Sampai malam, pesan yang Tika kirim tak kunjung mendapatkan balasan. Meski telah belasan kali dia mengecek ponselnya bahkan memastikan ponselnya terhubung dengan jaringan.
"Baiklah, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi." Tika menghela napas berat. Hatinya kembali sakit. Dia menyesal menuruti saran Rose.
Tak lama kemudian Tika mulai menangis dan mengumpat Axel, "Laki-laki sialan, kenapa kau mempermainkan aku, huh?"
"Bagaimana bisa kau memperlakukanku dengan begitu manis, tapi mengabaikanku di kesempatan lain. Apa aku tampak begitu mudah?" cerocos Tika. Air matanya berderai tak tertahan. Sekaleng bir diteguknya habis dalam sekali tarikan napas.
Ring ring ring. Sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Serentak Tika berhenti menangis, dia mengusap air matanya lalu melihat pesan yang masuk.
Tika mendesah kecewa, karena pesan yang masuk bukanlah dari Axel melainkan dari agen trip mendaki. Mereka membagikan poster tentang rencana pendakian ke gunung Michellin akhir pekan ini.
"Gunung Michellin,..." gumam Tika menggantung. Dia mulai memikirkan bahwa ada baiknya dia ikut mendaki untuk melupakan sejenak perasaannya yang kacau.
"Sepertinya bukan ide yang buruk. Pemandangan yang indah pasti bisa mengobati hatiku," bisiknya dalam hati.
Tika lantas membalas pesan itu untuk mendaftarkan dirinya.
*****
Sebuah Pemakaman di New York City
Seorang gadis cantik berambut perak sebahu mengenakan busana serba hitam. Sebuket bunga aster putih terselip di lengannya. Dia memandang penuh arti pada sebuah makam berumput hijau. Remus Polandos, nama yang tertera pada nisan dari makam tersebut.
Perlahan gadis itu meletakkan buket bunga yang dia bawa. Air matanya mulai menitik.
"Ayah, ini Laura. Apakah kau beristirahat dengan baik?" ucap gadis itu.
"Tentu tidak, bukan? Kau dibunuh dengan begitu kejam."
Kilat mata Laura berubah gelap kala mengingat kematian ayahnya. Dia mengepalkan tangannya.
"Aku bersumpah akan membalaskan dendam. Ayah lihat saja," tekad Laura.
Laura mengambil kacamatanya dari dalam tas yang dia bawa lalu berbalik pergi.
"Kita ke bar Candy!" perintahnya.
Si pengendara mengangguk, lalu bergegas melajukan mobil ke arah yang diperintahkan bosnya.
Sementara Laura menghubungi seseorang.
"Hai," sapa Laura begitu telepon tersambung.
"Ya. Aku mendengarkan," balas seorang laki-laki.
"Aku membutuhkanmu untuk beberapa tugas," ucap Laura tanpa berbasa-basi.
"Apa itu?"
"Tidak bisa kubicarakan melalui telepon. Kita bertemu di titik awal pendakian gunung Michellin, North Carolina seminggu lagi," Laura memberikan instruksi.
"Seminggu?"
"Ya. Aku masih ada sedikit urusan di sini."
"Baiklah."
"Oke, sampai bertemu." Laura mengakhiri panggilan teleponnya.
"Kita sudah sampai nona," ucap si sopir pada Laura.
"Ya, terima kasih Kingston."
Gegas Laura mengaduk tasnya, mencari pil penenang. Dia meminumnya dan menguatkan diri untuk melangkah keluar. Dia tidak boleh goyah. Dia harus kuat, begitu tekadnya.
Laura berjalan perlahan menuju bar, tertegun sesaat menatap tempat ayahnya pernah terbaring mengenaskan. Laura mulai merasa sesak, tapi dia mengabaikannya dan terus melangkah maju.
Bar itu masih sepi karena memang belum saatnya buka, tapi Laura menghubungi pemiliknya agar bisa kesana di siang hari.
"Hai Laura," sapa seorang pria dengan senyum kaku.
Laura tidak membalas, melainkan langsung duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya.
"Ada apa kau ingin menemuiku?" tanya Laura langsung pada intinya.
"Kau sangat tidak sabar Laura," jawab lelaki di depan Laura dengan santai. Dia ingin mencairkan suasana yang canggung itu.
"Aku banyak urusan!" ketus Laura.
Lelaki itu mengangguk, "Baiklah, aku paham. Tapi, apakah kau baik-baik saja? Kenapa kau memilih tempat ini untuk bertemu?"
"Apa pedulimu?"
"Tentu saja aku peduli, Laura. Selain hubungan bisnis yang aku bangun bersama mendiang ayahmu dan kau sebagai penggantinya, kau adalah temanku Laura. Kita sangat akrab dulu," ucap lelaki bermata biru itu dengan nada getir.
Laura mendengus, "Itu semua masa lalu. Aku bukan temanmu, hubungan kita murni bisnis."
"Yeah."
"Langsung ke intinya Axel, aku benar-benar tidak suka berlama-lama denganmu."
Axel menghela napas berat, sepertinya wanita di depannya telah memiliki kadar kebencian yang tinggi terhadapnya.
"Ijinkan kami melanjutkan bisnis tambang di California," ujar Axel.
Laura tersenyum sinis, "tidak akan."
"Ayolah, Laura. Apakah kau berencana menghancurkan kami? Tambang adalah salah satu penghasilan terbesar bagi kami. Tanpa itu, aku tidak bisa menggaji anak buahku. Sekalipun mereka bukan orang baik, mereka masih memiliki keluarga yang harus di beri makan."
"Itu bukan urusanku," jawab Laura datar.
"Laura, aku sudah melakukan yang terbaik sesuai keinginan, pak Remus." Axel masih mencoba meyakinkan wanita di hadapannya.
"Jangan sebut nama ayahku dengan mulutmu itu!" geram Laura.
"Laura!" nada suara Axel meninggi. Emosinya mulai tersulut.
"Cih, kau mulai marah rupanya."
"Maafkan, aku. Aku tidak bermaksud begitu. Aku ha--"
"Sudahlah, aku tidak mau dengar," potong Laura sebelum Axel menyelesaikan kalimatnya. "Kalau kau berhasil memberikan keuntungan bagi perusahaanku di North Carolina, aku akan meminta kalian bergabung lagi dengan tambang. Tapi, kalau tidak, jangan mengharapkan apapun," sambungnya.
"Kau masih mengira aku membunuh ayahmu bukan?"
Laura diam. Dia memandang Axel tajam, mengambil tasnya lalu berdiri.
"Tunjukkan saja hasil yang baik, maka kau tidak akan hancur," ucap Laura lalu berlalu pergi.
Axel tidak menahannya. Dia tahu percuma untuk berbicara lebih lama dengan Laura. Wanita itu tidak akan mengubah pikirannya. Setidaknya, Axel masih memiliki harapan kalau perusahaan yang saat ini dipimpinnya memberikan keuntungan yang besar.
Axel merogoh kantong celananya lalu mengeluarkan ponselnya.
"Hallo, Rei. Aku sudah bertemu Laura. Malam ini aku kembali ke North Carolina," ujar Axel pada Reiden.
"Baik, aku siapkan tiketnya."
"Oke," Axel mengakhiri sambungan telepon.
Setelahnya, dia kembali menelepon.
"Arthur, sudah kau pulihkan CCTV?"
"Rekamannya sangat rusak. Aku masih perlu waktu," ujar Arthur.
"Baiklah, jangan terlalu lama. Laura makin membenciku. Segeralah bergegas!" perintah Axel.
"Baik, Pak," jawab Arthur, lalu sambungan telepon terputus.
Axel memandangi layar ponselnya yang sudah gelap. Axel ingat bahwa ada beberapa pesan masuk yang belum terbaca pada aplikasi pesan. Axel bisa menebak siapa pengirimnya tapi ragu akan membacanya atau tidak.
[Hai, pak Axel. Apa kabarmu? Sudah beberapa hari aku tidak melihatmu. Pak Reiden bilang kamu sedang perjalanan dinas. Oh iya, ini Tika]. Axel akhirnya membaca pesan yang dikirim oleh Tika padanya.
Axel merasa sedikit senang, perasaan kacau yang sempat melandanya berangsur membaik membaca pesan dari Tika. Axel ingat gadis itu sangat manis juga ramah meskipun sedikit ceroboh.
"Apa yang sudah kupikirkan, ini bukan waktunya untuk romansa," tegur Axel pada dirinya sendiri.
Axel menyadari perasaan yang tumbuh antara dirinya dan Tika tidak akan berhasil. Tika akan menderita bila terlibat dengannya. Akhirnya, Axel hanya membaca pesan Tika tanpa membalasnya.