Ketegangan melingkupi mereka saat Emily dan Mbak Yati saling pandang dengan wajah panik. "Siapa itu yang menelpon ya?," tanya Mbak Yati dengan berbisik.
Emily menggelengkan kepalanya. Dia juga tidak punya clue siapa yang menelpon mereka pagi-pagi begini.
"Apa itu dari rumah sakit? Mungkin ada kabar buruk tentang Mama?," praduga itu membuat tangis Emily nyaris pecah. Matanya sudah buram karena terhalang air mata.
"Nggak mungkin ah," ujar Mbak Yati sambil mengibaskan tangannya. Mencoba tegar demi putri majikannya yang sudah dianggapnya keponakan sendiri itu. "Mama Non baik-baik saja kok. Tadi malam Mbak Yati masih sempat WhatsApp-an dengan Pak Wahyu. Katanya Bu Tania berada dalam kondisi stabil."
"Beneran, Mbak? Om Wahyu bilang begitu?," tanya Emily dengan mata berlinang.
Mbak Yati menganggukkan kepalanya kuat-kuat. Perempuan desa berusia dua puluh lima tahun itu sudah tujuh tahun bekerja sebagai asisten di rumah ini. Baik Emily maupun Bu Tania sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Mbak Yati juga cukup akrab dengan Wahyu sang manager artis, karena sudah sering berkunjung ke rumah ini. Satu-satunya penghuni rumah yang tidak disukai oleh Mbak Yati cuma Pak Benny, ayah dari Emily.
Telepon itu kembali berdering, panggilannya seperti mendesak. Setiap deringnya membuat tubuh Emily mengejang karena tegang. Akhirnya karena tidak tahan, dengan masih takut-takut Emily memberanikan diri menghampiri meja telepon itu. Tapi sesaat sebelum dia mengangkat gagangnya, Mbak Yati buru-buru merebut gagang telepon itu dari tangan Emily.
"Biar Mbak saja, Non," ujar Mbak Yati yang tidak tega membiarkan Emily yang mengangkat telepon itu. Takutnya memang ada kabar yang tidak baik. Emily masih terlihat pucat dan kurang sehat, karena masih trauma dengan pertengkaran orangtuanya tempo hari.
"Halo?"
Beberapa detik kemudian wajah Mbak Yati memucat. Gagang telepon itu terjatuh dari pegangannya, tergantung di sisi meja. Namun Emily masih bisa mendengar suara riuh di seberang sana. Seolah-olah serombongan orang beramai-ramai menghubungi mereka lewat saluran telepon itu.
Tangan Emily gemetar saat meraih gagang telepon itu dan menempelkan di di telinganya.
"Mbak Tania, kami minta waktu untuk mengkonfirmasi berita mengenai suami mbak. Kami sudah berada di depan pagar rumah Mbak ini. Mbak di rumah kan? Kata manager, Mbak minta cuti untuk pergi ke Singapura. Tapi kami cek jadwal penerbangan, Mbak tidak muncul di bandara kemaren? Apa karena suami Mbak selingkuh?"
Telinga Emily berdenging. Seharusnya kemaren adalah jadwal penerbangannya bersama ibunya ke Singapura. Tapi kejadian itu memporak-porandakan rencana yang sudah mereka susun jauh-jauh hari, berbulan-bulan sebelumnya. Emily nyaris melupakan rencana keberangkatannya ke Singapura itu, trauma atas percobaan bunuh diri ibunya mengalihkan semua dunianya. Namun demikian koper-kopernya masih tersusun di kamar, belum sempat dibongkar. Berharap kapan waktu ibunya pulih dan mengajaknya berangkat. Membisikkan bahwa semuanya baik-baik saja, dan bahwa Emily masih punya kesempatan untuk memasuki sekolahnya yang baru di Singapura.
Namun sekuat apapun dia mencoba optimis, harapan-harapan itu terasa semu. Bagaikan menggenggam angan-angan. Dan sekarang dia diingatkan akan rencana masa depannya yang buyar.
Lalu apa kata wartawan itu tadi? Ayahnya selingkuh?
Emily memijat pelipisnya yang terasa sangat sakit. Mbak Yati mengambil alih gagang telpon dan menempelkan di telinganya kembali.
"Kami minta waktu untuk wawancara ekslusif ya Mbak? Siaran langsung Mbak, dari ABTV. Kita sudah live ini, Mbak. Bukain pagar dong, biar kami bisa masuk."
"Reporter ABTV, Non. Sudah di depan," ujar Mbak Yati berbisik sambil meletakkan gagang telpon itu kembali. Lalu dengan sigap mencabut kabelnya. Sesaat kembali hening. Tapi sekejap kemudian suara riuh itu terdengar lagi. Kali ini dari halaman depan rumah mereka.
Emily dan Mbak Yati saling tatap dengan wajah pucat. Kepanikan membuat jantung mereka berdetak kencang dan keringat dingin bermunculan dari pori-pori kulit mereka. Untung Mbak Yati cepat tersadar dan berlari menuju ruang tamu.
"Ayo Non, cepat!! Bantu Mbak menutup semua gorden dan jendela!," teriak Mbak Yati panik.
Buru-buru Emily membantu Mbak Yati menutup semua gorden. Sialnya rumah ini memiliki banyak sekali jendela-jendela kaca yang terbuka. Memang bagus sih untuk ventilasi udara dan membuat rumah ini bermandi cahaya matahari. Tapi buruk untuk kondisi darurat seperti ini.
"Non, bantu Mbak mengecek lantai atas!," teriak Mbak Yati. "Mbak mau mengecek dapur dan teras belakang!"
Emily segera berlari menuju tangga ke lantai atas. Namun beberapa saat kemudian langkah kakinya melambat, dan berhenti di anak tangga teratas. Keraguan memasuki hatinya dan menahan kakinya untuk terus melangkah.
Lantai atas adalah daerah kekuasaan ayahnya, yang sangat jarang didatangi oleh Emily. Di lantai atas ada studio lukis berukuran luas tempat ayahnya menghabiskan waktu di rumah. Dulu sewaktu masih kecil, Emily sering mendatangi studio itu untuk mengajak ayahnya bermain. Namun bukannya disambut, Emily lebih sering diusir. Kalimat 'jangan ganggu Papa' menjadi makanannya sehari-hari. Emily tidak ingat kapan dia mulai menyerah mendekati ayahnya untuk mengajaknya bermain. Yang jelas penolakan itu sangat membekas di jiwanya, membuat Emily memilih menjauh. Toh dia tidak butuh Papa. Mamanya lebih asyik. Emily lebih senang ikut ibunya bekerja daripada di rumah bersama ayahnya yang sudah seperti orang asing.
Emily menarik nafas, menguatkan diri untuk melangkah. Balkon lantai atas terbuka lebar, menampilkan pemandangan yang membuat seluruh tulang belulangnya melemah. Seperti ditarik oleh magnet, alih-alih menutup pintu kaca yang menghubungkan balkon dengan ruangan, Emily malah berdiri di depan balkon itu dan memandang keluar.
Jalanan di depan rumahnya dipenuhi mobil-mobil reporter dengan segala kamera dan perlengkapan mereka. Puluhan orang menyemuti tempat itu. Walaupun bukan jalan raya melainkan jalanan kompleks perumahan, kerumunan itu tetap menimbulkan kemacetan karena menutup akses para tetangga yang ingin melintas.
"Sial," Emily mengumpat. Sesaat dia lupa bahwa berlama-lama di balkon terbuka itu adalah pilihan buruk. Dan sebelum Emily sadar, puluhan kamera sudah terarah kepadanya. Menjepret dan mengambil fotonya tanpa ampun.
Untung Mbak Yati menyusul ke atas dan buru-buru menarik tangan Emily menjauh.
"Non kenapa berdiri disitu?" tanya Mbak Yati sambil menutup pintu kaca dan menutup gordennya. Ruangan itu kemudian menjadi gelap, dan keriuhan diluar sedikit teredam. Emily menjatuhkan tubuhnya ke sofa, masih sulit memahami kejadian yang menimpanya.
"Aku tak tahu, Mbak," jawabnya lemah. "Apa yang terjadi? Mengapa wartawan-wartawan itu berkumpul disini? Apa mereka tahu bahwa Mama mencoba bunuh diri?"
Mbak Yati menggeleng. Hatinya pun terasa sangat sedih, dan dia pun sangat panik. Tapi sebagai satu-satunya manusia dewasa di rumah ini saat ini, Mbak Yati bertekad akan melakukan apapun untuk melindungi Emily.
"Tidak. Pak Wahyu bilang para wartawan belum tahu kalau mama Non ada di rumah sakit. Pak Wahyu sudah membocorkan kabar palsu bahwa Non dan Bu Tania sedang pergi ke Singapura untuk mengurus sekolah."
"Lalu mengapa wartawan-wartawan itu berkumpul disini? Mengapa mereka bilang Papa selingkuh?", desak Emily.
Mbak Yati menggeleng. "Non yang tabah ya? Mbak juga belum tahu apa yang terjadi. Tapi apapun itu, kita akan bertahan disini. Pura-pura saja tidak terjadi apa-apa. Ayok kita turun mengambil handphone. Mungkin ada kabar dari Pak Wahyu atau Papa Non."