"Anisa." Aku bersegera memberi senyuman terbaikku, memamerkan barisan gigi depanku. Anisa balas tersenyum. Senyuman yang begitu manis dan menenangkan. Taman sekolah ini memang tak begitu indah, tetapi cukup teduh untuk menikmati sore. Ada bunga-bunga yang sengaja ditanam sebagai hiasan. Ada pohon-pohon kecil yang berfungsi sebagai peneduh bagi orang-orang yang duduk di sekitar. Angin berembus pelan, menerpa wajah Anisa. Rambutnya tergerai, sesekali terlihat bergerak pelan. Seolah melambaikan keindahan.
"Sudah lama nunggu Yogi?" "Belum. Aku juga baru setengah jam lalu sampai."
"Lho, kamu cepat sekali datang? Janji kita kan pukul 5.15 kan, ya?"
Aku mengangguk, memang aku yang terlalu cepat datang ke tempat ini karena sangat bersemangat untuk bertemu dengannya. Entahlah, aku pun tak mengerti alasan yang membuat aku sesemangat ini menemui Anisa. Tapi menurutku, lebih baik datang lebih awal daripada terlambat.
"Kamu nggak pulang ke rumah orangtuamu?" Dia menatapku, "Kamu ngekos, kan?"
"Iya. Aku ngekos. Kok tahu?"
"Aku hanya menebak." Dia tersenyum. "Weekend ini nggak pulang?"
"Aku jarang pulang ke rumah. Paling satu kali sebulan. Kadang sekali tiga bulan. Kadang per semester. Kapan sempat aja."
"Oh..., jauh ya rumahmu?" Mata Anisa menatap tepat mataku.
"Nggak juga. Hanya beberapa jam perjalanan kalau naik motor." Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa aku jadi deg-degan begini? Mata indah itu membuatku kehilangan sebagian bahan pembicaraan yang sudah kusiapkan. Aku mulai menyadari jikalau aku telah salah tingkah di hadapan Anisa. Aku berusaha mengendalikan diri agar tak terasa canggung.
Anisa tidak melanjutkan pertanyaannya. Sepertinya dia mengerti apa yang sedang kurasakan. Dia lalu menatap kupu-kupu yang beterbangan di taman. Pada saat yang sama, rasanya kupu-kupu itu juga masuk ke perutku. Anisa seperti bunga yang mekar, wangi, dan membius alam sadarku. Pelan-pelan, kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya di dalam perutku, dan kepakan itu semakin kencang saat mata Anisa kembali menatapku.
"Kamu kenapa? Yogi?" Dia melambaikan tangannya di depan wajahku.
Aduh, Ya Tuhan, kenapa aku jadi semakin salah tingkah begini? Apa yang terjadi padaku. Mengapa sekarang aku seperti orang yang kehilangan konsentrasi?
"Nenekmu sehat?"
"Sehat."
Aku benar-benar hilang kendali. Udara seolah kembali membeku. Mata gadis itu seakan menyiratkan pertanyaan. Namun, aku hanya bisa tersenyum beberapa saat. Ada yang tak bisa kuelakkan dari dadaku. Perasaan yang terus mengusikku sepanjang waktu.
"Kamu kenapa? Grogi, ya?" Anisa menatap mataku lebih dalam. Lebih dekat.
"Hehe... iya. Sedikit. Matamu membuatku grogi." Aku tersenyum, Anisa tersipu. Perlahan, suasana pun kembali kukuasai.
"Kamu terlihat lebih cantik kalau sedang tersenyum." Ucapku.
"Bukankah setiap lelaki akan mengatakan hal yang sama untuk merayu perempuan?" balasnya.
"Mungkin saja. Tapi menurutku tidak semua ucapan seperti itu adalah bentuk rayuan."
"Lalu?"
"Aku hanya berusaha jujur."
"Iya, semua lelaki yang sedang merayu perempuan akan selalu berkata dia sedang bicara jujur." Anisa tersenyum, menggoda.
Aku kehabisan bahan lagi. Lalu seorang penjual minuman dingin keliling lewat di jalan depan taman.
"Sebentar." Ucapku, lalu beranjak dari bangku taman untuk membeli dua gelas minuman. Setidaknya, penjual minuman dingin itu berhasil memberikan kesempatan padaku untuk tidak terlihat bodoh di hadapan Anisa.
Beberapa saat kemudian, aku kembali dengan dua gelas minuman dingin, untukku dan Anisa. Suasana di taman masih saja sepi meski ada beberapa siswa yang datang setelah Anisa datang. Mereka juga sama seperti kami, menikmati suasana sore.
"Kalau aku boleh tahu, kamu kenapa ngotot ingin ketemu aku?"
Aduh. Pertanyaan macam apa ini? Ya, memang kuakui aku ngotot ingin bertemu dengan Anisa. Awalnya, dia menolak saat aku mengajaknya bertemu, tetapi aku memohon, karena aku merasa berutang budi atas bantuan dia waktu itu. Aku mengajaknya untuk ngopi sebagai tanda permintaan maafku. Modus lama yang dilakukan lelaki yang tertarik pada perempuan.
"Aku ingin mengenalmu lebih dekat."
"Untuk apa?"
"Entahlah. Aku hanya ingin itu saat ini."
"Lalu, setelah kamu mengenalku lebih dekat, kamu mau ngapain?"
Dia seolah menyerangku dengan pertanyaan yang membuatku kehabisan cara untuk menjawabnya. "Mungkin kita bisa berteman."
"Berteman. Iya, kita bisa berteman." Dia mengulang dengan penekanan suara pada kata "berteman".
"Ck!" Aku mencoba memberi senyum. Memamerkan gigiku seperti anak kecil yang sedang berharap dibelikan mainan. Sungguh, itu adalah cara pengalihan dari serangan grogi yang datang tiba-tiba.
Aku menjadi salah tingkah. Sikap Anisa terlihat berbeda dari yang pertama kulihat. Dia seolah sedang membentengi dirinya dengan pertanyaan yang membuatku kalah.
Jujur, kuakui sejak kali pertama bertemu dengan gadis ini, ada perasaan lain yang timbul di dadaku. Awalnya, aku pikir karena aku sedang patah hati setelah ditinggal oleh Neti. Namun, semakin aku menenangkan diri, perasaan itu malah tidak hilang sama sekali.
"Kamu kok nggak pernah kelihatan sama sekali di sekolah ini?" Aku mencoba mencari suasana baru untuk obrolan kami. Agar Anisa bisa bertahan lebih lama bersamaku.
"Memangnya kamu tahu semua siswa-siswi di sini?"
"Ya enggak juga sih. Sekolah ini kan luas dan para siswanya pun ribuan." "Jadi, kalau kamu nggak pernah lihat aku di sini. Wajarkan? Toh, aku juga bukan siapa-siapa." Angin masih berembus pelan, satu satu daun yang kering jatuh dari rantingnya. Menghadirkan pemandangan yang lain bagi taman. Seorang petugas kebersihan mulai membersihkan beberapa bagian taman. Setiap sore, selalu ada satu orang petugas sekolah yang menyapu taman. Agar terlihat bersih esok paginya. Esok Senin, dan orang-orang akan ramai lagi di sekolah ini. Aku menatap Anisa, diapun juga kembali menatapku. Memberi senyum, menanti sesuatu yang tak juga terucap dari bibirku.
Tiba-tiba.
"Apa kamu percaya dengan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?" Entah dari mana asalnya, kalimat itu mengalir begitu saja dari bibirku.
"Enggak." Anisa menjawab cepat, dengan senyum di wajahnya. "Aku nggak percaya yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, aku percaya, kalau ada orang yang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Kamu belum pernah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama?"
Anisa tertawa. "Aku bahkan belum pernah jatuh cinta." Hah? Yang benar saja. Mana mungkin dia belum pernah jatuh cinta. Aku mencoba menebak maksud ucapannya. Apa benar, dia belum pernah jatuh cinta?
"Aku pernah pacaran, dua kali, dengan lelaki yang berbeda. Tapi, aku nggak yakin itu karena cinta."
"Lalu, bagaimana bisa kamu pacaran kalau nggak yakin itu berasal dari cinta?" tanyaku.
"Entahlah. Aku hanya merasa nggak tega aja menolak mereka. Karena aku tahu, penolakan itu akan menyakiti. Meski akhirnya aku pun harus menyakiti mereka." Anisa menarik napas, melepaskan emosi yang tertahan di dadanya.