Jeni hanya diam dengan bibir yang sedikit mengkerut menahan kesal pada lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya kembali.
Saat ini Jefri dengan raut wajahnya yang senang dan bahagia terlihat tengah mengemudikan kendaraan roda empatnya yang mewah. Ia merasa menang atau keinginannya. Ia akan segera mengantarkan Jeni dan Karin ke rumahnya kembali. Mereka tak akan kemana-mana. Semuanya akan kembali normal. Jeni akan tetap kuliah dan harus lulus sesuai dengan harapannya.
Sementara status Jeni yang kini telah menjadi istri Jefri kembali membuat Jeni tak bisa meneruskan kisah cintanya bersama Wili.
'Wil, aku harus bagaimana ini? Aku tidak mau kehilangan kamu, Wil. Jangan benci aku karena aku tak akan sanggup, Wil.' Jeni tampak bergumam dalam hatinya. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Memikirkan nasibnya yang terasa pilu. Ia pun tak ingin memperlihatkan kesedihannya itu di hadapan Karin yang tengah duduk di belakangnya. Karin duduk di kursi belakang, sementara Jeni duduk di kursi depan di samping Jefri.
Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut, Jeni. Sepanjang perjalanan ia hanya diam dan membisu. Jeni tak sudi lagi berbincang ramah dengan lelaki egois itu. Lelaki yang hanya memikirkan urusan pribadinya tanpa memperdulikan perasaan orang lain.
"Kenapa melamun saja, Jen?" tanya Jefri yang masih fokus menyetir mobil.
"Tidak apa-apa," jawab Jeni singkat.
"Kamu tidak bahagia?" Jefri kembali bertanya.
"Tidak usah bertanya seperti itu, Mas. Memangnya apa perduli kamu. Bahagia atau pun tidak, kamu tidak usah memikirkan aku. Pikirkan saja kebahagiaan kamu sendiri," sindir Jeni mulai berani. Ia tak bisa lagi ramah. Perasaannya cukup hancur dan masih bisa-bisanya Jefri mempertanyakan mengenai kebahagiaannya.
"Kok kamu bicara seperti itu, Jen! Kebahagiaan kamu adalah tujuanku. Jangan pernah berbicara seperti itu lagi karena aku tidak suka mendengarnya," tegas Jefri menekan. Nyatanya Jefri memang tidak suka dengan sindiran atau pun perlawanan. Ia tidak suka siapa pun berusaha menentangnya, termasuk Jeni.
Jeni kembali diam. Berbicara dengan Jefri rasanya percuma. Ia memilih diam dan tak melanjutkan obrolan di dalam mobil itu.
"Jefri, apa kamu akan membawa kita ke rumah lama?" tanya Karin menimpali.
"Iya. Memangnya mau kemana?" Samudra berbalik tanya. Ia melihat ke arah mertuanya dari kaca spion depan.
"Rumah itu sudah saya kontrakan. Saya tidak mungkin mengusir kembali orang yang sudah mengisi rumah itu," jawab Karin ketus. Bukan hanya Jeni, Karin pun tak akan bisa ramah dengan Jefri, sang menantu egois.
"Tidak usah khawatir. Saya masih ada rumah di tempat lain. Saya akan bawa kalian ke sana," sambut Jefri. Tentu saja ia merasa senang dan aman kalau Jeni ada di rumahnya. Ia bisa kapan saja menemui Jeni saat rindu tanpa harus ketahuan oleh Wili.
"Dimana?" tanya Karin singkat.
"Di kebayoran baru. Tenang saja. Rumah itu tidak terlalu dekat dengan rumah saya. Bisa dipastikan rumah itu sangat nyaman. Fasilitasnya juga terjamin," jelas Jefri dengan santainya.
"Fasilitas tidak terlalu penting kok. Bagi kami yang sudah terbiasa hidup susah, asal bisa tidur dengan tenang saja itu sudah cukup," ketus Karin tanpa terima kasih.
Jefri terdiam sambil menarik sebelah bibirnya ke samping, tersenyum sinis.
'Sudah miskin saja, sombong sekali mertuaku ini! Matre tapi tak mengakuinya. Tawaran lima miliar saja melotot eh masih bisa-bisanya berbicara so suci seperti itu,' gerutu Jefri dalam hatinya. Ia tak membalas kembali ucapan mertuanya yang terdengar ketus. Suka atau pun tidak terhadap dirinya, Jefri tak perduli. Yang penting dia sudah mendapatkan Jeni dan berhasil membuat Wili tak bisa menikahi wanita idamannya itu.
Setelah menempuh jarak sekitar dua jam, mereka kini telah sampai di perumahan elit yang dimaksud Jefri. Rumah mewah dengan desain elit membuat Karin terperangah.
"Ini yang dimaksud rumah kamu, Mas?" tanya Jeni dengan tatapan terperangah tak kalah jauh dengan Karin.
Rumah mewah itu adalah rumah impian Jeni selama ini. Namun, tak begitu membuatnya terasa bahagia saat mengingat sang pemiliknya ada suami yang sangat ia benci saat ini.
"Iya, ini adalah rumahku. Tak ada yang tahu mengenai rumah ini. Hanya kalian berdua dan saya saja yang tahu." Jefri menjelaskan. Setidaknya Selin atau pun Wili tak mungkin datang ke kawasan itu karena tak ada keluarganya yang mengetahui hunian baru Jefri.
Jauh-jauh hari semenjak pernikahan kontraknya berakhir, Jefri memang berniat mencari Jeni kembali untuk rujuk karena ia merasa sangat mencintai wanita itu. Walau pun saat itu Jefri belum juga berjasil mendapatkan jejak Jeni, ia segera memesan hunian yang diimpikan Jeni sebagai persiapan jika suatu saat dia menemukan Jeni, rumahnya sudah tersedia untuk ditempati.
Akhirnya, harapan Jefri kini terkabul sudah. Dugaannya tak meleset. Dia pun akhinya bisa membawa Jeni ke rumah itu sesuai dengan rencananya. Nampaknya, dewi fortuna memang sedang berpihak padanya.
Mereka betiga kemudian turun dari kendaraan roda empat Jefri, berjalan masuk ke dalam rumah baru itu. Hiasan beserta dekorasi yang sangat memanjakan mata. Mewah dan elegan itulah gambaranannya. Karin mau pun Jeni, tampak menbedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan yang ada di situ, benar-benar mewah.
Furnitur beserta barang-barang yang ada di dalam rumah itu benar-benar terlihat masih baru dan sudah bisa ditebak harganya pun pasti mahal-mahal.
Mereka berjalan memasuki kamarnya masing-masing untuk segera membereskan pakaian yang berada di dalam tas yang mereka bawa.
Di ruang kamar utama, Jeni masuk dan membawa tas yang berisi pakaiannya.
Di waktu yang bersamaan, Jefri tampak mengikuti langkah Jeni di belakangnya. Ia menutup pintunya kemudian berjalan ke arah Jeni.
Wanita berwajah oriental itu cukup sadar untuk merasakan kedatangan lelaki yang kini telah menjadi suaminya itu.
"Kenapa kamu ikut masuk ke sini, Mas?" tanya Jeni sambil berjalan mundur menjauhi langkah Jefri.
"Kenapa kamu harus bertanya seperti itu? Aku ini suami kamu! Apa aku salah jika ingin berdekatan dengan istriku sendiri?" ucap Jefri sambil berjalan terus mendekati Jeni yang wajahnya mulai ketakutan.
"Jangan mendekat, Mas! Ini bukan kesepakatan kita!" pinta Jeni sambil berusaha menghindari langkah suami kontraknya.
Jefri tersenyum sinis. Sementara Jeni kini tak bisa lagi berjalan mundur saat tubuhnya telah berasa di ujung dan terhalang tembok pembatas. Ia tidak bisa lari kemana-mana karena langkahnya terhalang tembok dinding yang tebal dan kokoh.
"Jangan mendekat, atau aku akan teriak, Mas!" pinta Jeni tampak serius. Raut wajahnya terlihat takut dan nafasnya terdengar kencang.
Sementara Jefri masih saja tak mengindahkan permintaan, Jeni. Ia tetap berjalan mendekat dan saat ini telah sampai di hadapan Jeni.
Dengan keras menghimpit tubuh Jeni yang menempel ke tembok.
"Kenapa harus berteriak? Kenapa kamu harus takut?" tanya Jefri dengan nada sinisnya. Tubuhnya saat menghimpit tubuh Jeni. Sementara tangannya menjepit dagu Jeni yang tengah dipalingkan ke arah kanan guna menghindari tatapan Jefri.