下載應用程式
5.48% Wasted Wife / Chapter 13: Jangan Tanya Alasannya

章節 13: Jangan Tanya Alasannya

Andra mendengkus, "Kamu ngomong apa sih, An?" Pemuda itu tak mempedulikan ucapan Andine yang sedikit memohon.

"Sudah aku bilang sejak awal, jangan terlalu berekspektasi terlalu tinggi pada pernikahan ini." Andra melanjutkan dari tempatnya berdiri, sedangkan sang istri duduk dengan kepala menunduk di atas sofa.

"Kamu masih muda, begitu juga denganku. Setelah berpisah, kamu akan menemukan pria yang lebih baik dari aku."

"Apa, Mas?" Andine yang diam sejak tadi lantas mendongak, matanya melotot dengan ekspresi wajah penuh keterkejutan.

"Kamu bahkan sudah berpikir sampai ke sana?" tanya Andine setengah memprotes, sedangkan Andra hanya mematung dengan tatap tertuju ke wajah Andine.

"Aku nggak percaya kamu udah siap-siap untuk menceraikan aku--"

"Ya nggak dalam waktu dekat ini juga lah, aku juga nggak mikir sedangkal itu!" potong pria tinggi itu dengan tatapan tajam.

"Kamu pikir aku bodoh? Lagipula apa yang aku bilang tadi benar 'kan? Suatu hari nanti kita bakal cerai, dan kembali ke kehidupan masing-masing. Aku udah bilang sama kamu, aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi di dalam kehidupan aku," jelas Andra dengan penuh penekanan dan suara yang jelas.

Andine merasa tertohok, ia membuang pandangan ke sembarang sarah seraya mengembuskan napas panjang. Syok.

"Dua atau tiga tahun mungkin cukup, aku bisa buat alasan supaya orang tua kita percaya kalau di antara kita memang nggak ada kecocokan. Setelah itu, kita berdua bebas dan nggak akan terikat oleh apa pun. Kamu sendiri bisa cari laki-laki lain yang bisa menerima dan mencintai kamu." Andra bicara dengan penuh percaya diri, seolah-olah hatinya telah benar-benar mati untuk sekedar mencoba menerima Andine sebagai istrinya.

"Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu nggak mencoba untuk menerima dan mencintai aku? Aku butuh alasannya." Andine menatap suaminya dengan suara yang terdengar memohon.

Melihat wajah iba milik Andine, tak langsung membuat hatinya menaruh simpati pada sang istri. Andra masih teguh dalam pendiriannya, bahwa sampai kapan pun ia tak akan jatuh cinta pada sosok Andine. Pernikahan ini bukanlah keinginannya, ia tak akan bisa membuka hati barang sedikit untuk gadis berparas ayu tersebut.

Pertanyaan Andine membuat Andra terdiam, di kepalanya tiba-tiba terbayang sosok gadis lain yang wajahnya jauh berbeda dengan Andine. Wanita langsing bertubuh tinggi dengan rambut hitam lurus serta sedikit kemerahan di ujungnya, wajahnya lebih mirip orang kebaratan daripada asia. Namanya, Viona.

"Aku tidak bisa mengatakan alasannya padamu. Jangan bahas masalah ini lagi." Sejurus kemudian Andra melangkah pergi meninggalkan Andine, pria itu menaiki tangga lalu menghilang setelah ia memasuki kamar pribadinya.

Setetes air jatuh dari ujung mata Andine, menyusul genangan lain di mata yang satunya. Gadis itu terdiam memandangi pintu kamar Andra yang telah tertutup rapat. Dalam hati ia berharap, agar sang suami berubah pikiran dan kembali untuk mengatakan alasan sebenarnya. Namun, hingga beberapa detik berlalu, pria itu tak kunjung keluar dari kamarnya.

***

"Kenapa? Kenapa harus kamu tanya alasannya?" Andra meremas pagar pembatas di balkon kamarnya. Amarah Andra tiba-tiba memuncak saat Andine menanyakan alasan mengapa ia tak mencoba untuk menerima sang istri sepenuhnya.

Bayangan Viona kembali mengisi otaknya. Sosok gadis berwajah cantik dengan hidung mancung dan bibir penuh kemerahan memenuhi pikiran Andra. Lagi-lagi Viona membuat Andra kesulitan bernapas, dadanya tiba-tiba sesak kala ia mengingat pengkhianatan wanita itu.

"Aku janji akan kembali ke Indonesia, Ndra. Aku janji."

"kamu yakin bisa berjanji? Bagaimana jika kamu berhasil menjadi model terkenal lalu melupakan aku?"

"Tidak. Aku tidak akan melupakanmu. Setelah aku berhasil dan sukses di sana, aku akan kembali untuk menjadi istrimu. Bukankah aku sudah berjanji?"

"Baiklah, aku percaya."

Obrolan yang sudah berlalu bertahun-tahun itu kembali berputar di ingatan Andra, suara dan setiap kata yang diucap oleh Viona masih jelas membekas di kepala pemuda itu.

Andra tersenyum getir, inilah alasan sebenarnya mengapa ia tak bisa mencintai Andine--istrinya--sebab di hatinya masih tersimpan sebuah nama yang tak bisa benar-benar menghilang begitu saja.

"kamu mengingkari janjimu, Viona. kamu mengkhianati aku. kamu …." Andra menunduk dengan perasaan hancur, "kamu sudah melupakan aku."

Andra kecewa, berkali-kali lipat rasa sakitnya. Saat orang yang diharapkan akan memenuhi janji, ternyata malah mengingkari janji itu sendiri.

Andra mendukung penuh mantan kekasihnya itu, ia bahkan tak henti menanyakan kabar saat Viona baru memulai perjalanan karirnya di Paris. Pemuda itu masih mengharapkan Viona kembali dan pulang ke Indonesia, tetapi gadis itu tak pernah melakukannya.

Viona tak pernah lagi kembali.

***

Siang itu, kediaman Andra dan Andine didatangi oleh tamu. Danu dan Utami, keduanya adalah papa dan mama kandung Andine.

Di ruang tamu, keempat orang itu duduk bersama. Ditemani oleh teh dan beberapa cemilan sebagai sambutan untuk tamu yang datang.

Seulas senyum tak henti berkembang di bibir Danu dan Utami, mereka sangat bahagia melihat Andine kini sudah bersuami. Apalagi, sosok suami Andine adalah pria yang mereka pilih sendiri, yang mereka yakini akan cocok dengan Andine.

"Bisnis gimana, Ndra? Aman?" tanya Danu diselingi canda.

Pemuda itu tersenyum semakin lebar, "Aman, Pa. Setelah menikah dengan Andine, laba juga semakin naik." Andra menjawab sambil melirik sekilas ke arah sang istri.

"Wah, beruntung dong kamu nikah sama, Andine." Pria berambut setengah putih itu tertawa, ia menatap bergantian ke arah putrinya dan sang menantu.

Sedangkan Andine, hanya menanggapi dengan senyum tipis.

"Andine juga beruntung menikah dengan Andra, sekarang dia kelihatan lebih kalem dan bahagia. Kalian berdua sama-sama beruntung." Kali ini Utami turut memberikan komentarnya.

"Karena sudah jodoh, Ma," celetuk Danu sambil kembali tertawa.

"Aku mau ke kamar mandi sebentar, Ma, Pa. Lanjutin aja ngobrolnya," pamit Andine tiba-tiba. Gadis itu segera beranjak dari sana, dan buru-buru menuju kamar mandi yang kebetulan terletak di dekat dapur.

Selain karena ingin buang air, alasannya pergi ke kamar mandi juga karena Andine tidak mau terlalu lama menikmati drama di sana. Gadis itu sudah muak melihat wajah manis suaminya yang penuh kepalsuan, di mana Andra hanya berpura-pura dan berakting di depan orang tuanya seolah dia adalah suami yang baik dan sangat menyayanginya.

"Bullshit!" Andine bergumam lirih dengan perasaan dongkol, di depan cermin kecil yang ada di kamar mandi gadis itu mematut diri. Ia sangat enggan sebenarnya jika harus kembali dan berkumpul lagi bersama orang tua dan suaminya. Andine lelah dengan semua drama ini.

"Haruskah aku berhenti berjuang? Sedangkan Mas Andra aja nggak pernah mau mencoba menerimaku sebagai istrinya," lirih suara Andine dengan pikiran yang kalut.

Andine bergegas keluar, tapi tiba-tiba ia dikejutkan dengan sosok sang mama yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Mama?" Gadis itu mulai dilanda rasa panik, bagaimana jika mamanya mengetahui keresahan hatinya lewat ekspresinya saat ini? Atau jangan-jangan wanita itu mendengar apa yang Andine bicarakan di dalam toilet?

Utami tersenyum, "Kamu baik-baik aja 'kan, An?" tanyanya.

Bersambung.


章節 14: Semakin Tertantang

Andin tersenyum kikuk, "A-aku … aku baik-baik aja kok. Kenapa emangnya, Ma?" Andine sedikit cemas kala menunggu jawaban sang ibu.

Utami menggelengkan kepala, "Hubungan kamu dengan Andra bagaimana? Nggak ada masalah 'kan?" tanyanya.

Andine terdiam untuk beberapa saat, wanita itu tak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Jauh di dalam hati, ingin sekali ia mengungkapkan semuanya, seperti saat lajang dulu di mana ia suka bercerita mengenai apa pun yang mengusik hatinya. Namun, keadaan kini berbeda. Andine sudah menikah, seburuk apa pun pernikahannya yang sebenarnya, wanita itu tetap harus menutupinya.

"Baik, Ma. Hubungan aku sama Mas Andra baik-baik aja kok, Mama bisa lihat sendiri 'kan gimana kami?" Andine menyunggingkan senyum berusaha terlihat baik-baik saja.

Utami menyunggingkan seulas senyum tipis, ia percaya sepenuhnya kepada sang putri, tak ada keraguan dari sorot matanya yang teduh.

"Baguslah kalau begitu, mama pun ikut seneng dengernya," sahut Utami.

Andine akhirnya bisa bernapas lega.

"Mama ngapain ke sini? Mama perlu sesuatu?" tanya Andine kemudian.

"Mama cuma mau ambil pisau untuk potong buah," jawab Utami sambil berbalik dan melangkah menuju ke tempat bumbu-bumbu dapur berada.

Andine ikut berjalan mendekati ibunya.

Samar-samar, telinga mereka mendengar suara tawa dari dua orang pria yang ada di ruang tamu. Obrolan para lelaki itu sepertinya sangat seru, berhasil menciptakan kehangatan suasana rumah.

"Sepertinya papamu sangat senang berbincang dengan Andra, mereka berdua sangat cocok, Iya 'kan, An?" Sambil mengupas kulit apel, Utami mengajak putrinya berbincang.

Gadis berkulit putih itu mengangguk kecil, "Iya, Ma, mereka punya selera humor yang sama. Sama-sama garing." Andine menjawab dengan suara lirih.

Utami tertawa kecil, "Memangnya, Andra itu garing, An? Ngebosenin gitu?" Utami semakin memancing Andine untuk bercerita banyak mengenai sang menantu.

Andine tampak sedikit berpikir, "Emm, nggak juga sih, Ma," jawab Andine sambil tersenyum kikuk.

"Terus, dia orangnya kayak gimana?" Sambil memotong buah apel, Utami terus mengajak Andine mengobrol.

Andine menggigit bibir bawah, ia bingung hendak menjawab apa. Rasa bersalah semakin membesar saja jika Andine berbohong pada wanita yang sudah melahirkannya tersebut.

"Mas Andra itu … baik, Ma. Orangnya juga suka bercanda, terus–"

"Terlalu klise," potong Utami kemudian, ia menyunggingkan senyum samar sambil melirik sang putri.

Andine menggaruk kepala yang sedikit gatal, "A-aku … nggak bisa mendeskripsikan terlalu banyak," elaknya sambil tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi.

Utami memaklumi, "Tapi, kalian keliatan udah akrab aja, ya? Padahal dulunya nggak saling kenal," celetuk wanita itu sambil tertawa pelan, "Karena udah jodoh kali ya, mama merasa bangga karena sudah memberikan pasangan sebaik Andra sama kamu," imbuhnya lagi.

Andine terpaku di tempatnya berdiri.

"Ayo, An, kita makan buah bareng. Seger nih." Tanpa menoleh ke arah putrinya, Utami melangkah menuju ruang tengah dengan piring berisi potongan buah di tangannya.

Andine menelan ludah getir, ia tersenyum miris sambil menatap kepergian mamanya tersebut.

Andra adalah pasangan yang baik untuk Andine katanya. Benarkah itu? Andine sendiri tidak yakin, sayang sekali dunia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan kehidupan rumah tangga mereka.

Mata Andine berkaca-kaca, ia hendak menumpahkan sesak yang menumpuk di dadanya. Namun, wanita itu berusaha keras menahan semuanya.

"Yang penting mama dan papa bahagia," gumamnya lirih.

Sore harinya, kedua orang tua Andine akhirnya pamit. Pasangan muda itu mengantarkan sampai ke depan pagar rumah mereka.

"Papa dan Mama pulang dulu ya? Sehat-sehat kalian!" Danu berseru dari balik mobil, pria paruh baya itu tersenyum dengan sumringah di depan anak dan menantunya. Sedangkan di sebelahnya, Utami hanya tersenyum menatap Andine dan Andra dari tempat duduknya.

"Hati-hati ya, Pa, Ma. Kabari kalau sudah sampai rumah." Andra menjawab sambil menyunggingkan senyum, ia semakin memperkuat rengkuhan tangannya di pundak sang istri, keduanya kini sangat dekat sekali.

Andine sebenarnya risih, beberapa kali ia mencoba menjauh dan membuat jarak, tapi Andra bersikeras semakin mendekatkan.

Sejurus kemudian, mobil yang ditumpangi Danu dan Utami akhirnya meluncur meninggalkan kediaman Andra serta istrinya. Saat mereka sudah semakin jauh sampai tak terlihat lagi, Andine segera melepaskan tangan suaminya.

Andra tersentak, lalu menoleh. Wajah Andine rupanya sudah memerah seperti kepiting rebus.

Andra tersenyum sinis ke arah Andine, "Kenapa sih? Kamu malu dilihat mama papa kamu? Aku 'kan suamimu, An."

Andine melotot tak terima, wajahnya semakin memerah saja. Gadis itu kemudian berdecih menahan kesal.

"Nggak usah terlalu percaya diri, Mas. Aku cuma kesal dan enek sama kelakuan kamu, bikin ilfeel. Bisa-bisanya kamu punya karakter yang berbeda-beda. Di depan orang tua kita kamu kelihatan manis, sedangkan di depan aku?" Andine tersenyum miris.

Andra menaikkan sebelah alisnya, sambil melipat tangan pria itu menggelengkan kepala.

"Maksudnya, kalau lagi di depan kamu aku kayak iblis gitu? Ya, emang iya sih." Andra mengakui, bahkan ia tersenyum jahat menatap istrinya yang sedang menahan geram.

"Sudah aku bilang berkali-kali, Andine. Jangan berekspektasi terlalu tinggi dengan pernikahan ini, kalau kamu nggak mau terus-terusan akting dan drama di depan dunia, ya tinggal cerai aja. Susah? Enggak!" Tanpa perasaan Andra berujar demikian.

Hati Andine semakin memanas saja, dengan entengnya pria itu bicara demikian. Tatapan tajam miliknya tertuju ke wajah Andra, sikapnya seolah menunjukkan betapa marahnya ia.

"Jangan ngeliatin aku kayak gitu, nanti kamu jatuh hati dan sakit hati sendiri. Soalnya aku nggak akan bisa bales perasaan kamu ke aku." Andra mengingatkan, detik berikutnya ia berlalu meninggalkan sang istri di sana. Sendirian.

Bukannya semakin marah dan mengejar Andra dengan menyumpahinya kata-kata serapah, Andine justru semakin tertantang. Jangan melihatnya terlalu lama, nanti jatuh cinta dan terluka, karena ia tidak akan membalas perasaannya, itu kata Andra.

Bisakah Andra memegang kata-katanya? Sedangkan di sini, Andine mulai berjanji untuk tak akan mudah menyerah. Melihat sang suami dengan angkuhnya, ia justru semakin bersemangat.

"Mas!" Andine memanggil suaminya yang sudah beberapa langkah di depan sana.

Andra menghentikan ayunan kakinya, pria itu kemudian menoleh dengan tatapan sengit tak bersahabat.

Andine melangkah mendekati pria itu, keduanya kini saling bersitegang.

"Aku akan menunggu, Mas. Sampai kapan kamu bisa bertahan memegang teguh kata-kata kamu," ucap Andine tepat di depan wajah suaminya, wanita itu terlihat bersungguh-sungguh.

Andra mengerutkan dahi, tatapannya menyipit mengamati wajah sang istri.

"Kita lihat aja nanti siapa pemenangnya, aku yang ingin bertahan atau kamu yang ingin melepaskan. Karena bagi aku, pernikahan bukan permainan." Secara tegas dan lugas Andine berucap, tepat di depan wajah sang suami ia mengatakan semua yang ada di hati.

Andra terpaku untuk beberapa waktu, sejurus kemudian sosok Andine sudah berlalu lebih dulu dari hadapan pria itu.

Mendengar ucapan istrinya, entah kenapa membuat Andra merasa tak yakin dengan pendiriannya.

Benarkah ia akan kalah?

Bersambung.


Load failed, please RETRY

禮物

禮品 -- 收到的禮物

    每周推薦票狀態

    批量訂閱

    目錄

    顯示選項

    背景

    EoMt的

    大小

    章評

    寫檢討 閱讀狀態: C13
    無法發佈。請再試一次
    • 寫作品質
    • 更新的穩定性
    • 故事發展
    • 人物形象設計
    • 世界背景

    總分 0.0

    評論發佈成功! 閱讀更多評論
    用推薦票投票
    Rank 200+ 推薦票榜
    Stone 0 推薦票
    舉報不當內容
    錯誤提示

    舉報暴力內容

    段落註釋

    登錄

    tip 段落評論

    段落註釋功能現已上線!將滑鼠移到任何段落上,然後按下圖示以添加您的評論。

    此外,您可以隨時在「設置」 中將其關閉/ 打開。

    明白了