© WebNovel
"Dengki memang selalu membawa kehancuran. Namun, setidaknya aku telah menghancurkan seseorang sebelum api itu membakar diriku sendiri"
Udara dingin tak henti-hentinya menyerbu masuk ke dalam lapisan kain yang menutupi tubuh. Malam yang sempurna untuk bulan muda memaparkan sinarnya, deretan pohon hutan menjadi saksi bisu langkahku. Kabut pekat sama sekali tak menghalangi kakiku untuk terus maju menerjang ketakutan. Rengekkan burung hantu tak pernah bosan mengikuti, dari kejauhan setitik cahaya kuning memancing untuk mendekat. Di bawah sepatuku, tumpukan daun terasa aneh, aku menunduk, menyibak daun-daun kering itu, dan..
Bukkhhh!
Sesuatu mendorong punggungku, membuatku tersungkur ke tanah hutan yang lembap. Kedua tanganku ditarik kasar ke belakang hingga menabrak sebuah pohon dan bisa kurasakan tali mengikat pergelangan tanganku. Tak cukup di situ selembar kain juga dipaksa menutup mulutku. Sungguh malam yang mengerikan, saat seorang berpakaian serba hitam dan topeng diwajahnya menunduk tak jauh dariku.
"Ayo kita lihat ekspresimu tanpa suara,"
Tangan orang itu mengambil sesuatu yang sebelumnya tergeletak dibawah tumpukan daun. Sebuah laptop, ia membukanya dan menghadapkan layarnya padaku.
"Bersiaplah untuk pertunjukan," ucapnya sebelum pergi menjauh.
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengalihkan pandangan ke arah laptop, layarnya menampilkan rekaman kamera cctv. Ya, Aku mengenali rumah itu, dan seorang gadis didalamnya, kerutan di keningku langsung bertaut. Ada empat kamera, cam 1 menampilkan kondisi didepan rumah, cam 2 di ruang tamu, sedangkan cam 3 di dapur dan cam 4 kamar bawah. Semua area terpantau kecuali lantai atas, dan Giny sedang duduk di ruang tamu saat orang bertopeng yang tadi mengikatku berjalan mendekati rumah itu.
Pandangan Giny habis dilahap sepenuhnya oleh ponsel di telapak tangannya. Si lelaki bertopeng itu sudah mendekati teras rumah, aku mulai panik, aku yakin pintu itu tidak terkunci karena Giny sedang menunggu kedatanganku. Tangan yang terikat oleh tali membuatku terjebak, tak ada yang bisa kulakukan untuk menolong temanku, berteriak pun sudah mustahil. Di teras rumah, lelaki itu pun berhenti, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana, sebuah lipatan kertas. Ia membukanya, kedua mataku menyipit untuk melihat apa gerangan isi kertas itu. Tiba-tiba, bel rumah berbunyi, kedua alisku bertaut sementara Giny mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Lelaki itu segera berlari keluar dari zona pantauan kamera setelah menjatuhkan kertas di depan pintu.
"Masuk!" Giny kembali memfokuskan matanya pada layar ponsel. Sadar tak ada jawaban, Giny kembali bersuara,
"Aster? Itu Kamu kan? Masuklah, pintunya tak dikunci!" ujar Giny lagi. Jantungku semakin berdetak cepat, sementara tangan di belakang punggungku berusaha membuat gesekan kecil berharap ikatan itu terlepas.
Lelah menunggu tak ada siapapun yang membuka pintu, Giny mulai bangkit dari duduknya. Ia melempar ponselnya agar mendarat di atas sofa diiringi lenguhan yang terlepas agak keras. Langkah Giny mendekat ke arah pintu, dan tangannya membiarkan angin malam yang bertiup sepoi-sepoi masuk ke dalam rumah. Pandangannya tak menemukan seseorang di depan pintu, ia melangkah maju untuk memeriksa halaman depan. Namun tetap tidak ada sosok yang tertangkap di matanya. Saat kaki Giny hendak menarik langkah mundur, sesuatu terasa terinjak dibawah sol sepatunya. Perempuan itu menunduk, didapatinya selembar kertas yang terlipat menjadi empat, tangan kanannya lantas memungut kertas dibawah dan membukanya. Nafasku benar-benar tercekat melihat foto Giny yang tercetak besar dengan tulisan 'Dia adalah PEmBohOng k*parat' dibawahnya. Tinta merah yang kuyakini bukan lipstik atau samacamnya berhasil membuatku bergidik ngeri, di mataku jelas sekali itu tertulis dengan darah.
Giny tak merespon apa-apa, ia masih mematung memandangi foto dirinya dicetak dengan tulisan seperti itu. Lantas jemarinya merobek-robek kertas dan membuangnya sembarangan. Tampak sekali raut wajah kesalnya, ia lalu melangkah masuk dan mengunci pintu rapat-rapat. Giny membalikkan tubuhnya dan mematung disana, kurasa ia sedang mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba, suara TV menyala di ruang tengah mengejutkan Giny, dan juga aku tentunya yang hanya menyaksikan lewat layar PC.
'srekk-srekk-srekk'
Langkah Giny pun bergerak cepat menuju sumber suara,
"Siapa yang menyalakan televisi?"
Perempuan itu segera mencari keberadaan remote control dan mematikan TV didepannya.
'klik'
Tapi tidak ada yang terjadi, remote di tangannya sama sekali tak berfungsi, Giny mulai panik dan menekan tombol power berkali-kali.
"Apa yang salah dengan remotenya?" gerutunya sambil menjatuhkan benda hitam agak panjang di atas meja. Ia lantas membuka gorden di belakang sofa untuk memeriksa, tetapi sama seperti sebelumnya tidak ada siapa-siapa.
"Apakah kamu pernah mengingat suatu hari?" muncul suara dari arah TV, tetapi layarnya hanya terisi penuh oleh bintik-bintik hitam putih. Giny segera membalikkan tubuhnya.
"Dimana sebuah ucapan setinggi langit, membuat seseorang ingin menjatuhkannya ke dasar bumi,"
"Apa maksudmu?" tanya Giny pada suara itu.
"Biar kuceritakan, saat lomba perkusi awal SMA diadakan, ketua kelas menginginkan semua anggota untuk berpartisipasi, tapi ada seorang perempuan yang menolak, dia berkata kalau saja lomba akustik Aku pasti maju dengan keyboard-ku,"
"Siapa kau?"
"Hanya ada satu pembalasan atas kepalsuannya, yaitu pembuktian atau penderitaan, tunjukkan padaku nona, ada sebuah keyboard di meja display, ambil dan mainkanlah melodi untukku, biarkan aku mendengarnya,"
Giny terperanjat, meski ragu-ragu ia mendekat ke arah display. Namun bukan untuk mengambil keyboard. Tangan kanannya dengan gesit mencabut kabel TV dari stopkontak. Kuakui itu hal yang cukup cerdik untuk dilakukan.
Seketika layar kotak hitam itu langsung mati akibat daya yang mengalir terputus, untuk sesaat Giny bisa bernapas lega, tetapi aku penasaran apa yang akan terjadi berikutnya. Rasanya mustahil memecahkan kutukan Victoria Black di dalam manornya sendiri. Ya, villa yang kami sewa untuk malam itu bukanlah bangunan biasa, beragam kisah menyesakkan dada selalu mengalir setiap waktu. Namun, kami bukanlah orang yang mudah percaya dengan misteri zaman dulu, lagian belakangan ini tidak ada hal buruk yang terjadi disana. Setelah beberapa detik suara itu menghilang, seharusnya Giny keluar dari sana. Namun...
"Bagaimana nona Giny? Bisakah Kau mainkan melody untukku? Ambilah benda itu!" suara itu muncul lagi.
Tanpa sadar, mulut Giny terbuka, aku tau dia pasti terkejut mendengar namanya disebut terang-terangan. Ia melihat sekeliling, jika TV-nya sudah mati, lalu kenapa suara itu muncul lagi? Perlahan, langkahnya mulai bergerak mundur,
"Cepatlah nona! Kesabaranku mudah habis,"
Aku menunggu tangan Giny meraih sebuah alat musik yang terpampang jelas di meja display. Konon, jika sang korban tidak menuruti keinginan Victoria, ia akan dibunuh didalam mansion.
Kaki-kaki jenjang Giny bergerak cepat keluar dari sana, langkahnya terus menjauh dan menjauh. Sudah dapat dipastikan kalau perempuan itu sedang ketakutan setengah mati, bagaimana tidak? Menghadapi sesuatu yang tidak berwujud bukanlah semudah memetikkan jari. Kalau Kami bertukar posisi pun pasti Aku akan melakukan hal yang sama. Rambut hitam Giny beterbangan kala angin malam menyambar, pintu depan villa dibiarkan terbuka sementara langkahnya tak pernah berhenti bergerak maju. Tiba-tiba,
Ssyuutttt...
Sebuah anak panah melesat dari arah kegelapan tepat mengenai salah satu kaki Giny,
"Aarggghhhh..." teriak Giny menahan rasa sakit yang menghujam tulang keringnya. Matanya bergerak ke bawah memeriksa apa gerangan yang tertancap disana.
Syuuuttt...
Anak panah lain melesat lagi, Giny mendongakkan dagu, dilihatnya sesosok hitam yang bertopeng dari kejauhan.
"Apakah kau hendak mencoba lari nona?"
Suara itu, ya, suara yang muncul didalam mansion, tak salah lagi, pasti sosok bertopeng itu dalangnya. Kedua tangannya bersiap menarik busur panahnya lagi ke arah Giny, sontak perempuan itu kembali ke dalam rumah dengan langkah terpincang-pincang. Sedangkan si sosok bertopeng mengurungkan niatnya. Giny mengunci rapat-rapat pintu depan, dengan kondisi kaki yang seperti itu, ia terpaksa menuju arah dapur untuk mengunci pintu belakang lalu memastikan semua jendela terkunci rapat.
#bersambung#