Terkadang hidup tidak bisa berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Ada kerikil atau penghalang yang datang secara tak terduga. Harusnya pria seperti Malik pun memahami betul apa yang sudah dia lakukan. Namun pria itu terlalu takut, ia khawatir kalau istrinya akan meninggalkannya setelah mengetahui siapa dirinya. Meski saat ini ibu dan saudara Anna sudah berada dalam genggamannya. Akan tetapi apa yang sudah ia rencanakan sejak awal itu kini melenceng sangat jauh.
"Ini yang selalu bapak peringatkan pada kita." Tatapan Storm fokus pada wine yang ada di gelasnya. Sesekali ia menggoyangkan gelas tersebut.
Malik tak mengatakan sepatah kata. Yang dikatakan oleh Storm tak salah. Thunder tidak melarang saudari maupun saudaranya jatuh hati, tetapi pria itu selalu memperingatkan bahwa perasaan adalah musuh utama. Cinta adalah sebuah kelemahan. Dan siapa sangka, kini ia terjebak dalam hal yang tidak pernah ia bayangkan dalam hidupnya.
"Lalu, apa kau sudah memutuskannya?" Storm meneguk winenya. Sorot mata yang tajam kini terarah pada Malik yang duduk dengan penuh kegelisahan.
"Kau tidak bisa diam seperti ini terus. Dan kau pasti sudah tahu itu, Malik." Storm meletakkan gelas kecil itu ke meja.
Keputusan Malik saat ini bisa diibaratkan dengan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
"Kau bisa mengatakan sejujurnya, kemudian menggunakan orang tua dan saudara Anna untuk menguasai gadis itu," tambah Storm.
Seperti yang sudah diketahui, Anna berasal dari kalangan rakyat biasa. Yang tidak mungkin memiliki keahlian dan koneksi pada siapa pun. Hal ini tentu sangat mudah untuk dimanfaatkan.
Bukankah rakyat jelata mudah dikendalikan?
"Ini tidak semudah yang kau ucapkan, Kak." Ada keraguan dalam nada bicara Malik, Storm memerhatikan pria yang sudah seperti adiknya tersebut dengan seksama.
Tatapan itu mengatakan hal yang luar biasa. Seorang Malik jatuh hati, dan sebagaimana pasangan normal lainnya, pria itu ingin kehidupan rumah tangganya berjalan biasa saja. Namun sayang, mereka berada dari kalangan yang tidak biasa. Siapa pun yang bergabung dengan keluarga mereka, tidak hanya kuat secara mental tetapi juga fisik.
"Ini sangat mudah." Storm menyandarkan bahu pada kursi," Yang membuatnya sulit karena kau menyukai wanita itu."
Pembahasan menjadi lebih serius. Intonasi suara Storm seakan-akan Malik telah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Lebih fatal dari pada gagal dalam sebuah misi.
"Tuan," Seorang pria masuk, kemudian membungkuk. Storm mengetahui maksud kedatangan pelayannya itu, sekalipun pria itu belum mengatakan apa-apa.
Storm berdiri, melirik Malik sesaat. "Bapak meminta kita untuk mengurus masalah ini. Aku harap masalah yang sedang kau hadapi tidak mempengaruhi kinerjamu, Malik."
*
"Di mana Malik?" Anna menatap jam dinding. Jarum jam itu menunjuk angka 3 pagi, tetapi Malik yang pamit entah kemana, sampai saat ini belum pulang juga.
Anna pun menapakkan kakinya ke lantai, berjalan lemah dengan segala keresahan yang melanda pikirannya. Suaminya memang jarang meninggalkan rumah, tetapi sekali keluar, Malik sangat lama kembali. Entah apa yang dilakukan oleh suaminya di luar sana.
Anna yang tidak bisa tidur itu pun memutuskan keluar kamarnya. Ia melangkah pelan melewati koridor panjang yang sedikit gelap. Beberapa lampu telah dimatikan, ruang demi ruang terasa begitu sunyi dan hening.
Sampai melewati beberapa pintu, langkah Anna terhenti. Ia mendengar suara samar, seperti orang yang sedang berbisik disertai bunyi langkah.
"Maling?" batin Anna. Tetapi mana mungkin rumah Malik yang dijaga ketat oleh puluhan orang bisa dimasukin maling?
Reflek Anna langsung memasuki salah satu pintu, ia mencoba berpikir jernih. Ia masih yakin bahwa tidak mungkin maling masuk ke rumah Malik. Ya tidak mungkin dan sangat tidak mungkin.
"Tunggu! Apa kau mendengar sesuatu?" Suara pria mengudara dengan nada pelan.
Anna melangkah semakin masuk ke dalam ruang tersebut. Rumah Malik memiliki banyak ruang kosong dan hanya berisi lemari-lemari atau rak buku kosong. Anna bersembunyi di balik lemari yang ada dalam ruang tersebut.
"Aku yakin pasti ada seseorang di sini," ucap salah satu pria yang merasa mendengar suara.
"Alah, itu hanya halusinasi mungkin. Ayo—"
"Tunggu!" Pria itu menghentikan rekannya. Ia tidak bisa bekerja jika ada seseorang yang mengetahui keberadaannya. Bukankah mereka diperintah untuk tidak menghadirkan satu pun saksi?
"Aku akan memeriksanya sebentar," kata pria tersebut.
Rekannya tak bisa mengatakan apa-apa. Ia hanya mengikuti temannya itu dari belakang.
Krieet...
Derit pintu membuat degup dada Anna berdetak kencang. Lampu sorot pun diedarkan pada beberapa tempat, membuat Anna meringkuk dan berdoa agar orang itu tidak mengetahui keberadaannya.
'Tidak-tidak. Apa mereka benar maling?' batin Anna.
"Sudah kubilang tidak ada siapa-siapa di sini." Pria yang tak sependapat dengan temannya itu tampak protes. "Kita harus cepat, bagaimana kalau orang-orang terbangun?"
Perintah sudah jelas. Harusnya mereka langsung eksekusi bukannya membuang-buang waktu dengan cara seperti ini.
"Baikah." Pria itu akhirnya menyerah. Ia kemudian menutup pintu pelan.
"Siapa kalian?!" Suara seorang wanita yang sangat dikenal Anna memecah kesunyian.
"Maling! Maling!" Teriakan dan jeritan langsung membangunkan seisi rumah.
"Fuck!" Pria yang sudah ketahuan itu pun terpaksa mengurungkan niatnya. Ia mengeluarkan pistol dari tas slempangnya dan buru-buru menembak wanita yang sudah membuat rencananya gagal.
Dor!
Jantung Anna seakan mencelos. Lututnya lemas, keringatnya menderas.
Apa yang terjadi?
Apa semua baik-baik saja?
Tanpa pikir panjang, Anna keluar dari tempat persembunyiannya. Netranya membelalak melihat apa yang ada di depannya.
"Lily!" teriak Anna.
"Tangkap dia!" Pria yang masih memegang pistol itu berseru.
"Nona, larilah! Lari!" pekik Lily. Tangannya yang penuh dengan darah berusaha menarik Anna yang tampak shock. Ia berusaha agar Anna segera sadar.
Dor!
Satu tembakan dilepaskan lagi, tembakan yang langsung membuat Lily bungkam seketika.
Tenggorakan Anna terekat, ia tak bisa mengatakan apa-apa. Kejadian di depan matanya adalah hal pertama yang ia lihat sepanjang hidupnya. Ia bahkan berpikir bahwa yang ia lihat hanyalah mimpi.
Ya sebuah mimpi, dan saat ia terbangun esok, semua kembali seperti semula.
Mempersingkat waktu, pria itu mengeluarkan kain yang sudah dilumuri dengan obat penenang. Ia membekap mulut Anna dengan kuat, sampai wanita itu lemas dan tak sadarkan diri.
Malik menatap pria yang diikat di lantai. Pria itu meringkuk dengan luka yang memenuhi sekujur tubuhnya.
"Bapak ingin satu nama, tetapi pria itu sangat setia. Dia tidak mengatakan apa pun, meski kondisinya sudah berada di antara hidup dan mati." Storm menatap dingin tak berbelas pada pria tersebut.
Bersamaan dengan itu, satu panggilan telepon masuk ke dalam ponsel Malik. Ia segera mengangkat telepon tanpa memiliki firasat apa pun.
"Maafkan saya, Tuan."