下載應用程式
92.75% Awakening - Sixth Sense / Chapter 64: Kisah Putra

章節 64: Kisah Putra

Sesampainya di luar, aku tak lagi merasakan hawa keberadaan kedua makhluk itu. Aku bertanya-tanya di dalam hati, apa sebenarnya arti dari ledakan itu… dan mengapa mereka menghilang seketika. Semakin lama aku berpikir, semakin kacau pula batinku. Tetapi semua pertanyaanku langsung terjawab oleh sebuah kalimat dari Lala yang telah muncul di sebelahku.

"Dia meledakkan dirinya tuan…"

"…."

Aku tertegun dan hening seketika. Otakku langsung mencoba memproses kalimat yang diucapkan oleh Lala. Di batinku, aku mencoba meyakinkan diriku dan berharap agar apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang menjadi dugaanku. Lalu beberapa saat kemudian, aku mencoba bertanya kembali.

"Apakah dia akan kembali lagi?"

"....."

Nafasku seketika menjadi berat dan dadaku terasa sangat sesak. Respon diam dari Lala pun telah menghapus secercah harapan yang kumiliki. Rasa penyesalan mulai kembali lagi menghantui diriku.

"Kenapa aku tak mendengarkan ucapannya. Kalau aku mendengarkannya… semua ini pasti tidak akan terjadi. Dia memang berkata benar, kalau aku hanyalah manusia yang lemah."

"Kenapa aku sok menjadi pahlawan dan berusaha menyelamatkan orang lain, padahal aku bahkan tak bisa menyelamatkan diriku sendiri."

"Kenapa aku lemah…"

"Kenapa…"

Aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri atas semua kejadian ini. Karena kebodohanku, dia harus mengorbankan dirinya. Bahkan sampai saat ini, aku tak mengetahui namanya. Mungkin itu lebih baik, karena aku merasa tak pantas untuk mengetahuinya. Penyesalan itu lama kelamaan menjadi amarah… amarah atas ketidakmampuanku untuk menghadapi apapun. Hingga aku tenggelam di dalam penyesalan dan kemarahan atas diriku sendiri.

"Mas Rama…"

Suara itu menyadarkanku, spontan aku menoleh dan memandang bu Nirma yang sedang berdiri di belakangku. Ekspresi wajah dan gerak geriknya tampak waspada. Dia menatapku dengan curiga dengan kedua tangan yang saling mengusap satu sama lainnya.

"Masnya… gak kenapa… napa… kan?" tanya bu Nirma pelan.

Aku terdiam sesaat dan menyadari bahwa saat ini aku harus membantu Putra dan bu Nirma terlebih dahulu.

"Suaminya ibu keadaannya gimana?" tanyaku.

"Suami saya pingsan di lantai mas." jawab bu Nirma.

"Tapi… kok suami saya bisa datang kemari mas?" tanya bu Nirma balik.

"Nanti saya jelasin bu… sekarang pindahin anaknya ke mobil dulu aja bu…" ucapku pelan.

Bu Nirma pun tanpa banyak tanya langsung kembali masuk ke dalam rumah dan memindahkan satu persatu anaknya yang masih tak sadarkan diri ke dalam mobil. Sedangkan aku menghampiri Putra dan mencoba memapah tubuhnya yang masih lemah. Tak lupa aku memperhatikan suami bu Nirma yang masih tergeletak di lantai dengan mulut yang menganga. Jadi aku memutuskan untuk mengantar Putra ke mobil terlebih dahulu. Dengan langkah perlahan kami pun berjalan menuju posisi mobil tanpa mengucapkan sepatah kata.

Setelahnya, aku meminta bu Nirma untuk membantuku memindahkan suaminya. Untungnya tubuh suami dari bu Nirma tidak besar, jadi kami bisa memindahkannya ke mobil dengan lebih mudah.

"Makasih banyak ya mas… udah mau bantuin keluarga saya." ucap bu Nirma dengan suara yang bergetar.

"Sama-sama bu…" balasku pelan.

"Kalo boleh tau… sebenarnya tadi itu ada apa ya mas? Terus, kok suami saya bisa datang ke sini?" tanya bu Nirma dengan bingung dan penasaran.

"Waktu tadi… makhluk pesugihan yang menganggu ibu selama ini… hadir bersamaan sama suami ibu sendiri." jawabku.

"…." Bu Nirma hening sejenak seraya menundukkan kepalanya.

"Apa makhluk itu masih akan ngeganggu keluarga saya mas?" tanya bu Nirma.

"Nggak bu… dia udah kalah." jawabku pelan seraya mengingat pengorbanan dari pria berjubah merah.

Mendengar ucapanku berhasil membuat bu Nirma langsung bernafas dengan lega. Dia tersenyum bahagia, bagaikan orang yang telah terbebas dari beban yang menghantuinya selama ini. Di sisi lain, aku merasa hampa atas kemenangan itu.

"Makasih banyak mas…. Makasih banyak…" ucap bu Nirma berkali-kali seraya memegang erat tanganku.

Aku mengangguk pelan, "Ibu bisa pulang duluan aja… soalnya saya masih mau nunggu mas Putra." balasku

Bu Nirma pun akhirnya pamit dan mengikuti perkataanku sesudah tak henti-hentinya mengucap terimakasih. Setelah itu, aku langsung memasuki mobil Putra dan mengecek kondisinya.

"Keadaan lo gimana Put?" tanyaku pelan.

"Udah lumayan baikan Ram…" jawab Putra pelan.

"Kalo lo gimana Ram? Lo ada luka gak?" tanya Putra balik.

Aku menggelengkan kepalaku lalu berkata, "Lo istirahat aja dulu Put… gausah buru-buru baliknya." ucapku

"Gapapa Ram… ntar gw istirahatnya di rumah aja." balas Putra.

"Yakin Put? Muka lo masih pucat gitu loh." ucapku.

"Santai aja Ram… kalo masih luka kayak gini… gw udah beberapa kali ngalaminnya… jadi lo gausah khawatir." balas Putra dengan percaya diri.

"Hmmmm… yaudah Put… gw ngikut aja." ucapku menyerah untuk meyakinkannya.

"Tapi… khodam lo gimana Ram?" tanya Putra dengan nada yang berhati-hati.

Aku hanya diam sambil menggelengkan kepalaku pelan. Melihat responku yang murung spontan membuat Putra menepuk pundakku berkali-kali. Sepertinya tanpa kujelaskan dia juga tahu dari apa yang kumaksud.

Tak lama kemudian, Putra mulai menghidupkan mesin mobilnya dan kami pun akhirnya pergi keluar dari rumah itu. Di sepanjang perjalanan, aku tak berbicara sama sekali. Aku masih sibuk memikirkan semua kejadian yang terjadi di rumah itu. Aku masih dihantui oleh rasa bersalah atas kecerobohanku. Aku merasa ingatan buruk itu akan selalu melekat dan tak akan pernah bisa hilang dari memoriku.

Sampai beberapa saat kemudian, saat di tengah perjalanan, Putra pun mencoba untuk memulai pembicaraan.

"Entah kenapa… kalo ngeliat lo, gw jadi ingat sama saudara gw Ram…" ucap Putra tiba-tiba.

"Hmmm… emangnya apanya yang mirip?" tanyaku bingung.

"Sifat dan bakat lo." jawab Putra singkat.

Aku mulai mengernyitkan dahiku, sebab jawabannya tidak sesuai ekspektasiku. Aku mengira bahwa yang mirip adalah penampilan dan wajah kami. Tetapi entah kenapa aku juga menjadi mulai merasa penasaran. Ucapan Putra setidaknya berhasil untuk sejenak mengalihkan perhatianku atas ingatan buruk itu.

"Sebenarnya dia yang buat gw milih merantau ke Jakarta sendirian… padahal gw gak tau apa-apa tentang Jakarta sama sekali."

"Dia yang nyuruh lo merantau?" tanyaku heran.

"Hahahaha…" Anehnya Putra menjadi tertawa setelah mendengar responku.

"Malah sebaliknya, dia berharap gw tetap di kampung." jawabnya.

"Terus?" tanyaku yang semakin bingung.

"Sebenarnya, dulu itu gw minder dan gak terima kalau dia lebih berbakat ketimbang gw. Dari kecil, dia selalu dipuji dan disayang sama semua orang yang ada di sekitar gw. Sedangkan gw cuma anak biasa yang bahkan kadang eksistensinya ga dianggap. Bakat gw cuma biasa aja, walau gw udah berlatih sekeras mungkin, hasilnya tetap di bawah saudara gw. Karena itu, gw coba nyari perhatian dari orang-orang di sekitar gw dengan cara jadi anak nakal. Walau gw selalu dimarah dan dipukulin, yang ada di pikiran gw, setidaknya dengan ini gw bisa mendapat perhatian."

"Sejak saat itu, gw selalu berusaha ngelanggar aturan supaya bisa mendapat perhatian. Gw mulai bisa sombong dan pamer sama saudara gw yang selalu hidup lurus, kalo gw itu bisa nakal dan bisa dapat perhatian lebih dari dia. Disitu gw juga mulai cari-cari guru yang bisa ngajarin gw ilmu ghoib. Kenapa gw cari guru? Karena gw mikir, walau gw gak punya prestasi selama ini, setidaknya gw punya ilmu yang ga dipunyai saudara gw."

"Setelah susah payah masuk dan keluar beberapa perguruan, akhirnya gw ketemu guru yang cocok dan gw bisa diterima jadi muridnya. Sejak saat itu gw berniat untuk berlatih sekeras mungkin. Kalau guru gw nyuruh latihan dua jam… gw bisa latihan sampai empat jam. Saat itu gw hanya berpikir, gimana caranya melebihi ekspektasi dari guru gw. Sejak itu, semua yang disuruh dan diajarkan guru, pasti selalu gw lakuin. Gw yang dulunya nakal juga perlahan-lahan membenahi sikap gw. Karena itu, dari semua murid-murid dan para senior, bisa dibilang gw jadi salah satu murid yang paling menonjol."

"Sampai suatu waktu… guru yang ngajarin gw ilmu kebatinan datang silaturahmi ke rumah dan ga sengaja ketemu sama saudara gw. Guru gw langsung ngenalin diri dan langsung ngajak saudara gw supaya jadi muridnya tanpa embel-embel tes. Sedangkan gw mikir, kok dulunya gw harus di tes dulu baru diterima jadi muridnya."

"Gw jadi makin marah, kenapa perlakuan semua orang ga adil ke gw. Belum lagi guru gw lebih milih nurunin semua ilmunya ke saudara gw. Makanya dari itu gw lebih milih keluar dan mau buktiin kalo gw bisa lebih hebat dari mereka semua. Gw gak mau, kalo seumur hidup gw berada di bawah bayang-bayang saudara gw sendiri. Gw lebih milih merantau jauh-jauh dengan harapan bisa sukses nantinya. Gw juga berpikir, walaupun gw gak sukses dan jadi bawahan orang lain nantinya, setidaknya gw ga sakit hati karena keluarga gw sendiri."

"Tapi semakin lama gw jauh dari keluarga, akhirnya gw mulai sadar kalau apa yang gw pikir itu salah. Gw nyesal… kenapa gw bisa sampe berpikir kayak gitu. Kenapa gw ga nerima semuanya dan jadi diri gw sendiri. Kenapa gw nggak support saudara gw… kenapa gw harus bersaing dan mencoba melampaui dia. Seharusnya gw turut senang kalo keluarga gw punya kemampuan yang lebih."

"Batin gw udah berontak… supaya gw bisa mengakui semua itu dan meminta maaf. Tapi ego gw lebih keras… gw malu untuk ngelakuin itu. Gw pengen banget ngaku dan minta maaf… tapi gw selalu menunda dan membohongi diri gw sendiri kalo gw bisa lakuin itu di lain waktu. Hingga dua tahun yang lalu… gw dapat kabar dari kampung… kalo saudara gw udah meninggal."

"Disitulah gw sadar betapa bodoh dan egoisnya gw. Seumur hidup gw… gw belum sempat ngucapin satu kata yang paling penting ke saudara gw. Satu kata singkat yang simple tapi susah diucapkan.

"Maaf."

"Tapi semua udah terlambat… walaupun gw ngucapin kata maaf sejuta kali di makamnya… udah ga ada gunanya lagi."

Putra terdiam sejenak, sepertinya dia jadi mengingat momen itu kembali. Tampak dari matanya yang kosong layaknya sedang menerawang jauh hingga menembus dimensi waktu yang lampau.

"Gw turut berduka Put…" ucapku pelan.

Putra mengangguk pelan, lalu lanjut berbicara.

"Gw cuma mau saranin… ga perlu iri sama orang lain Ram. Dari pengalaman gw selama ini… semua orang udah ditakdirkan punya porsinya masing-masing. Entah itu bakat… rezeki… kesehatan… jodoh… dan ajal. Semua udah diatur sama yang di-Atas. Kita yang di bawah cukup nerima dan bersyukur sama jatah yang ditetapkan. Tapi bukan berarti kita cuma nunggu doang… kita juga harus usaha semaksimal mungkin. Makanya ada pepatah yang mengatakan… manusia bisa berusaha, tetapi hasilnya tetap Tuhan yang menentukan."

"Lama-lama gw udah kayak mama dedeh yang lagi ceramah aja nih." ucap Putra bercanda sekaligus berusaha mencairkan suasana.

"Hahahaha…"

Kami berdua pun berusaha tertawa… walau sebenarnya aku tau, bahwa perasaan dan pikiran kami masih tertuju pada hal yang lain.

"Hahahahahahahahaha…"

"…." Aku menoleh dan melihat mulut Putra dalam kondisi tertutup. Mendengar tawa yang masih berlanjut itu membuat badanku merinding seketika. Spontan aku berpikir, dari mana asal muasal suara tawa itu?

Hingga sepersekian detik kemudian, mobil yang kutumpangi itu telah menerobos trotoar dan menabrak sebuah pohon.

Bersambung…


Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C64
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄