek mengatakannya dengan melihat cucunya yang asyik makan kue. Mendadak ekspresinya turun, ia teringat Nadia dan Raziva.
"Anda mereka ada di sini," kata Kakek sendu.
Ardana menoleh. Ia tiba-tiba juga teringat isterinya, lalu beralih melihat Amy.
"Ziva juga sangat menyukai cokelat dan makanan manis sepertinya," gumamnya dalam hati.
"Nadia pasti akan senang melihat anak-anak tumbuh dewasa, apalagi melihat keluarga yang akrab seperti ini," gumam Holan dalam hati sembari menatap Amy, Dio dan Arvy menikmati cemilan manis mereka.
Kakek melihat Ardana dan Holan bergantian dan menyadari sesuatu.
"Apa sih yang dikatakan kakek tua sepertiku. Aku malah membuat kalian berdua melamun dan mengingat isteri kalian."
Kedua putranya tersentak, lalu menunduk dengan wajah datar.