Kini, semuanya telah berbeda, rasa bahagia itu seakan perlahan sirna berganti dengan masalah besar yang melanda.
"Apa mungkin ini memang teguran untukku?" Pak Ferdi bertanya lirih dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Kamar yang luas itu seakan terasa sempit, dadanya begitu sesak memikirkan semua yang terjadi. Semuanya seakan tak berpihak padanya, mencari waktu yang tepat untuk membongkar semua yang terjadi di masa lalu.
'Padahal semuanya sudah kusimpan rapi dan berjalan selama 27 tahun, tapi mengapa mesti terbongkar dalam waktu dekat ini,' ujar Pak Ferdi dalam hati.
Hari-hari yang ia alami terasa begitu memilukan. Terbayang-bayang hari ini atau esok semuanya akan terbongkar dan ia sebagai pelaku utama kesalahan tersebut.
"Pa, Fira harus bertemu dengan Revan, jika tidak itu akan menyiksa jiwanya," kata Bu Alin lirih.
Ia telah berada di samping Pak Ferdi, berat memang untuk kembali ke negara itu. Tapi, hatiny sebagai seorang ibu tak bisa membohongi diri sendiri, lebih sakit jika melihat putrinya menderita karena rindu.
"Papa, merasa bukan tanpa alasan Regina memindahkan Revan sampai ke luar negeri seperti itu. Pasti di satu sisi mereka ingin memisahkan Revan dan Fira." Pak Ferdi menimpali ucapan istrinya.
Bu Alin juga sebenarnya berpikir seperti itu, jika tak menghindar mana mungkin mereka tak memberi tahu. Apalagi semua akses menghubungi juga ditutup. Seakan tak ingin diketahui keberadaannya, andai saja tak ada masalah di kantor mungkin sampai saat ini mereka belum tahu keberadaan Revan dan ibunya.
"Iya, Pa. Mama juga berpikir seperti itu, tapi apa tega melihat Fira terus menerus menahan rindu sampai selalu melamun?" tanya Bu Alin sedikit kesal.
Ia merasa suaminya tak peduli dengan perasaan Fira sampai tega tak mau memberi tahunya keberadaan Revan. Ia menatap suaminya yang masih bergeming dengan pandangan lurus ke depan, mengamati setiap inchi taman yang berada di hadapannya.
"Pada nyatanya Fira dan Revan tak boleh bersatu, kan?! Mereka adik-kakak dan lebih baik Fira bisa menerima dari sekarang kalau Revan bukanlah jodohnya!" bentak Pak Ferdi dengan kesal.
"Kalau memang mau Papa seperti itu, maka Fira harus tahu semuanya dari sekarang. Dia mesti tahu siapa ayah kandungnya dan alasan pasti mengapa Revan bukan jodohnya," desak Bu Alin yang malah semakin menyudutkan Pak Ferdi suaminya.
Pak Ferdi diam seribu bahsa, memang benar apa yang dikatakan istrinya. Tapi, hal paling menyakitkannya adalah anak yang diasuhnya selama ini akan tahu kalau ia bukan ayah kandungnya.
"Mengapa kamu begitu ingin Fira tahu kalau aku bukan ayahnya?" tanya Pak Ferdi dengan tatapan mata menyelidik.
Matanya menyipit menatap tajam istri yang telah begitu lama mendampinginya. Hampir 35 tahun kebersamaan mereka mengalami suka dan duka. Bahkan saat berada di titik terendah sekalipun istrinya itu setia mendampingi.
Dulu sekali ketika mereka masih tinggal di rumah orang tua Pak Ferdi, istrinya itu mendapat tekanan luar biasa dari keluarganya. Tapi, ia tak menyerah bahkan ketika suaminya melakukan kesalahan ia rela pasang badan untuk melindunginya.
Itulah yang Pak Ferdi lakukan kemarin. Pada akhirnya kesetiaan istrinya yang meluluhkan hati keras itu. Meskipun mereka saling mencintai tapi Pak Ferdi yang memang memiliki sifat keras dan pemarah tak dapat menahan emosinya dulu. Seringkali ia membentak Bu Alin habis-habisan jika marah.
Kini sifat pemarah itu masih ada tapi tak semenyeramkan dulu. Lebih tenang dan mau menerima masukan dan pendapat.
"Ma—maksudku, bukan seperti itu, Pa. Aku hanya ingin Fira tahu semuanya agar ia bisa menemukan jati dirinya. Terutama saat menikah, karena memang kau tak boleh menikahkannya." Bu Alin berkata lirih namun tegas.
"Soal itu lagi yang kamu bahas, Ma. Meenikahkan, menikahkan!" bentak pak Ferdi kemudian melangkah menuju ke luar kamar.
Baru saja keluar kamar dan membanting pintu. Fira yang juga baru pulang dari kantor menatap Pak Ferdi penuh selidik. Selama ini tak pernah melihat orang tuanya marah sampai seperti itu.
"Papa sama Mama marahan? Kenapa, Pa? Ada apa?" Fira memberondong ayahnya dengan pertanyaan.
Pak Ferdi kelihatan begitu kaget bagai maling yang tertangkap basah. ia bahkan begitu kbingungan untuk menjawab pertanyaan anaknya.
"Apa karena aku?" tanya Fira lagi.
Ia seperti bisa menebak, kemarahan orang tuanya karena sikapnya yang seperti manusia kehilangan semangay hidup sejak kehilangan jejak kekasihnya. Mungkin saja ibunya menyalahkan ayahnya yang tak kunjung mendapat informasi keberadaan keluarga Pak Andi itu.
"Bu—bukan, Sayang. Hanya ada salah paham kecil antara Mama dan Papa, kamu tak perlu khawatir, ya." Pak Ferdi berkata dengan sedikit gugup.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu, sana. Papa mau ke belakang dulu," ujar Pak Ferdi sambil berlalu ke taman belakang, tempat biasa ia merenung.
Fira hanya menatap dengan penuh tanya kepergian ayahnya. Hatinya tak dapat dibohongi, ia merasa orang tuanya ada masalah besar. Hanya saja yang masih jadi pertanyaan apa masalah itu kareana dirinya.
Setelah Pak Ferdi tak nampak lagi di pandangannya, Fira pun beranjak naik menuju kamarnya. Seharian di kantor ia tak melakukan apapun tapi dirinya begitu lelah karena beban pikiran yang menurutnya begitu berat.
Di kamar, ia menjatuhkan bobotnya di kasurnya yang empuk. Menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Jujur ia masih mencemaskan Revan tapi kini ada yang lebih penting, yaitu orang tuanya.
'Apa Mama dan Papa bertengkar gara-gara aku, ya? Sejak di kantor Papa minta aku melupakan dan move on dari Revan.' Fira bergumam dalam hati.
Ia jadi bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan orang tuanya dan orang tua Revan. Sepelik itukah masalah mereka hingga tak dapat diselesaikan.
Hal paling mungkin yag pernah terjadi adalah kareana dendam. Fira bertanya-tanya apa mungkin orang tuanya dan orang tua kekasihnya punya dendam masa lalu.
Fira begitu penasaran, ingin mengetahui semuanya dengan sejelas mungkin. Tapi, ia berjanji jika masalahnya adalah dendam masa lalu, ia ingin coba mendamaikan orang tuanya.
"Bukankah banyak dendam yang reda ketika keturunan mereka saling mencintai dan akhirnya menikah. Apa salahnya kalau aku mendamaikan dua keluarga dengan cara seperti itu?" gumam Fira begitu lirih.
Ia mengusap wajahnya, di sisi lain hatinya ia merasa begitu egois jika memaksakan kehendaknya. Mungkin memang hubungannya tsk bisa dilanjutkan.
'Jika aku harus memilih, mungkin aku akan memilih orang tuaku yang sedari kecil menyayangiku. Tapi, aku tak tahu bagaimana jika Revan memperjuangakan hubungan ini.' Fira bermonolog dalam hati.
***
"Ini, Mama, Nak," ucap Bu Regina pada Revan yang telah hampir pulih semua keadaan fisiknya.
"Ma—mama, apa itu Mama?" tanya Revan kebingungan.
Wajahnya polos seakan tanpa dosa. Ia kembali seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa.