Seekor merpati hitam mendarat di sisi kiri sebuah jendela besar yang dilapisi kawat berduri, tak lama kemudian seorang Pelayan membuka jendela dengan hati-hati dan menyentuh kaki burung merpati, ada sebuah gulungan kertas yang terikat erat di sana.
Pelayan itu dengan pelan melepas dan memberikan beberapa biji-bijian pada sang merpati, kemudian dengan langkah tergesa-gesa ia turun dari menara dan berjalan menuju istana yang terbuat dari batu marmer yang mengkilat.
"Pelayan, apa yang membuatmu begitu terburu-buru?"
Penjaga menara terkejut mendengar langkahnya, ia hampir berpikir sesuatu terjadi di atas dan berniat untuk menyusul naik.
"Sura dari kota Dorthive telah tiba!" Pelayan itu memekik dengan pelan, penjaga menara yang mendengar itu langsung memberikan jalan dan mengantarnya menuju ke dalam.
"Yang Mulia!" Pelayan itu berlari masuk ke dalam, tidak ada yang menegurnya seakan semua tahu kalau ia tengah membawa berita yang sangat penting. "Saya membawa surat dari kota Dorthive!"
Pelayan lain datang menghampiri, setelah melihat kertas hitam yang digulung kecil itu ia segera mengangguk dan mereka bergegas menuju ruang di mana sang Ratu berada.
Ratu Ginevra adalah pemimpin tunggal negeri ini, setelah kematian sang Raja, ia lebih memilih untuk naik tahta dan memimpin kerajaan bertahun-tahun lamanya, ia dikenal sebagai Ratu yang bijak dan sedikit … aneh.
"Apa yang membuat kalian sangat bersemangat?"
Ratu Ginevra yang duduk di kursi dekat jendela meletakkan cerutu di tangannya, di seberangnya ada seorang laki-laki yang merupakan kepercayaan sang Ratu.
Pelayan yang membawa surat dari menara itu segera berlutut dan mengangkat tangannya. "Apakah itu surat dari Hugo?"
"Ya, Yang Mulia."
Ratu Ginevra tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya dan mengambil gulungan surat itu sambil melirikkan matanya ke arah pelayan itu kembali.
Seakan telah mengerti, Pelayan yang mengantar surat itu langsung bangkit dan menundukkan kepalanya, keluar tanpa suara.
Ruangan Ratu menjadi sunyi, hanya terdengar suara kertas yang dibuka lebar oleh sang Ratu, wanita itu menghisap cerutunya lagi dan membaca dengan tenang.
"Ck, situasinya sudah berubah rupanya."
"Apakah Lady Renee akan baik-baik saja?"
Laki-laki yang duduk di seberang ratu mengenakan kacamata berbingkai emas, rambutnya berwarna pirang disisir rapi ke belakang, dari pandangan pertama, orang-orang bisa menyimpulkan kalau ia adalah laki-laki dari kalangan terpelajar.
"Dia adalah orang yang kesepuluh dikirim untuk Marquis, saya rasa tidak adil kalau kita tidak memberitahunya sedikit pun tentang para monster."
Ratu Ginevra melempar surat yang ditulis oleh Hugo ke atas meja, ia menghembuskan asap dari dalam mulutnya, membuat asap tipis itu melayang di sekitarnya.
"Kenapa tidak? Kau meremehkan orang pilihanku … Arthur?"
Arthur, nama laki-laki berambut pirang itu tersentak, ia kemudian membuang muka dari sang Ratu.
Di antara orang-orang yang pernah bertemu dan bekerja dengan Ratu Ginevra, hanya ada dua orang yang terang-terangan membuang muka di hadapannya, yang pertama Leo dan yang kedua adalah Arthur.
Sayang sekali, mereka semua memiliki hubungan darah, kalau tidak, sang Ratu mungkin akan memberi mereka peringatan.
"Tidak … hanya saja Lady Renee …."
"Aku mempercayainya Arthur," potong sang Ratu dengan senyuman lebar di wajahnya, kemudian ia kembali menghisap cerutu. "Renee bukan orang yang mudah dikalahkan oleh perasaan negatif."
"Ratu, kepercayaan diri bukan berarti …."
"Aku mengenal Renee. jauh sebelum ia menjadi aktris Arthur." Sang Ratu tidak henti-hentinya memotong pembicaraan, ia terkekeh dan meletakkan cerutu kembali di atas asbak. "Aku tahu kemampuannya dan di mana batasnya."
Arthur mengepalkan kedua tangannya, ia tidak pernah setuju dengan orang-orang yang dikirim pergi ke kota Dorthive, bagi kalangan bangsawan di Ibukota, sudah menjadi rahasia umum kalau kota yang terpencil di perbatasan itu menjadi sarang monster.
Bahkan jika ingin menyelamatkan sang Marquis, hal itu hampir tidak mungkin dilakukan.
"Mengapa kita tidak lupakan saja kota itu?" Arthur bergumam dengan suara rendah, tampak jelas di wajahnya kalau ia saat ini tengah menunjukkan ketidaksukaan pada Leo.
Ratu Ginevra berpura-pura tidak mendengarnya, ia menghisap cerutu kembali dan menatap ke arah jendela yang terbuka lebar.
"Yang Mulia, ini seharusnya menjadi percobaan terakhir." Arthur meninggikan suaranya kembali, kedua alisnya saling bertaut. "Jika Lady Renee gagal, maka lupakan saja kota Dorthive dan Marquis Leo, anggap saja kita tidak pernah punya hubungan dengan kota itu."
Ratu terkekeh pelan, ia menatap Arthur yang terlihat meradang.
"Mengapa kau begitu kejam pada saudaramu?"
"Dia ... bukan." Arthur menggertakkan gigi, kacamata berbingkai emas miliknya berkilat terpantul cahaya matahari. "Aku tidak pernah menjadi saudaranya."
Ratu Ginevra tersenyum, ia mengetukkan cerutu ke atas asbak.
"Maka dari itu jangan ikut campur."
"Maaf?"
Arthur mendongak dan menatap sang Ratu, karena gaun yang saat ini ia kenakan, sang Ratu terlihat memancarkan aura yang kuat, gaun merahnya itu tersebar di lantai dan mahkota emas yang menghias kepalanya itu menambah kesan yang tidak biasa.
Seperti seekor burung phoenix yang tengah siap merentangkan sayapnya di atas dahan tertinggi di atas pohon, kuat dan berkharisma.
"Jangan ikut campur," ulang Ratu Ginevra sambil berdiri dan meletakkan tangannya di bahu Arthur. "Aku tahu apa yang aku lakukan dan berhenti merengek seakan kau tahu segalanya."
Arthur menelan ludah, ia menundukkan kepalanya dan merasakan kalau tangan wanita itu meremas bahunya dengan kuat.
"Aku tahu apa tujuanmu Arthur, jangan bawa-bawa Renee dalam masalah ini karena aku yang akan bertanggung jawab penuh jika sesuatu terjadi padanya."
Arthur tertegun, selama ini dari sepuluh orang yang dikirim Ratu ke kota Dorthive, Ratu selalu bertindak acuh bahkan jika surat dari Hugo datang mengabarkan berita buruk tentang mereka yang berubah menjadi monster, Ratu tidak akan peduli dan memperlakukan mereka seolah itu adalah sampah.
Tapi kali ini berbeda.
Ratu bahkan berani kalau ia bertanggung jawab sepenuhnya dengan apa yang terjadi pada Renee.
Laki-laki itu menahan napasnya, ketidasukaannya dengan Leo semakin meningkat, matanya melirik ke arah wanita bergaun merah di depannya.
Ratu Ginevra melepaskan tangannya dari bahu Arthur, ia berdiri dan berjalan tegak menuju jendela, menatap ke bawah di mana para prajurit sedang melakukan pergantian penjagaan, mereka memberi hormat dan langsung dibalas dengan lambaian tangan yang ramah.
"Mengapa ia begitu istimewa?" Arthur bergumam dengan suara yang hampir tidak terdengar, ia mungkin tahu kalau pertanyaannya terlalu banyak hari ini hingga sang Ratu mulai menunjukkan raut tidak menyenangkan di wajahnya.
Arthur menatap sang Ratu, lalu beralih ke surat Hugo yang ada di atas meja, tidak banyak tulisan yang ditulis di sana, hanya satu kalimat yang diberi tinta warna hitam yang terkesan telah ditulis dengan tergesa-gesa.
Tulisan yang tertulis di sana adalah ….
Pilihan terbaik.