下載應用程式
2.53% Wasted Wife / Chapter 6: Masakan Buatan Andine

章節 6: Masakan Buatan Andine

Andine mengerjap, kedua matanya langsung terbuka lebar saat ia melihat sosok lelaki tengah berbaring di depannya. Ya, Andra ikut terlelap bersama Andine, pemuda itu berada di atas sofa panjang yang berada di seberang.

Keduanya memang terbentang jarak, tapi peristiwa ini berhasil membuat Andine terkejut tak percaya. Bahkan untuk memastikan, Andine mengambil duduk dan tak henti mengamati wajah sang suami.

"Andra udah pulang? Tapi kenapa dia nggak bangunin aku dan malah ikut tidur di sini?" Andine bergumam lirih, keningnya mengernyit bingung saat menyaksikan sosok itu tampak damai dalam tidur panjangnya.

Andine sempat mengira, bahwa mungkin Andra melakukan ini semua karena ia tidak tega untuk membangunkannya. Andra yang merasa iba pada Andine akhirnya memilih ikut tidur bersamanya di sana.

Senyum tersungging di bibir tipis Andine, tapi ia segera menepis pikiran itu dengan logika yang ada. Gadis itu bergegas menggeleng cepat.

"Nggak mungkin. Andra pasti punya alasan lain kenapa dia tidur di sini, bisa aja dia emang nggak sengaja ketiduran." Andine mengambil kesimpulan sendiri, ia tak ingin memupuk harapan terlalu tinggi.

Heningnya malam, jarum jam menunjuk ke angka dua dini hari sekarang. Andine bingung hendak membangunkan Andra dengan cara seperti apa, ia takut sang suami malah marah kepadanya.

Tidak-tidak, seharusnya Andine lah yang marah. Sebab pria itu sudah keterlaluan! Ia tak hanya pulang larut malam, tapi juga tega mengabaikan telepon dan pesan darinya.

"Mas," panggil Andine dengan suara lembut. Namun, panggilan tersebut tak membuat Andra merespon apa pun.

"Mas!" Lagi, bukannya membuka mata Andra hanya menggeser tubuh saja.

"Mas!" Panggilan ketiga, suara Andine lebih keras dari sebelumnya. Kali ini berhasil membuat Andra mengerjapkan mata.

"Andine?" Andra memicing dengan mata yang berat. Pria itu bangkit dan duduk di hadapan sang istri, ia menguap beberapa kali.

"Mas ngapain tidur di sini? Kenapa nggak bangunin aku? Terus kemaren ke mana aja? Kenapa pulang telat? Kenapa telepon aku nggak diangkat? Pesanku kenapa nggak dibales? Mas sesibuk apa sih? Setidaknya kalau mau lembur itu kabarin dulu, Mas tahu nggak aku udah capek-capek masak buat, Mas?" Andine tak henti memburu Andra dengan beragam pertanyaan, gadis itu mengerucutkan bibir dengan perasaan kesal. Sedangkan yang ditanyai, hanya menunduk sambil menahan kantuk.

"Mas!"

"Aku ngantuk, mau tidur." Tanpa menjawab satu pertanyaan pun dari Andine, Andra bergegas bangkit sambil berjalan sedikit sempoyongan menuju tangga. Meninggalkan Andine sendirian di sana.

"Mas! Aku belum selesai ngomong! Aku bahkan belum makan lho dari kemarin sore demi nungguin kamu!" teriak Andine dengan penuh kekecewaan.

Andra yang samar-samar mendengar ucapan istrinya lantas menghentikan langkah, ia membuka mata lebar-lebar dan menoleh sebentar ke arah Andine.

"Siapa yang nyuruh kamu nggak makan? Mau nyiksa diri sendiri? Hah? Makanlah, kalau ntar kamu sakit yang disalahin juga aku. Paham nggak?!" Andra mengomel dengan wajah ditekuk kusut, ia marah terhadap Andine, kenapa harus menunggunya dulu hanya untuk makan.

Nyali Andine menciut mendengar omelan sang suami, gadis itu menundukkan kepala dengan perasaan sedih. Ia menyadari, ternyata tidak semudah itu meluluhkan hati sang suami.

Andra mendesah, ia mengusap wajah. Pria itu akhirnya berbalik, dan kembali menemui Andine.

"Ayo ke dapur, aku temani makan," ajaknya. Bagaimanapun juga, hati nuraninya masih berfungsi dengan baik. Lagipula, Andra tidak mau menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Jika Andine sakit, maka yang harus siap direpotkan adalah dirinya, belum lagi omelan ibu dan mertuanya nanti. Bahwa ternyata, ia tak becus sebagai seorang suami yang menjaga istri.

Ekspresi di wajah Andine mendadak berubah ceria, gadis itu tersenyum penuh syukur. Dengan cepat ia mengangguk dan berjalan menuju dapur bersama suaminya.

Akhirnya, kedua sejoli itu menikmati makan malam di jam dua dini hari yang sudah akan menuju pagi.

Denting sendok yang beradu dengan piring memecah hening di dalam rumah megah tersebut, Andine dan Andra tak banyak terlibat obrolan, keduanya hanya sibuk dengan makanan mereka masing-masing.

Sesekali Andine akan melirik ke arah Andra, mengamati dan melihat cara makan pria itu. Juga berusaha menilai eskpresi wajahnya, apakah ia menikmati masakan buatannya atau tidak.

Di tengah-tengah kegiatan makan, saat kedua anak manusia itu sudah akan selesai, Andine tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

"Enak, Mas?"

Tanpa menoleh, Andra segera mengangguk antusias. Kentara sekali dari cara makannya yang lahap bahwa pria itu sangat menikmati makanan yang berkali-kali melewati kerongkongannya.

Senyum simpul terbit di bibir Andine, ia merasa bangga sekaligus bahagia. Walau sebenarnya Andra belum tahu pasti bahwa makanan yang ia lahap ternyata buatan istrinya. Sebab saat Andine mengomel tadi, Andra sedang menahan kantuk.

Andine membawa piring-piring kotor ke wastafel, ia juga menyimpan kembali piring-piring yang masih berisi makanan. Sedangkan di sana, Andra duduk sambil mengusap perutnya yang kekenyangan.

"Laper apa doyan, Mas?" tanya Andine setengah menggoda, ia tersenyum kecil di hadapan suaminya.

Andra mencelos, "Kepo!"

Andine tertawa kecil, "Cuma tanya kok, Mas," ujarnya.

Andra tak lagi merespon, pria itu memilih bangkit dari kursi dan melangkah mendahului sang istri. Andine yang melihat Andra berlalu lebih dulu, lantas segera mengikutinya di belakang.

"Masakan Bi Lastri enak juga," gumam Andra, entah efek kelaparan atau memang karena masakannya yang sedap, pria itu sangat menikmati makanan yang tersaji.

Andine menutup mulut, ia hendak tertawa tapi segera ditahannya.

"Yang masak aku, Mas. Bukan Bi Lastri."

Langkah Andra lantas terhenti, pria itu membeku sejenak sambil mencerna kalimat sang istri.

Andra merutuki dirinya sendiri, kenapa tidak tahu siapa yang memasak makanan itu.

"Oh, gitu. Biasa aja ternyata," ucap Andra berbohong, ia sudah terlanjur kalah malu sehingga meralat kalimat yang sebelumnya.

Andine yang kini berada di sebelah Andra hanya bisa tersenyum.

"Yakin, Mas, rasanya biasa aja? Padahal tadi bilangnya masakannya enak?" goda Andine, sambil melirik ke arah sang suami.

"Apaan sih kamu!" Andra bergegas masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan sang istri seorang diri di sana.

Andine tertawa kecil, tak sanggup ia menyaksikan wajah Andra yang malu-malu.

"Aku semakin yakin, suatu saat nanti hati kamu yang membeku pasti bakal cair di tangan aku," lirih Andine dengan penuh keyakinan. Ia pun segera melangkah menuju kamarnya.

Sedangkan di dalam sana, Andra duduk di sisi ranjang dengan tubuh membeku. Entah bagaimana ia harus menjelaskannya, bibirnya tak dapat berbohong bahwa masakan sang istri memang seenak itu. Namun, karena gengsi Andra tak mau mengakui.

"Andine perempuan yang baik, dia bahkan pandai memasak, pandai merawat diri, dan pandai mencari uang sendiri. Harusnya Andine bisa bahagia dengan pria lain, bukannya sengsara bersamaku di pernikahan ini." Andra bergumam dengan perasaan mengganjal di hatinya.

Tentang … Andine.

Bersambung.


章節 7: Manusia Gila Kerja

Sudah berhari-hari Andine dan Andra hidup dalam rumah tangga penuh keasingan itu, keduanya menjalani rutinitas seperti biasa tanpa ada tegur sapa. Kedua anak manusia itu hanya akan bicara jika ada hal-hal yang penting saja.

Hal ini tentu saja membuat Andine merasa bingung. Di satu sisi ia ingin sekali mengajak Andra mengobrol atau sekedar basa-basi, tapi seolah tak ada kesempatan baginya untuk memulai. Bahkan saat libur pun, Andra memilih mengasingkan diri di dalam ruang kerjanya. Bekerja seharian penuh tanpa jeda.

"Dasar manusia gila kerja! Di kantor kerja, di rumah kerja, kok bisa sih ada manusia kayak dia?" Andine hanya bisa menggerutu. Minggu pagi, setelah membuat sarapan ia berniat memanggil Andra di kamarnya, tetapi Andra malah mengatakan bahwa ia sedang sibuk dan tidak mau diganggu.

"Aku cuma mau nawarin kamu sarapan, Mas! Masa pagi-pagi udah kerja aja sih? Nggak ngisi energi dulu?" teriak Andine dari luar ruangan pria itu.

"Udah aku bilang jangan ganggu! Ntar kalau aku mau sarapan aku keluar sendiri!" Suara Andra terdengar menggema, pemuda itu menjawab dari dalam dan tak kalah kerasnya dengan suara Andine.

Andine berdecak kesal, gadis yang mengenakan piyama biru itu hanya bisa menggerutu kemudian berbalik dan pergi menuju ruang makan.

"Tuan belum mau sarapan, Non?" tanya Bi Lastri dengan raut muka tak enak, ia sudah tahu bagaimana kehidupan tuan dan nyonya-nya selama ini.

Andine menghela napas dan mengempaskan duduk di salah satu kursi, gadis itu menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan sang asisten.

"Ya sudah, Non. Sarapannya bareng sama, bibi aja." Wanita paruh baya itu berniat menghibur Andine.

Ya, Bi Lastri tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga Andine dan Andra. Hanya saja, ia tak berniat bertanya lebih dalam dan memilih untuk bungkam. Wanita itu tidak mau ikut campur.

Di depan Andine tersaji berbagai menu makanan lezat. Namun, gadis itu tak berselera untuk menikmatinya. Pikirannya tengah berkecamuk memikirkan sosok lelaki di dalam ruang kerjanya.

Tentang Andra, dan sesuatu yang sulit ditebak di dalam diri pria itu. Kenapa dia sangat sulit didekati, sulit diajak bicara, dan sulit untuk sekedar berbagi cerita dengannya.

Padahal, Andine sangat ingin melakukannya. Agar kehidupan rumah tangga mereka bisa lebih baik dan ada kemajuan.

Andine mendesah lelah, ia pun memilih menikmati sarapannya seorang diri.

Di ruang kerjanya, Andra duduk di balik meja dengan sebuah laptop menyala di hadapannya. Pemuda yang sudah selesai mandi itu mengenakan kaus pendek berwarna putih, dan juga celana selutut berbahan katun. Andra sedang mengamati lembar kerja yang ada di layar laptop.

Pemuda itu memang terlihat sibuk, walau sebenarnya tidak juga. Ya, Andra hanya sedang berusaha menghindari sosok istrinya, pria itu tidak mau terlalu sering berinteraksi dengannya. Bahkan sejak kemarin, keduanya berangkat kerja sendiri-sendiri. Andra dengan mobilnya, dan Andine dengan sopir pribadi mereka.

Jika Andine berusaha mendekati Andra, maka pria itu berusaha menghindari Andine. Keduanya tak sama, memiliki niat yang berbeda.

Ponsel Andra yang tergeletak di atas meja bergetar, sebuah panggilan masuk dengan nama kontak 'Romi' tertera di layar.

"Halo?" Andra langsung mengangkatnya.

"Halo, Pak."

"Bagaimana, Romi?" Andra mengecilkan suaranya, ia begitu penasaran akan jawaban selanjutnya dari pekerja kepercayaannya tersebut.

"Saya sudah dapat hasilnya, Pak."

Andra terkesiap, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Pria itu menelan ludah, ia pun mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat selanjutnya dari Romi.

"Bapak … masih di sana?"

"Ya! Saya masih mendengar, lanjutkan."

Terdengar suara deheman dari ujung telepon.

"Baik, Pak. Jadi, setelah saya selidiki, ternyata benar wanita di foto itu adalah Viona. Dia … sudah berhasil menjadi model di Paris, Perancis. Dan, pengikutnya di Instagram juga sudah mulai naik beberapa waktu belakangan ini. Menurut berita yang saya baca, saat ini Viona sedang dekat dengan salah satu penyanyi yang cukup populer di sana. Sekian laporan dari saya, Pak, kalau perlu saya akan kirim beberapa buktinya." Penjelasan dari Romi berhasil membuat Andra terdiam.

Pemuda itu sampai menahan napas demi mendengar dengan seksama kalimat pekerjanya.

"Terima kasih." Andra langsung menutup sambungan telepon, ia meletakkan benda pipih itu kembali di atas meja.

Andra mengusap wajah, ia menyandarkan punggung dengan muka yang kusut.

"Kau sudah berhasil rupanya?" gumam Andra seraya tersenyum miring, "Selamat kalau begitu," lanjutnya. Pemuda itu kini tersenyum lebar, tapi sorot matanya tidak dapat menipu bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja.

Andra memejamkan mata, ia kembali mengingat pada malam di mana pemuda itu memilih untuk pergi dulu sebelum tiba di rumah. Ya, Andra sering kali beralasan lembur pada Andine, dan baru pulang saat menuju tengah malam. Padahal, yang dilakukannya bukanlah lembur kerja, melainkan pergi ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya dan hening malam.

Satu-satunya tempat yang sering Andra kunjungi selama beberapa waktu ini, adalah tepi danau yang terdapat di sudut kota. Di sana, di tengah kesunyian, dan gelapnya malam, Andra sering bersendiri mencari ketenangan, sambil memikirkan cara bagaimana melupakan seseorang yang selama ini ada di dalam kepalanya.

Viona.

"Kau sudah berhasil mengejar impianmu, selamat untuk itu." Andra tersenyum dengan mata terpejam, kini di kepalanya tengah terbayang sosok wanita yang baru saja ia bicarakan. Viona.

Viona, gadis itu telah berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya, tapi tak berselang lama ia kembali pergi meninggalkan luka yang lebar menganga.

Viona, adalah alasan mengapa Andra tak pernah siap dengan yang namanya pernikahan. Sebab hatinya sudah berjanji, bahwa ia hanya akan menikah dengan nama gadis yang sudah lama terukir di sanubari. Viona.

Tok, tok, tok! Ketukan pintu berhasil membuyarkan lamunan Andra. Pemuda itu membuka mata dan mengambil duduk tegak.

"Mas! Kamu masih kerja?" Suara Andine terdengar dari luar ruangan.

Andra mendengkus, merasa diganggu.

"Kenapa?" sahut pria itu dari dalam.

"Bisa nggak pintunya dibuka dulu? Dari tadi kita teriak-teriak!" Gadis itu sudah mulai kesal rupanya.

Andra berdecak lirih, ia akhirnya mengalah dan memilih bangkit dari kursinya.

"Udah aku bilang, kalau aku mau sarapan aku bisa turun sendiri ke bawah--" Andra membeku di tempatnya berdiri setelah ia berhasil membuka pintu.

Pemuda berhidung mancung itu terkejut, ia mengira bahwa sang istri datang membawakan sarapan untuknya. Namun, ternyata tidak, wanita itu malah berpakaian rapi seperti siap untuk pergi.

"Iya, aku udah tahu," sahut gadis itu cepat.

"Ada apa?" Andra bertanya seraya berdehem kecil.

"Aku cuma mau pamit, Mas," ujar Andine seraya berpangku tangan.

"Ke mana?"

Andine menghela napas pendek, "Mau ke rumah temen, sekalian jalan-jalan juga. Daripada aku di rumah stress sendiri? Mending keluar." Wanita itu sedikit menyindir pria di hadapannya.

"Oke," jawab Andra singkat.

Andine sesungguhnya ingin mengumpat, tapi gadis itu menahannya. "Oke doang?"

"Ya, terus?" Andra bertanya bingung. Sungguh, dia adalah pria dingin yang tak peka pada istrinya sendiri.

"Nggak! Yaudah lupain aja, aku berangkat dulu," jawab Andine sambil bersiap untuk pergi.

"Silakan!" Andra tersenyum kecil.

Sambil bersungut-sungut, Andine berlalu begitu saja.

"Kalau aku pamit mau cari selingkuhan, mungkin dia bakal iya-iya, aja kali ya? Nyebelin banget sih!" Andine menggerutu dengan suara lirih.

Bersambung.


Load failed, please RETRY

禮物

禮品 -- 收到的禮物

    每周推薦票狀態

    批量訂閱

    目錄

    顯示選項

    背景

    EoMt的

    大小

    章評

    寫檢討 閱讀狀態: C6
    無法發佈。請再試一次
    • 寫作品質
    • 更新的穩定性
    • 故事發展
    • 人物形象設計
    • 世界背景

    總分 0.0

    評論發佈成功! 閱讀更多評論
    用推薦票投票
    Rank 200+ 推薦票榜
    Stone 0 推薦票
    舉報不當內容
    錯誤提示

    舉報暴力內容

    段落註釋

    登錄

    tip 段落評論

    段落註釋功能現已上線!將滑鼠移到任何段落上,然後按下圖示以添加您的評論。

    此外,您可以隨時在「設置」 中將其關閉/ 打開。

    明白了