"Kamu nggak berpikir panjang ya, Ti? Kamu itu sudah menghancurkan rumah tangga orang lain!"
Masayu menatap adik iparnya tajam. Dia melirik Iman suaminya, seolah meminta dukungan.
Iman menghela nafas panjang.
"Apa yang mbakmu bilang itu benar. Kamu ke Bandung untuk melanjutkan kuliah. Bukan untuk menggoda suami orang. Kalo tau begitu, kemarin Mas ngga akan kasi izin untuk meneruskan kuliahmu di Bandung," kata Iman.
Hesti hanya diam, menatap takut pada kakak dan kakak iparnya. Di dalam hati, memang dia membenarkan ucapan kakaknya. Tapi di sisi lain, dia juga sudah jatuh cinta pada Gilang. Lagi pula, kedua orang tua Gilang setuju. Bahkan Gilang dan Fahira pun sudah resmi bercerai.
"Tapi, mereka sudah bercerai, Mbak," elak Hesti.
"Iya, karena ulahmu! Coba kalau tidak diladeni, dia pasti tidak akan mau menggodamu!Orang tuanya juga aneh, anak selingkuh kok dibiarkan."
"Ya ,lalu bagaimana sekarang Mba, posisinya mereka mau melamar. Dan lagi mereka juga sudah tau hubunganku dengan Mas Gilang."
"Ya, Mba sama mas terserah kaulah, wes! Tapi, kamu itu jangan sampai nyakitin anaknya, ya. Kau yang membuat orang tuanya berpisah," ujar Iman menambahkan.
"Satu lagi, ingat omongan Mba. Bukan mba mau nyumpahin. Kalau sekarang saja dia bisa selingkuh, bukan tidak mungkin saat nanti dia menemukan yang jauh lebih baik darimu dia akan berpaling."
"Duh, Mbak ini apa sih?Jangan nakutin, dong," protes Hesti kesal.
"Mbakmu, bicara kenyataan. Mas ini lelaki, jadi tau sifat lelaki itu seperti apa. Orang tua kita sebelum meninggal menitipkanmu pada Mas. Bagaimana nanti mas harus bertanggung jawab?"
Akhirnya, dengan berat hati, Iman menyetujui lamaran dari keluarga Gilang. Dan 3 bulan kemudian, pernikahan dan resepsi mereka digelar.
Yang paling berbahagia adalah Endang, ibunda Gilang. Memang hubungan Endang dengan Fahira tidak begitu baik. Endang sering sekali menyindir Fahira karna latar belakang pendidikan Fahira.
Dan setelah resepsi Gilang dan Hesti pun memutuskan untuk bulan madu ke Bali. Karena kebetulan juga Gilang dan kawan- kawannya akan mengadakan pameran lukisan di Kuta Bali. Gilang adalah seorang pelukis, itu adalah hobbynya sejak SMA. Tetapi, pekerjaan itu ia lakukan sesekali saja. Karena Amar sudah mempercayakan bisnisnya kepada Gilang.
"Eyang, Mama ke mana sih?' tanya Kamania pada Endang.
"Mamamu ya, tante Hesti sekarang," jawab Endang pada cucunya.
"Mama ke mana?" tanya bocah kecil itu sambil menarik ujung daster yang dikenakan Endang.
"Mamamu itu udah ngga sayang. Sekarang, kan ada Mama Hesti," bujuk Endang.
"Nia nggak mau Eyang, tante Hesti bukan Mamanya Nia," kata Kamania sambil mengentakkan kaki dan mulai menangis.
"Pokoknya, mama Nia itu tante Hesti, ngerti!" bentak Endang kesal. Tentu saja hal itu membuat bocah kecil berusia 2,5 tahun itu menjerit dan menangis.
Mendengar suara tangis cucunya Amar segera menghampiri. Pria berusia 50-an itu menatap tajam pada istrinya, meminta penjelasan.
"Ini loh, Pak. Kamania ini, mamanya terus ditanya. Sudah empat bulan kok nggak lupa sama mamanya. Aku maunya dia lupain Fahira," ujar Endang menjelaskan.
"Ya, nggak bisa begitu juga, Bu. Namanya anak kecil jangan dipaksa. Ayo, sini Nia sama Eyang aja. Eyang uti nggak asik, ya? Kita beli coklat sama es krim kesukaan Nia,ya," bujuk Amar pada cucunya.
Setelah pergi berbulan madu, Hesti dan Gilang pun kembali ke rutinitas seperti biasa. Hari itu, Hesti kebetulan harus menyelesaikan beberapa surat di kampus untuk keperluan wisudanya.
"Kau mau ke mana, Ti?" tanya Endang yang sedang menyuapi Kamania makan.
"Ke kampus, Bu. minggu depan aku, kan, wisuda. Ada apa memangnya Bu?
"Gilang tau kamu mau pergi?"
"Iya Bu, tadi pagi sebelum Mas berangkat kerja, saya sudah pamit."
"Jangan lama, begitu urusanmu selesai, segera pulang."
Hesti hanya mengangguk, tanpa mengucap salam lagi. Dia tidak peduli apa lagi pamit pada Kamania.
"Eh, mantu kurang ajar!Baru jadi menantu, sudah nggak sopan. Ini juga, anaknya bukan diurusin, sibuk sama urusan dia aja," gerutu Endang.
"Eyang kenapa?"
"Anak kecil nggak usah kepo," jawab Endang ketus.
"Ada apa sih, Bu?" tanya Ammar yang baru saja pulang dan mendapati istrinya cemberut.
"Itu, si Hesti. Semenjak pulang dari bulan madu, kerjanya cuma enak-enakan. Mentang- mentang di rumah ini ada pembantu. Nggak pernah bantu ibu di dapur, padahal dia kan tau, kalo pembantu kita nggak pernah ibu suruh masak. Nia juga tidak pernah dia urus dengan baik. Padahal ibu maunya dia urusin Nia, supaya nggak tanya Fahira terus."
"Loh, kemaren yang mau punya menantu terpelajar Ibu sendiri, kan?" ujar Ammar sambil duduk dan mulai menyalakan televisi.
"Bapak ini ... kalo ibu ngeluh nggak pernah didengar."
"Loh, yang nggak denger siapa?Ibu inget nggak waktu Fahira mengadu kalo si Gilang selingkuh sama si Hesti, ibu yang malah duluan setuju. Ibu bilang, bagus kalo Gilang sama Hesti."
"Lah, tadinya ibu pikir-"
"Ibu pikir apa?"
"Ya, ibu pikir Fahira itu pendidikannya nggak tinggi pak. Kita ini keluarga pengusaha, malu sama relasi bisnis."
Amar hanya menggelengkan kepala mendenger ocehan sang istri. Amar memang tipe suami yang terserah apa kata istri. Karena dia paling malas berdebat. Meskipun memberi saran istrinya akan mengambil keputusan sesuai dengan apa yang ia mau.
"Eyang, kok mama Nia nggak pulang juga sih? Emang mama ke mana?"
"Nia sayang, mamanya Nia itu lagi kerja. Nanti kalo Nia udah sekolah, udah pintar, mama pasti pulang. Jadi, sekarang Nia harus nurut sama eyang kung sama eyang uti,ya," jawab Amar.
Seketika wajah gadis kecil itu mendung. Ada riak air mata yang ditahannya. Ada seribu pertanyaan tentang sang ibu yang berbulan- bulan tidak ia temui.
Seperti biasa, Gilang pulang di sore hari. Setelah mandi dia menyempatkan untuk ke kamar Kamania putrinya. Saat Gilang masuk, Kamania sedang bermain boneka sendirian.
"Nia kok sendiri?" tanya Gilang.
"Semua sibuk, Nia nggak ada yang perhatiin. Maunya sama mama, tapi mama nggak pulang-pulang," jawab gadis kecil itu.
Gilang hanya diam, sampai hari ini ia masih bingung bagaimana menjelaskan pada Kamania mengenai Fahira.
"Ya sudah. Nia main dulu ya, sebentar lagi makan malam kita makan sama- sama."
Gilang pun beranjak mencari Endang ibunya. Seperti biasa jika sore hari, Endang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam bersama bi Atun, pembantu mereka yang sudah lama bekerja.
"Kamu sudah pulang?Istrimu belum juga," celetuk Endang saat melihat Gilang memasuki dapur.
"Jam berapa Hesti pergi, Bu?"
"Dari siang. Dia itu ... Ibu nggak minta dia jadi babu di rumah ini. Tapi, apa tidak bisa bangun pagi? Siapkan keperluan suami dan anak."
Gilang menghela nafas panjang. Baru saja sebulan ia menikah, masalah sudah timbul. Hesti pulang, tepat saat mereka sedang makan malam. Melihat menantunya pulang, Endang hanya mencebik sebal.
"Baru pulang, Ti?" sapa Amar pada menantunya.
"Iya Pak, maaf pulang agak malam. Insya Allah, senin depan Hesti wisuda. Nanti ... semuanya datang, ya," jawab Hesti sambil duduk bergabung di meja makan.
"Wisuda itu apa, Mama Hesti?" tanya Kamania.
"Wisuda itu tanda kalo saya udah lulus sebagai mahasiswi," jawab Hesti yang terdengar agak ketus.
"Anak tanya jawabnya jangan ketus, Nia kan masih kecil. Tiga tahun aja belum," ujar Endang akhirnya buka suara.
Endang memang tidak menyukai Fahira, tetapi ia sangat menyayangi Kamania.
"Ah, sudahlah aku udah kenyang, duluan," demi melihat ibunya yang siap berperang, Gilang memilih untuk menyudahi makan dan langsung beranjak pergi masuk ke kamarnya.
Sementara Hesti terpaksa tetap duduk dan makan bersama tanpa berani membantah. Namun, sesekali mendelik ke arah Kamania yang membuat gadis kecil itu agak takut.
Tiba- tiba bel berbunyi, bi Atun tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu depan untuk membuka pintu. Dan saat melihat siapa yang datang, Kamania seketika berlari menyambut.
"Mama pulaaaaaang!" jeritnya langsung menghambur ke dalam pelukan Fahira.
Mendengar jeritan anaknya, Gilang langsung keluar dari kamar. Matanya nyalang melotot pada Fahira.
"Siapa yang mengizinkanmu ke sini?!" hardik Gilang.
Fahira yang tengah memeluk Kamania memandang Gilang kesal.
"Berbulan- bulan kau tidak pernah mengizinkan untuk bertemu anakku sendiri, Mas. Bukankah pengadilan juga memutuskan kalo aku boleh menemui anakku kapan pun. Tapi, kalian semua tidak pernah mengizinkan aku untuk bertemu Nia," jawab Fahira geram.
Melihat Papanya memarahi sang Ibu, sontak Kamania memeluk sang ibu lebih erat.
"Mama ke mana aja? Mama jangan pergi lagi. Nia mau ikut Mama!" pekik Kamania.
"Dengar sendiri, kan?" ujar Fahira kesal.
Tiba- tiba saja, Endang dengan kasar merebut Kamania dari pelukan Fahira yang membuat gadis kecil itu meronta-ronta. Endang langsung memberikan Kamania pada Hesti untuk digendong.
"Bawa dia masuk ke kamarnya, jangan sampai keluar!" perintah Endang tegas. Perintahnya yang langsung dilakukan Hesti. Hal itu tentu membuat Kamania menjerit-jerit memanggil Mamanya
Fahira yang berusaha untuk menggapai Kamania langsung dicekal Gilang.
"Kamu jangan pernah berani untuk datang ke sini lagi!" seru Gilang.
"Kalian ini keterlaluan. Aku hanya diam ketika kamu selingkuh dengan temanku, Mas. Apa kalian tau bagaimana kecewanya aku. Aku ikhlas dan berusaha untuk menerima. Tapi, tolong jangan pisahkan aku dengan anak kandungku sendiri!"
"Dia bukan anakmu lagi!" bentak Endang.
"Bagaimana bisa ibu berkata dia bukan anakku lagi? Ibu sebagai seorang ibu juga, seharusnya bisa mengerti posisiku, Bu."
"Pokoknya aku tidak mau tau, kau tidak boleh bertemu lagi dengan Kamania!" sentak Endang lagi sambil mendorong Fahira keluar.
"Sudah! sudah!" akhirnya Amar bersuara juga setelah melihat anak dan istrinya mengusir Fahira dengan kasar.
"Fahira, pulanglah dulu. Besok pagi bapak antar Kamania ke rumahmu," ujar Amar lembut. Sontak saja Gilang dan Endang tersentak kaget mendengar ucapan Amar.
"Pak!"
"Sudahlah, Ibu diam sekarang. Kau juga, jangan kasar sama perempuan. Pulanglah dulu nak," ujar Amar lagi.
Fahira pun mengangguk pilu, tanpa mengucapkan apa pun ia segera melangkah pergi.
"Bapak apa- apaan?!" ujar Endang kesal.
"Iya, Bapak ini kenapa? Susah payah aku memenangkan hak asuh anak ... bapak bela si Fahira itu!"
"Kalian boleh saja bercerai, tapi tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas Ibu. Dengar itu! Selama ini aku diam, bukan berarti aku setuju dengan apa yang kalian lakukan pada Fahira. "
"Tapi pak-"
"Tidak ada tapi - tapian lagi! Sudahlah, jangan lagi kalian menghalagi si Fahira kalo mau bertemu anaknya. Apa kalian tidak lihat tadi, Kamania sampai menjerit begitu!"
Amar pun melangkah pergi menuju kamar cucunya. Saat membuka pintu, tampak Kamania sedang menangis di lantai, sementara Hesti hanya duduk tanpa melakukan apa pun untuk menenangkan gadis kecil itu. Amar hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan menantunya itu.
"Nia, jangan nangis lagi, ya. Besok kita ketemu sama Mama, ya," bujuk Amar sambil membawa Kamania dalam gendongannya.
Melihat Amar sudah menggendong Kamania, Hesti pun segera beranjak keluar kamar.
"Eyang uti sama papa jahat," isak Kamania.
"Iya, tadi eyang sudah marahi kok. Besok kita ke rumah Mama. Sekarang jangan nangis lagi."
Kamania pun mengangguk sambil memeluk eyangnya kuat- kuat. Amar mengusap kepala gadis kecil itu penuh rasa sayang, sampai akhirnya Kamania pun tertidur dalam gendongannya.