Kediaman Chalany, Eurixus
Dunia Ambang dari Ambang Batas
Tanpa mengurangi rasa hormat, pasang mata Noah memandang tak suka nyaris ngeri semangkuk sup berkuah gelap yang baru saja ditaruh Chalany diatas meja rumahnya yang berdebu. Pria berdarah bangsawan militer itu tak habis pikir, bagaimana rasanya sup lumut merah yang kini disantap sangat nikmat oleh Chalany itu. Mungkin lumut itu bukan dari ladang liar disana tempatnya tadi menginjakkan kaki, tapi tetap saja, itu lumut.
Ekspresi dan diamnya Noah tertangkap Chalany, "Kenapa Kau tidak makan? Kau perlu memulihkan energimu segera usai melemparkan diri kesini, pun melemparkan gadis itu kembali ke dunia manusia."
Noah menghembuskan nafasnya yang mengembun, "Setelah Aku pulih, Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan, kemana Aku harus pergi, Aku tak tahu," ujarnya, mulai meraih sendok makan kayu di samping mangkuk sup lumut.
"Kemanapun itu, asalkan bukan lagi disini, di Eurixus."
Noah melirik pria berjanggut putih itu cepat, "Kenapa? Bukankah sejak dulu Eurixus adalah tempat untuk para penjelajah portal yang tak bisa kembali ke asalnya?"
"Dari mana Kau tahu?"
"Siapa lagi? Tentu saja Ayahku, Ia bahkan ... diduga lenyap disini." Noah menyantap sup lumut itu, menahan nafas bersama perasaan sedih yang selalu menyeruak muncul tatkala membicarakan kelenyapan Rhys.
Chalany menaruh mangkuknya, "Itu artinya Kau tahu, bahwa disini tidak aman. Kau bahkan mengatakannya pada Elleanor, gadis itu."
"Dari mana juga Kau tahu soal gadis itu?"
"Siapa lagi? Tentu saja Ayahmu," jawab Chalany, menirukan gaya bicara Noah barusan, membuat pria itu menatapnya penuh tanda tanya, "Apa ... ini yang dimaksud Kaisar Ghent bahwasanya ... gadis itu adalah 'pilihan' Ayahku?"
"Kau bisa menebaknya dengan baik."
"Jawab saja, Chalany. Kau adalah seorang peramal, bisa saja Kau mengetahui tanpa mendengar langsung. Apa itu hanya ramalanmu saja?"
Chalany menggeleng, "Aku tidak tahu, apakah Aku sekedar meramal atau tidak, pun apakah ramalanku benar atau salah. Saat itu Ayahmu datang padaku bersama Zikmund usai mereka terlempar kesini. Mereka bertanya dimana dan siapakah ... gadis yang seharusnya memegang Clairvoyance itu berada ..."
"Lalu Aku menjawab dia mungkin adalah Elleanor Tyra."
Noah mengerutkan dahinya, "Kenapa narasi yang beredar adalah Ayahku yang memilihnya? Bukankah justru secara tidak langsung adalah Kau yang memilih gadis itu?"
"Ayahmu dan Zikmund tidak datang untuk meminta ramalan penuh, melainkan hanya memastikan. Mereka membawa dua pilihan nama saat itu, dan kemampuan peramalanku mengatakan ... Elleanor Tyra lebih mendekati, lebih memungkinkan."
"Kenapa Kau seolah tak yakin?"
Chalany beranjak dari duduknya, "Karena peramal pun bisa salah, Noah Clodio," jawabnya seraya berjalan ke dekat petiduran tempat Noah tadi berada. Lemari kecil penyimpanan dibukanya, yang sepengetahuan Noah isinya adalah herbal-herbal kering. Entah dari mana peramal itu mendapatkannya di tempat terpencil, sepi, dan dingin seperti ini.
"Apa yang Kau buat?" tanya Noah begitu membau aroma herbal yang sama persis dengan apa yang diberikannya pada Tyra sebelum dikembalikan ke dunia manusia.
"Kau tidak tahu? Traveler's Hops."
Noah mengerutkan dahinya, "Untuk apa? Nama yang aneh."
"Sesuai namanya, Kau akan bisa kembali 'melompat' kesini dengan ingatan sempurna suatu saat nanti, begitu juga dengan Elleanor."
"Kau mengharapkan Kami kembali kesini suatu hari nanti? Tapi kenapa juga Kau seolah mengusirku tadi?"
Chalany menuangkan air panas ke dalam cangkir besi tua, "Aku harap kalian akan kembali jika memang benar-benar diperlukan saja. Saranku, lebih baik Kau pergi ke dunia manusia, diam disana sampai Kau bisa kembali ke Lyminael. Untuk saat ini Kau tidak bisa mengandalkan tempat lain untuk memelihara energimu."
Noah menghentikan makannya, "Bagaimana Lyminael saat ini? Aku merasa seperti pecundang yang melarikan diri saat negaraku dihancurkan," ujarnya mencelos.
"Kau baru akan dikatakan pecundang jika gagal menyelamatkan Kestrea dan Lyminael ..." Chalany kembali, membawa secangkir seduhan Traveler's Hops itu untuk Noah. "Sebagian Lyminael ... telah dikuasai oleh energi negatif Sleushus. Pertahanan positif penyeimbang yang tersisa sebelum negeri itu lenyap sia-sia adalah kenetralan Freustrel dan Clairvoyance yang Kau miliki saat ini ..."
"Freustrel tidak diserang?"
"Tidak. Mereka berhasil berdiplomasi, menjaga hubungan lewat tali tipis perdagangan yang kuyakini tak akan bertahan lama. Kau tahu sendiri, betapa liciknya Sleushus."
Noah meneguk salivanya dalam-dalam, Ia sudah menduga hal itu akan terjadi, "Bagaimana dengan ... Kestrea?" tanyanya. Seseorang yang Ia pikirkan saat ini hanyalah satu; Greta, kekasihnya. Apa yang terjadi pada gadisnya itu?
"Sayang sekali, Kestrea hancur lebur setelah perang ..."
"Negerimu itu telah rata dengan tanah."
****
SSSAK!
HAH!
Tyra membuka matanya tiba-tiba, membulat penuh alih-alih perlahan memicing khas seseorang yang baru bangun dari tidur pada umumnya. Lihat juga nafasnya; tak teratur, dada naik turun. Gadis itu seolah terbangun usai melakukan kompetisi lari cepat yang menguras tenaga habis-habisan.
Tangan Tyra meraba-raba sekitar, seraya matanya sibuk mengedar ke sekeliling, memeriksa seluruh benda yang terletak disana, mengumpulkan orientasi. Dua menit berselang, Ia akhirnya menghela nafas lega; Ia berada di kamar apartemennya.
"Astaga ..."
"Aw!" keluh Tyra begitu Ia berusaha bangun. Gadis itu mengerutkan dahi, lantaran sekujur tangan dan kakinya yang lebam-lebam membiru, "Apa ini ... astaga, sakit sekali ..." ujarnya merengek.
Kembali Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari pria yang terakhir bersamanya, "Kemana dia? Aku bahkan tak sadar apalagi yang terjadi ... setelah pria tua itu ... Aku meminum ... sesuatu?" gumamnya mengingat-ngingat. "Aish, sialan! Kenapa juga Aku percaya saja sih? Minuman itu pasti sama dengan apa yang membuatku bisa mengerti apa yang mereka bicarakan dengan bahasa planet lain itu!" kesalnya.
Baiklah, lupakan dulu kekesalannya karena Ia mendadak ingin pergi ke toilet, "Aduh ... shh! Kakiku yang cantik ..." keluhnya ngilu. Dua kaki itu seolah habis terbentur besi, sakit sekali sampai ke tulang.
DUKK!
"Aaa sakit!" Kali ini Tyra nyaris berteriak, pinggangnya itu harus menabrak nakas yang laci atasnya agak terbuka. Seperti orang jompo gadis itu berpegangan ke tempat tidur, "Ini pasti karena si Noah Noah itu yang membuatku seperti ini kan? Dasar lelaki tidak jel ..."
Ucapan Tyra terpotong, lantaran matanya menangkap benda asing di dalam laci yang baru saja akan ditutupnya.
Asing, tapi menarik.
"Apa ini ..." Tyra meraih guci kecil biru segenggaman tangan berukiran bunga dan air dengan sumbat kayu oak diatasnya, "Sejak kapan Aku membeli barang antik?"
POPP! Tyra membuka sumbat kayu oak guci kecil itu. Lalu tiba-tiba ...
"Hah!"
"Astaga astaga!"
Buru-buru Tyra menutup kembali guci kecil itu usai dibuka. Sesuatu yang aneh diluar nalar kembali menghampirinya; botol itu mengeluarkan cahaya biru terang kuat lurus ke atas.
TRAKK!
Tyra melempar keras guci kecil itu ke atas nakas, perlahan mundur, mengabaikan ngilu di tulang dan sendinya, "Apa lagi ini? Apa itu miliknya?"
Masih penasaran, Tyra memberanikan diri memeriksa seisi laci yang tadi terbuka. Tidak ada benda asing, yang ada hanya kamera klasik pemberian Ayahnya dan ... tapi tunggu ...
"Bukankah ini berlian yang Ia berikan padaku? Apa Aku ... benar-benar sudah menerima bahkan menyimpannya?" Tyra memeriksa isi pouch coklat 'primitif' itu lagi, dan kali ini tak hanya berlian yang Ia temukan.
"Cincin? Cantik sekali ... apa dia kolektor barang-barang antik?" ujarnya, masih sempat memuji cincin bertahtakan permata dengan ukiran simetris sempurna berkilau itu. Matanya memang tak tahan dengan kemewahan.
DING DONG!
Tyra memasukkan kembali cincin itu ke dalam pouch berlian, pun takut-takut menyentuh guci kecil biru itu kembali, menaruh mereka dalam satu laci yang sama. Lalu dengan ringkih Ia berjalan ke depan pintu masuk.
CKLK!
"Tyra!" seru Eric alih-alih menyapa. Detik-detik berikutnya mereka hanya berpelukan rindu, "Kau kemana saja? Kenapa Aku tidak bisa menghubungimu sebulan ini?"
Tyra membulatkan matanya dibalik bahu Eric, "Se-sebulan?"
Eric melepaskan pelukan mereka, mendorong pelan Tyra masuk ke apartemennya dan menutup pintu, "Ya, kemana saja sih? Aku paham Kau mungkin menghilang untuk menenangkan diri seperti waktu itu, tapi kenapa Kau tidak mengabariku? Aku khawatir padamu," ocehnya, kembali memeluk gadisnya itu sayang.
Tyra dalam kebingungannya hanya balas memeluk Eric, monolog hatinya bergemuruh penuh tanya, "Selama itu kah Aku benar-benar pergi? Dunia yang dikatakan pria itu ... sungguh nyata?"