Aku langsung berlari meninggalkan Yogo dan Paijo begitu kami sampai di parkiran sekolah.
Entahlah, aku terlalu malu atau sakit hati. Aku hanya ingin menghilang dan tidak menampakkan wajahku di hadapan mereka.
Ini sangat berat bagiku.
Yogo sudah meminta seseorang untuk membawa motorku ke bengkel karena kunci motorku yang hilang.
Aku memang bodoh karena meletakkan kunci duplikat di gantungan yang sama dengan kunci yang kugunakan. Ya, aku bodoh, sangat bodoh!
Aku terus berlari menuju kelasku.
Sesampainya di kelas, Nisa malah langsung menarikku ke UKS, untuk mengobati pipiku yang masih sangat merah.
Entah salep apa yang ia oleskan pada pipiku ini.
"Kok bisa gini sih, Mel? Lo berantem sama siapa?" Nisa bertanya sambil memasukkan kembali salep yang ia gunakan untuk mengobatiku ke kotak P3K.
"Aku nggak berantem, enak aja!" sahutku pelan.
Sungguh, pipiku terasa sangat perih dan juga panas.
"Terus, lo tadi kenapa bisa bareng Yogo? Biasanya kan bareng Bambang! Oh, No! Lo bukannya lagi berantem sama Bambang, terus lo digampar, terus Yogo sama Paijo nyelametin lo gitu, 'kan?"
Aku melongo mendengar pertanyaan Nisa.
Apa dia sudah gila?
"Bambang bukan orang yang bisa ngegampar perempuan! Jangan mengada-ngada deh, nanti kalau kedengeran orang lain, bisa jadi gosip yang berujung fitnah! Kamu tahu kalau fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, 'kan!" Aku menatap tajam mata Nisa.
"Iya, tahu! Gue, 'kan cuman menerka-nerka aja apa yang terjadi sama lo! Ngejiplak tangan orang tahu, di pipi lo! Satu-satunya kemungkinan yang sangat memungkinkan ya elo berantem, atau engga, lo dianiaya orang!"
"Udah, nggak usah di pikirin! Aku nggak apa-apa. Anggep aja aku berantem!" seruku pelan.
Nisa menghela napas panjang. Ia lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Lo di sini aja! Jangan masuk ke kelas! Bolos aja! Biar gue yang urus izinnya! Kalau guru sampai lihat ni pipi lo, gue jamin, lo bakal langsung di intrograsi!"
Benar juga. Akan sangat panjang ceritanya. Dan bisa-bisa, pihak sekolah akan memanggil Ibu. Tidak, ini tidak boleh terjadi.
"Ya udah, tolong urusin izinnya, ya! Makasih Nis," ucapku, lalu memeluk Nisa.
"Sama-sama!"
***
Ternyata, tiduran di UKS enak juga ya. Dulu, aku benar-benar tidak bisa ke UKS meskipun aku sakit, karena anak-anak kaya itu sudah memenuhi ruang UKS untuk bergosip. Sekarang, aku bisa tiduran dengan puas di sini.
Aku membuka handphone-ku, dan memainkan sebuah game untuk sedikit bersantai. Aku tidak mau terlalu memikirkan masalah ini. Kata ibu, aku harus menyingkirkan ingatan apa pun yang membuatku tidak bahagia.
Sreet!
Aku terlonjak kaget saat seseorang menarik gorden bilik kamarku.
"Bambang?" pekikku kaget.
Wajah Bambang terlihat suram. Ia langsung menghampiriku, dan duduk di pinggir kasur yang kutempati.
Aku sendiri langsung menegakkan badanku dan menyiapkan mental, jika saja Bambang akan mengomel seperti biasa.
"Pipi lo udah di kompres?" tanya Bambang pelan.
Aku menggeleng.
"Tapi udah di kasih salep sama temen!" seruku cepat sebelum Bambang marah.
"Salep apaan?"
"Nggak tahu, tapi abis itu, langsung adem kok pipiku!"
Bambang menghela napas panjang.
"Kalau aja lo lagi nggak sakit, udah gue amuk lo!" gerutu Bambang.
Aku hanya tersenyum lebar, berharap dia akan sedikit luluh melihat senyumanku. Ya, aku cukup percaya diri dengan senyumanku. Ibu bilang, jika tersenyum, aku terlihat sangat cantik.
"Gue nggak mau tahu, ya! Besok gue jemput! Kalau perlu, subuh-subuh gue datengin rumah lo, biar lo nggak kabur dan berangkat sendiri. Kenapa sih lo itu susah banget dibilangin? Nurut kenapa sih?!"
Dilihat dari tatapan matanya yang begitu lembut, aku tahu Bambang sangat khawatir. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin terus merepotkan.
Tiba-tiba saja terdengar langkah kaki yang begitu keras. Seseorang memasuki UKS dengan tergesa tampaknya.
"Mel, lo nggak kenapa-napa, 'kan?" seru seseorang setengah berteriak.
Gepeng?
"Aku baik-baik aja!" sahutku pelan.
"Mbang, kok lo biarin Melody berangkat sendiri, sih? Gue denger yang nyakitin Melody itu Blackstone!" omel Gepeng pada Bambang yang hanya terdiam sambil menghela napas panjang.
"Kenapa lo nyalahin gue?! Tuh, Melody sendiri yang nggak nurut sama ucapan gue! Marahin dia aja sono!" balas Bambang dengan ketus.
"Kenapa sih, Mel? Bahaya tahu! Gini aja, besok gue jemput!"
Bukan hanya aku, Bambang juga ikut terkejut mendengar ucapan Gepeng.
Kenapa mereka yang ribut mau antar jemput, sih?
"Wait! Apaan nih, Peng? Lo nggak ada maksud terselubung, 'kan? Lama-lama mencurigakan, lo! Baik banget sama Melody, kenapa lo?" sergah Bambang.
"Emang ada gitu aturan gue nggak boleh baik sama Melody? Kalau lo nggak bisa jaga dia, biar gue yang lakuin!"
"Heh, lo berdua kalo ribut, di luar aja sono! Lo ngeributin Melody juga buat apa sih? Mending bantuin gue ngobatin tangan sama bibir gue noh yang lecet kena bogem!" celetuk seseorang yang berada di belakang Gepeng.
Aku tahu benar siapa pemilik suara ini. Sial sekali, kenapa dia harus berada di sini, di saat aku sedang menghindarinya?
"Kotak P3K di dalam almari yang ada di atas, noh!" sahut Bambang sambil menunjuk tempat kotak P3K itu berada.
"Wow, cukup mengesankan! Setia kawan banget ya lo pada!" ketus Paijo sambil berjalan ke arah laci.
"Woi, bubar nggak lo pada!"
Semua yang ada di dalam UKS langsung berdiri begitu mendengar suara Yogo memenuhi ruangan.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, semua orang langsung keluar dari UKS, kecuali Paijo dan aku.
Aku sedang sakit, jadi tidak perlu keluar, 'kan? Memangnya, siapa dia berani memerintahku.
Yogo menghampiriku, lalu menutup gorden di bilik kamarku.
"Aku baik-baik aja!" seruku sebelum ia bertanya.
Ayolah, mereka semua ke sini untuk menanyakan keadaanku, 'kan? Kalau tidak, apalagi memangnya?
"Lega gue dengernya." sahut Yogo datar.
"Makasih buat bantuannya. Aku berhutang budi sama kamu. Kalau ada yang bisa aku bantu, kamu ngomong aja, aku pasti akan balas kebaikan kamu."
Yogo tersenyum tipis.
"Jadi, lo itu bukan tipe orang yang mau berhutang budi sama orang lain, ya?!"
Bingo! Tebakan yang tepat!
"Gue punya satu permintaan. Gue harap sih lo nggak keberatan!"
"Tentu! Kamu udah nolong aku, jadi semampuku aku akan kabulin permintaan kamu!"
"Tiap malem, kita ada kumpulan, Naya kerepotan banget masak cemilan dan minuman buat kita. Kalau lo bisa, gue minta tolong lo buat bantuin Naya. Lo bisa masak, 'kan?!"
Masak? Bukan sesuatu yang sulit. Hanya saja, apa itu berarti aku harus bertemu dengan anak-anak Roullete lagi?
Tapi ... bagaimanapun, Yogo sudah menyelamatkanku.
"Oke, bukan masalah. Malem ini aja atau gimana?"
"Kalau bisa sih, setiap kali kamu ada waktu, kamu dateng bantuin Naya."
Aku mengangguk mengerti. Tapi, tiba-tiba rasa penasaranku langsung memuncak.
"Kamu suka ya, sama Naya?"
Di todong dengan pertanyaan seperti itu, Yogo langsung jadi salah tingkah.
"Oke, nggak usah dijawab! Udah jelas banget apa jawabannya!"