"I love you, Jen!" ucap Wili sebelum ia masuk ke dalam mobilnya.
Jeni kembali menatap wajah Wili yang tampan. "I love you too, Wil!" balasnya sambil mengukir senyuman.
sebuah ungkapan yang nyatanya memang tulus dari dasar hari Jeni, ia menatap Wili sayu merasa takut kehilangan laki-laki yang sangat ia cintai.
Wili pun akhirnya melangkah masuk ke dalam kendaraan roda empatnya. dengan melambaikan tangan, Wili melajukan kendaran roda empat yang kali ini sudah terlihat sepi karena malam sudah semakin larut.
setelah berlalunya Wili dari hadapannya, Jeni kemudian membalikan badan. ia segera masuk ke dalam rumahnya setelah sebelumnya mengambil kantong kecil yang berisi obat yang telah dibeli Wili tadi.
ia tampak menutup dan mengunci pintu rumahnya. masih terlihat jelas dalam pandangan Jeni pintu kamar Karin masih tertutup rapat. Tampaknya amarah Karin masih meluap dan tak ingin melihat kembali wajah putrinya untuk malam ini.
Dengan isi dadanya yang berdebar-debar, Jeni menangkat kantong yang berisi obat dalam genggamannya itu. Ia menatapnya dengan raut wajah sedu.
'Maafkan Aku, Nak. Aku hanya bisa berharap dengan obat yang Wili nyatakan terbaik ini, semoga dapat mengeluarkanmu dari dalam perutku,' batin Jeni dengan sebelah tangan yang tampak mengusap perutnya yang masih terlihat rata. Pasang maniknya kembali berkaca-kaca, ia sungguh tak menginginkam hal ini. Dia bukan orang jahat yang berniat membunuh janinnya. Akan tetapi, tak ada pilihan lain bagi Jeni saat ini selain berusaha mengeluarkan janin yang bari dua bulan di dalam rahimnya itu.
Memakai toga di hadapan umum dan menerima tropi kelulusan sebagai sarjana adalah cita-citanya, sementara kondisi saat ini membuat harapan Jeni serasa dipatahkan. Jeni gelap mata dan tak bisa berpikir jernih. Gegas ia berjalan menuju ruang dapur untuk segera meminum obatnya.
Obat nyeri berbentuk kaplet dan satu lagi berbentuk minuman, segera ia minum dua-duanya. Bahkan malam ini Jeni meminum obat itu melebihi dosis yang disarankan. Ia sama sekali tak memikirkan kesehatannya, ia hanya berpikir bagaimana pun caranya, janin yang berada dalam rahimnya harus segera keluar agar ia bisa hidup dengan tenang.
Dalam keadaan yang masih tegang dan gemuruh di dalam dadanya, Jeni kemudian menggenggam kembali obat itu kemudian ia bawa masuk ke dalam kamarnya untuk disembunyikan di dalam laci lemari yang ada di bagian dalam.
Ia kemudian menutup lemarinya yang menempel cermin pada bagian luarnya. Jeni menatap bayangannya di dalam cermin. Kembali mengusap perutnya yang masih terlihat rata. Bulir beningnta kembali luruh di pipi, ia sadar jika ini adalah salah.
'Nak, maafkan Aku. Kamu belum pantas hadir dalam hidupku. Aku tidak bisa menanggung beban yang terasa berat. Masa depanku akan hancur dengan kehadiranmu. Bahkan ayahmu saja pasti tak akan sudi menerimamu. Keluarkan dari perutku malam ini juga,' lirih Jeni dalam hatinya. Ia tak bisa lagi berkata-kata dengan bulir beningnya yang terus saja tumpah ruah tanpa bisa dibendung. Jeni menangis sejadi-jadinya, sampai ia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menutup mulutnya yang terus saja bergetar karena isak tangisnya.
Setelah kesalahan pertama dengan pernikahan kontrak itu, nyatanya Jeni telah menambah kesalahan keduanya dengan berusaha meminum obat keras semata-mata agar janin yang baru tumbuh itu segera keluar dari dalam perutnya.
Tangisan malam itu nyatanya tak bisa dihentikan, sampai kelopak matanya menutup dengan sendirinya. Jeni tertidur dan masalah sejenak terlupakan.
***
'Sialan, Wili. Rupanya ia berpacaran dengan Jeni di belakangku. Wili bisa saja tak mengetahui kalau Jeni adalah mantan istriku. Tapi, apa mungkin Jeni tak mengetahui hal itu? apa maksud Jeni? kurang apa aku ini! uangku bahkan lebih banyak dari bocah ingusan itu. Wili masih belum memiliki aset dan jauh tertinggal dariku,' gumam Jefri di dalam hatinya.
Malam ini ia tak dapat tidur dan terus saja memikirkan Jeni. Kemolekan tubuhnya yang indah dalam pandangan Jefri, serta permainannya di atas ranjang membuat lelaki yang sudah beristri itu tak bisa melupakannya sampai detik ini. Bahkan obsesinya yang ingin kembali menikahi Jeni masih saya menggebu dalam dadanya. Lelaki bertubuh bak atletis itu rasanya tak akan mungkin membiarkan Jeni berpindah ke lain hati termasuk adiknya sendiri, Wili.
Dengan kelopak mata yang masih terbuka lebar, Jefri merebahoan tubuhnya di atas tempat tidur dengan pikiran yang gelisah. Padahal, jelas sekali di sampingnya tengah terbaring seorang wanita yang sudah memberinya dua orang anak yang lucu-lucu, akan tetapi bayangan Jeni seolah telah membutakan mata hatinya. Ia terus saja memikirkan wanita lain walau tubuhnya berada satu peraduan bersama istrinya.
Sesekali ia menengok istrinya yang tengah tertidur pulas. Menatap wajahnya dengan iba.
'Andai saja kamu itu bukanlah titipan dari almarhum, Papah. Dari dulu pun sudah aku ceraikan karena sampai detik ini aku masih belum bisa mencintaimu,' gerutu Jefri dalam hati, seraya menatap wajah istrinya dengan iba.
Ia kemudian memalingkan kembali tatapannya yang lebih memilih tidur membelakangi istrinya.
Ya, Jefri dan sang istri memang menikah dalam keadaan dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Enam tahun lalu pernikahan itu terjadi tanpa cinta. Namun meski pun begitu pernikahan tanpa cinta itu nyatanya sudah dikaruniai dua orang anak yang lucu-lucu karena Jefri tak bisa membendung hasrat lelakinya sebelum bertemu Jeni.
Namun, saat ia telah bertemu gadis berbulu mata lentik itu Jefti tak pernah lagi menyentuh istrinya. Ia selalu saja meluapkan hasrat birahinya pada sang istri kedua yang ia nikahi secara kontrak enam bulan lalu. Gadis itu bernama Jeni Sapitri. Gadis yang saat ini tengah dirundung duka karena hasil dari beradu cinta antara mereka kini telah berbuah janin di dalam perut Jeni.
Janin yang tak pernah diharapkan oleh Jeni juga dibenci oleh Karin. Akan tetapi, semuanya telah terjadi. Penyesalan yang kini Jeni rasakan mendalam nyatanya berbeda jauh dengan Jefri. Kakak Wili itu nyatanya senang dan bersyukur karena telah bertemu Jeni dan sempat memilikinya.
Tiba-tiba saja terbesit dalam benak Jefri sebelum ia memejamkan mata.
'Jeni oh Jeni. Wanita cantk itu harus kembali padaku. Akan kupastikan jika wanita itu hanya menjadi miliku selamanya. Tak ada yang boleh memilikinya selain aku,' gumam Jefri dalam hati. Rencana angkuhnya tiba-tiba kembali muncul dalam pikiran jahatnya. Tanpa melihat Wili sebagai adik kandung, Jefri tetap bersi kukuh dengan niatnya.
Ia tampak tersenyum sinis serapa menutup kelopak matanya. Jefri harus segera tidur karena hari esok telah menunggu untuk melancarkan aksinya.
Keesokan harinya di rumah Jeni.
"Jeni! Ulah apa lagi yang kamu lakukan ha!" sergah Karin dengan bola mata terbelalak sontak membuat Jeni membeliak terperanjat.