Noah terdiam begitu saja di tempatnya usai mendengar pernyataan Ghent, "Apa maksudmu, Kaisar? Aku tidak mengerti," tanyanya menuntut.
Ghent kembali menghela nafasnya dalam-dalam, "Sebelum Ayahmu lenyap bersama Kaisar Zikmund, mereka terlebih dahulu pergi ke dunia manusia. Mereka mencarinya, yang saat itu masih sangat kecil. Tapi sayang, keduanya lenyap dan tak bisa kembali dari dunia manusia sebelum sempat ..."
"Memberikan Clairvoyance yang saat ini Kau miliki padanya."
Lagi-lagi, Noah membulatkan matanya, "M-maksudmu ... setengah dari Tears Elixir ini ... seharusnya ada padanya? Kenapa begitu? Siapa gadis itu sebenarnya?"
Ghent menggeleng, "Kau akan tahu dengan sendirinya nanti. Misimu memang tidak dapat dibekali dengan banyak informasi. Salah satu bagian terpenting di dalamnya adalah bagaimana Kau bisa berpikir, dan ... menjiwai misimu sendiri nantinya. Hingga kelak Kau kembali ke Lyminael, Kau bukanlah seseorang yang mudah digoyahkan, Jenderal Noah Clodio ..."
Rahang Noah mengeras, tangannya hampir mengepal disamping, "Kau melemparku keluar Lyminael dengan sejuta tanda tanya, Kaisar Ghent. Apa salahnya memberitahu ..."
"Memang akan menjadi sebuah kesalahan jika Aku memberitahumu sekarang. Aku tidak ingin ... mengkhianati janjiku pada Rhys dan Zikmund. Apa Kau bisa mengerti?"
Noah menghela nafasnya berat, pun memejamkan matanya meredam amarah. Jika Ghent sudah menyisipkan nama Rhys dalam kalimatnya, Noah tak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah. Aku akan mencari tahu kebenarannya. Tapi gadis itu ..." ujarnya tertahan, membuat Ghent sedikit mengerutkan alis, "Ada apa dengan gadis itu?"
"Setiap Aku melintasi portal, Aku langsung tertuju, terlempar sesuai keberadaannya, tepat di depan matanya. Tapi ... Ia tidak selalu melihatku."
Ghent mengangguk-ngangguk, "Lalu apa yang Kau rasakan?"
Noah menggeleng pelan dengan raut wajah heran, "Aku ... rasanya seperti diterbangkan kesana kemari tanpa arah jelas. Aku tak bisa berpijak di tanah bumi, tapi malam itu ..."
"Aku bisa. Sepertinya itu juga pertama kali Ia bisa melihatku."
"Apa ada sesuatu yang menarikmu dengan kuat?"
Noah mengangguk cepat, "Ya, sangat kuat, sampai Aku bisa menampakkan wujudku meski Ia tak menyentuhku, atau bahkan menyapaku. Apa itu, Kaisar? Aku merasa sangat aneh."
"Itu tidak aneh, Noah. Gadis itu bukan manusia biasa ..."
"Apa maksudmu?"
"Sudah kukatakan ..." ujar Ghent tertahan, karena tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berjalan tergesa menuju ruangannya. Rupanya benar saja ...
Greta, menunduk hormat pada Ghent dengan wajah panik, "Kaisar Ghent, Aku hendak meneruskan kabar dari Jenderal Frida, bahwasanya sekutu Sleushus tengah bergerak menuju Perlington Hold sejak matahari terbenam."
"Mereka sudah sangat dekat," lanjutnya semakin panik. Ghent dan Noah silih lirik berpikir, "Apa-apaan mereka itu?"
"Mereka akan menyerang Kita, Kaisar. Saat ini Kami mohon izin untuk mengirim balik pasukan, mencegah serangan yang lebih parah," ujarnya menggebu.
"Siapkan segera! Kirim pasukan ke titik-titik serangan. Kalian diperkenankan melakukan serangan, lawan mereka!"
"Noah!"
"Kita tidak punya pilihan, Kaisar!"
Noah dan Ghent malah berdebat, namun Greta segera keluar, menganggap perintahnya mutlak dari Noah alih-alih Ghent.
Lalu sepertinya mereka terlambat, suara prajurit berkuda dan seruan seruan mereka sudah terdengar di Perlington Hold.
Ghent dan Noah memeriksa lewat jendela, "Sialan!" umpat Noah, "Kaisar, biar Aku mengamankanmu terlebih dahulu," ujar Noah, sudah berpegang pada pedangnya. Namun Ghent yang keras kepala itu malah menggeleng, "Kau pergi lebih dahulu, jangan pikirkan soal Aku. Kau lebih penting ..."
"Kaisar tolong jangan kepala!" bentak Noah akhirnya, membuat Ghent membulatkan mata atas kelancangan bawahannya itu, "Aku yang memerintah disini, Noah Clodio! Aku memerintahkanmu untuk ..."
SSSEP!
"Kaisar Ghent!" pekik Noah, tangannya bergerak cepat menahan Ghent yang tumbang di lantai dengan punggnung bersimpah darah.
Sebuah anak panah menusuknya, entah dari mana.
"Pergi ..."
"Pergi sekarang, Noah. Pergi!"
Noah serba salah, digenggamnya erat tangan Ghent. Wajah tegarnya berubah drastis nyaris menangis melihat Ghent sekarat didepannya, "Kaisar ..."
"Haaaku ... jangan pikirkan Aku. Segera, pergilah ... ini perintah terakhirku ..." Sulit sekali Ghent berbicara, membuat Noah tak kuasa menahan kesedihannya kali ini.
"Noah! Kau harus pergi, Aku akan mengantarmu!"
Greta kembali, meskipun gadis itu juga menangis lebih dulu mengetahui Ghent diambang kematian, "Kaisar ..." ujarnya bersimpuh.
Tangan Ghent menggenggam tangan Greta susah payah, membuat gadis itu semakin menangis, "Kau antar Noah, tinggalkan Aku disini ...'
"Aku ... mohon ... ahhh!"
"Waaaaaaaa!"
PRANG!
KLANG!
SRAK!
BUGH!
Kekacauan semakin terdengar diluar, membuat Noah akhirnya harus kembali tegar, "Apa Perlington Hold adalah satu satunya yang mereka serang?" tanyanya seraya mengenakan jubah gelap, mau tak mau bersiap pergi menuju portal di Grass Falcon Forest.
"Sepertinya begitu. Masih ada harapan Departemen Pertahanan akan menyerang balik. Mereka mengira Tears Elixir masih disimpan disini, padahal itu sudah dipindah ke Coast College, dan juga padamu. Tempat Kaisar pun telah dilindungi sebaik mungkin," jawab Greta yang masih terus menggenggam tangan Ghent.
Pria lewat paruh baya itu terbatuk-batuk, "Apalagi yang kalian ... tunggu kalau begitu? Pergi Noah, pergi! Kau adalah satu satunya harapan Kestrea dan Lyminael!" serunya sekali lagi.
Noah menatapnya tajam, "Baik, Aku akan pergi. Aku hanya berharap ..." ujarnya tertahan, sulit pria itu berbicara, "Kau tidak akan benar-benar meninggalkanku, membuangku begitu saja dalam misi ini ketika Aku kembali ke negeri ini, Kaisar Ghent," tandasnya.
Ghent tidak menanggapi, nafasnya saja sudah sulit, "Greta ..."
Gadis itu mengangguk paham, "Ayo," ujarnya. Dengan berat hati, dilepasnya tangan dingin Ghent, tidak menaruh banyak harap kalau Kaisar itu akan bertahan.
"Kami pamit."
"Kau harus tetap hidup, atau Aku akan membencimu," pukas Noah seraya berlalu diikuti Greta.
****
Noah dan Greta turun dari kuda mereka begitu sampai di pertengahan Grass Falcon Forest nan gelap. Tidak ada yang bisa menerangi jalan mereka kecuali cahaya rembulan dan ingatan akan jalur jalur setapak hutan itu.
"Kau yakin disini portal itu berada?" tanya Greta.
Noah mengangguk. Pria itu maju selangkah dari Greta, lalu memejamkan mata. Perlahan tangannya bergerak dari bawah, menengadahkan telapak tangan ke celah antara dua pohon oak besar di depannya, menyalurkan energi dan kekuatannya penuh.
Hingga akhirnya, cahaya biru terang itu muncul inchi demi inchi, perlahan jari jari dan diameternya membesar, pun cahayanya, kian terang seiring Noah memejamkan matanya.
"Noah!" Greta menahan pria itu, Noah terdorong ke belakang.
Noah menghela nafasnya lega kemudian, "Aku benar. Portalnya disini ..." gumamnya. Sekian detik pria itu memastikan, lalu Ia berbalik pada Greta yang menatapnya sendu.
Gadis itu, tak pernah rela Noah pergi.
"Aku akan pergi sekarang, tolong jaga dirimu baik-baik," ujar Noah.
Greta mengangguk perlahan, "Aku akan baik-baik saja. Tolong kembalilah secepatnya, sebaik-baiknya. Jangan sampai terluka lagi," ujarnya bergetar.
Noah meneguk salivanya dalam-dalam, tersenyum tipis seadanya, "Aku akan berusaha."
"Tentu Kau akan selalu berusaha."
Noah kembali tersenyum tipis, "Ya. Percaya padaku, dan tolong tunggu Aku. Apa Kau bisa berjanji?" tanyanya.
"Tentu. Aku akan menunggumu, maka lakukan tugasmu dengan baik."
"Ya. Aku pamit ..."
Greta hanya mengangguk pelan begitu Noah berbalik, sisa menampakkan punggung kekarnya yang perlahan menjauh, mendekati portal konvergensi itu. Tanpa sadar Greta menitikkan air matanya, "Noah ..." lirihnya.
BRUK ...
Gadis itu terjatuh, berlutut di tanah sembari menangis tersedu, membuat Noah kembali datang padanya, "Aku mohon jangan menangis, Greta. Kuatkan dirimu, Aku pasti kembali," ujarnya, memeluk Greta erat.
Greta masih menangis, "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Kau pergi, maaf ... Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu ..."
"Bisa jadi ..."
"Ini yang terakhir ..."
Noah memejamkan matanya, menelan susah payah kenyataan pahit yang benar dikatakan Greta, "Ya ... ya, apapun yang terjadi ... Kita hadapi saja ..." ujarnya, menangkup wajah Greta dengan kedua tangannya.
"Aku mencintaimu, Greta ..." ujar Noah, mencium lembut bibir kekasihnya itu penuh kasih sayang. Greta membalasnya. Air mata turun dari mata mereka, atas ketidakpastian takdir yang mau tak mau harus mereka hadapi.
Entah apa yang akan terjadi, tapi Noah ...
Pria itu tetap harus pergi.