"Sebelumnya, apa pekerjaanmu, Anna?" Wanita yang memiliki tatapan tajam memberinya pertanyaan.
"Saya hanya pelayan bar, Kak," sahut Anna. Keringat dingin lolos sempurna, tangannya saling meremas. Gugup.
Beberapa jam yang lalu, Malik mengajaknya untuk menemui saudara-saudara angkatnya.
Ya, saudara-saudara angkat. Dan tak menyangka bahwa Malik memiliki saudara yang cukup banyak. Suaminya sendiri adalah putra ke 13, putra paling muda dan sudah menikah. Sementara beberapa dari saudaranya lajang. Hanya Vincent lah yang sudah menikah, itu yang dia tahu baru saja.
Apa karena itu, saat ini, pusat perhatian tertuju pada dirinya dan Malik?
"Lalu, apa Malik salah satu customer yang sering datang ke barmu itu?" Wanita itu bertanya lagi.
Anna menatap Malik, kenapa suaminya malah bersikap setenang itu?
'Please bantulah aku, Malik!' batinnya.
Sangat tidak lucu kalau Anna menceritakan yang sesungguhnya. Kisah cinta mereka tidak diawali dengan jatuh cinta dan hal-hal romantis. Semua diawali dengan lamaran Erick, parahnya dia berpikir akan menikahi pria tua itu.
"Kau tidak perlu menjawab pertanyaannya, Anna. Kau juga tidak perlu mendengarkan ucapannya," sela Gerald, yang ternyata saudara Malik yang ke 3.
"Hei Gerald! Jangan menyelaku!" ketus wanita itu, Kora.
"Panggil aku, Kakak, karena aku lebih tua darimu," ketus Gerald.
Kora melipat tangan di dada, tak ingin bicara lagi dengan Gerald. Pria itu memang tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengannya. Selalu saja mencari masalah dengannya. Padahal Anna tidak keberatan dengan pertanyaannya, pun dengan Malik. Lalu kenapa dia yang ribet?
"Sudahi pertanyaan ini lebih dulu," Storm melangkah, di sebelahnya tampak seorang pria tua yang berjalan bersamanya.
Mereka seketika berdiri, pun dengan Anna.
'Apa yang akan mereka lakukan?' tanyanya dalam hati.
Sejak tadi dia terus memerhatikan suaminya, menirukan apa yang dilakukan oleh suaminya.
Setelah pria paruh baya itu duduk di tempatnya, mereka membungkuk, Anna juga melakukannya.
'Apa pria itu yang dipanggil Bapak oleh Malik?'
Malik terus menyebutkan nama Bapak beberapa kali, dan dugaannya pasi tepat.
Thunder Wijaya menatap satu per satu wajah anak asuhannya, mereka sudah dewasa. Bahkan yang paling kecil juga sudah menikah.
"Duduklah," ucap pria itu.
Dan semua langsung duduk. Pelayan pun datang menghidangkan makanan yang dipesan. Keluarga yang tidak memiliki ikatan darah itu menghadirkan suasana yang tak dimengerti. Anna merasa sudah masuk ke suatu tempat yang tidak seharusnya dia masuki.
Malik pun tak banyak bicara, antara tak peduli padanya atau memang aturannya seperti itu. Karena setelah kehadiran pria itu semua hening, hanya menikmati makanannya masing-masing.
Anna yang berasal dari keluarga harmonis, tentu makan bersama adalah momen percakapan hangat, percakapan singkat antar keluarga.
Anna menarik napas, mendongak dan tatapannya tak sengaja terarah pada sosok yang berada di bangku paling depan. Dia lupa namanya, tetapi sepertinya orang itu memiliki kedudukan tinggi, macam bos yang ada di sebuah organisasi.
Detik kemudian, tatapan keduanya saling mengunci, Storm menyunggingkan senyum saat Anna menatapnya secara diam-diam.
'Shit!' umpat Anna dalam hati. Dia seperti seorang pencuri yang baru saja ketahuan melakukan kejahatan.
"Bagaimana Anna? Apa kau suka masakan di sini?" Seorang wanita tertua di atas Kora, Julia bertanya.
"Sa-sangat suka, Kak," balas Anna. Entah kenapa dia merasa lega tak jelas.
"Bagus kalau begitu, Anna," sahut Julia.
Sebenarnya keluarga mereka sekarang tidak terlalu senang dengan makan-makan di luar, tetapi ini adalah permintaan kakak pertama, Storm. Tentu saja langsung diijinkan.
Hening kemudian.
Tidak ada percakapan dan semua berlalu dengan cepat, hingga Anna tak menyadari bahwa acara itu telah selesai.
Hanya itu saja?
Anna rasa pria yang dipanggil Bapak itu harus mengetesnya lebih dulu atau melakukan sesuatu untuk menyakinkan dirinya sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan bayangannya, tidak sesuai dengan komik atau novel yang pernah dia baca.
"Ada apa Anna?" Malik menyentuh pundak istrinya, "kau lebih sering diam. Apa ada hal yang mengganggumu?" tanyanya.
Anna mendongak menatap bulu-bulu halus di wajah suaminya yang mulai tumbuh.
"Ah tidak ada Malik. Aku hanya sedikit lelah dan ingin segera cepat sampai," alasannya.
Perjalanan masih satu jam lamanya, tetapi pikiran yang mengganggu ini perlu dia atasi lebih dulu.
"Untuk menghidupi anak sebanyak itu, tentu uangnya pasti banyak, kan?" lontar Anna.
Pertanyaan terbodoh yang pernah dia katakan. Kenapa dia tiba-tiba bertanya hal itu? Apa tidak ada pertanyaan lain?
Malik mengusap dagu, "Ya sepertinya memang begitu, tetapi Bapak tidak pernah terlihat kesusahan karena hal itu."
Tentu saja!
Pria itu mana mungkin menunjukkan kesulitannya di depan anak-anak!
"Apa kau ada pertanyaan lain? Nanti aku jawab, Anna."
Anna mengusap wajahnya, sepertinya percuma berbicara dengan Malik. Suaminya itu tidak penrah memberikan jawaban yang jelas.
"Tidak-tidak, Malik. Aku tidak ada pertanyaan lagi."
*
"Dia sudah berubah," ucap Thunder. Duduk menyandar pada bahu kursi seraya menautkan kedua tanggannya.
Melihat anak-anaknya dalam keadaan sehat, itu membuatnya sudah senang. Terlebih beberapa yang dia adopsi, memiliki keterbatasan, memiliki trauma di masa lalu. Namun tahun-tahun yang dilewati dengan air mata dan banyak perjuangan itu sudah berakhir. Kini nama keluarga, nama organsasinya bukan hal yang sembarang diucapkan atau dilecehkan.
"Aku setuju denganmu, Bapak." Storm menuangkan red wine pada gelas pria itu.
Semua sudah tahu bagaimana kerasnya Malik, dalam bekerja maupun dalam misi. Dan, hasil evaluasi Malik cukup buruk. Anak itu memerlukan cinta untuk mengubah dirinya.
"Tapi aku akan tetap menyelidiki asal usul wanita itu untuk memastikannya." Storm tak ingin ada kesalahan. Tak ingin orang luar masuk ke dalam organisasinya demi tujuan tertentu.
"Selamat malam, Tuan Muda, Tuan Besar." Pelayan masuk.
Thunder mendengar penjelasan wanita itu dengan seksama, tetapi tidak dengan Storm. Dia seakan-akan tahu siapa yang akan datang malam ini.
"Siapa dia?" tanya Storm.
Pelayan itu membungkuk, "Saya kurang tahu. Apa saya suruh dia masuk—"
"Tidak, perlu. Biar saya saja yang ke sana," kata Thunder seraya beranjak dari kursinya.
Storm melihat pungung pria yang sudah merawatnya itu. Pria yang sudah memberikannya kehidupan ke dunia dan memberinya semua pengobatan terbaik, meski Storm tidak pernah sembuh seutuhnya.
Storm mengikuti, mengintip, dan detik kemudian, merasa heran dengan tamu yang datang. Kenapa mereka gampangan?
Jaket hoodie hitam yang menutupi wajahnya dibuka, seorang wanita cantik tengah mengatakan kesulitannya pada Thunder. Sebelumnya, Thunder bekerja sebagai Hakim Agung, tetapi kesalahan satu saja, membuat hidup Thunder berakhir dengan seperti demikian.
'Siapa dia?' Storm sedikit memajukan tubuhnya, memerhatikan wanita itu dari jarak aman.
"Bisakah Anda menolong saya, Pak? Saya rasa hanya Bapak yang bisa mencaritahu pelaku pembunuhan saudara saya."