"Woi!"
Alira tersentak saat mendengar namanya dipanggil dengan suara yang sangat keras. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Gea.
"Apaan sih? Berisik banget," kesal Alira sambil mengusap-usap kedua telinganya.
"Bodoamat wleee," Gea menjulurkan lidahnya tanpa dosa.
"Udah gila. Sejak pacaran lo udah nggak waras lagi," ujar Alira menggeleng tak percaya.
"Enak aja kalo ngomong," elak Gea tak terima. "Gue masih waras kayak gini kok di bilang gila."
"Lah. Siapa suruh lo senyum-senyum kayak nini lampir gini. Ha?" heran Alira.
"Ih, Al. Gue itu lagi happy tau," kata Gea.
"Kalo mau berbagi kebahagiaan, nggak harus ngeluarin suara TOA lo di depan gue. Bisa meledak telinga gue," sungut Alira.
Gea menyengir sambil mengangkat dua jari tangannya. "Maap-maap."
"Mau ngomongin apaan?" tanya Alira pada Gea.
"Pertanyaan bagus," Gea merubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Alira.
"Soal field study yang bakal dilaksanakan bulan depan …" Gea menggantungkan ucapannya. Membuat Alira mau tak mau menunggu.
"Kelas kita satu bisa sama kelasnya Oscar!!!" seru Gea heboh dengan kedua mata berbinar.
"Sumpah ya, doa gue selama ini diijabah juga. Bisa satu bisa sama doi, bisa duduk sebelahan juga. Entar kalo gue ngantuk bisa nyender ke pundaknya Oscar. Uh! Sweet banget, kan, Al?"
Alira melongo di tempat. Sebelum ia kembali tersadar dan menggelengkan kepalanya.
"Bucin banget," kata Alira menanggapi cerita Gea.
"Kok malah ngatain gue sih?"
"Lah emang iya. Yang lo bayangin itu berasa kayak cerita-cerita fiksi tau."
"Ya terus?"
"Cerita fiksi yang ada di novel itu jauh sama realita, Ge"
Setidaknya itulah yang Alira rasakan. Tidak sepenuhnya. Hanya sebagian saja. Kadang Alira merasa apa yang ia tulis, berbanding terbalik dengan kehidupannya.
"Maka dari itu, gue mau mewujudkan adegan-adegan yang ada di novel itu jadi kenyataan," ujar Gea memberi penekanan di setiap katanya.
"Biar bisa jadi inpirasi buat lo juga," imbuhnya membuat Alira menoleh.
"Maksud lo?"
"Ya, kan, elo kalo mau nulis novel harus ada inspirasinya gitu. Entar dari lihat kemesraan gue sama Oscar, bisa deh itu otak dapat ide cerita bagus," kekeh Gea menunjuk ke arah kepala Alira.
"Ngaco banget," sahut Alira. "Ada juga gue yang jadi obat nyamuk di antara kalian berdua."
"Biar nggak jadi obat nyamuk, lo duduk sama Alingga. Gimana? Bagus, kan, ide gue?" Gea menaikturunkan kedua alisnya.
"Iya. Saking bagusnya sampe ngebuat gue pengin nyekik leher lo!" kedua tangan Alira terulur ke depan untuk mencapai leher Gea, namun temannya tersebut sudah lebih dulu menghindar.
Kesal sekesal kesalnya. Hari ini Alira sedang badmood. Si Gea malah menyebut nama Alingga tepat di hadapannya. Gila saja jika Alira mau berbagi tempat duduk dengan Alingga.
"Lo jadi ikut field study, kan, Al? Harus jadi sih. Pokoknya gue maksa," cetus Gea tidak mau dibantah.
Mendengarnya membuat Alira menghela napas panjang. Niatnya, Alira ingin meminta uang pada mamanya untuk membayar field study. Tapi kalau mengingat percakapan antara Alira dan mamanya kemarin, membuat Alira enggan untuk melangsungkan niatnya tadi.
"Udah gue bayarin juga. Harus ikut dong elo," ucapan Gea membuat Alira mendelik sempurna.
"Gue udah siap lahir batin buat dengerin omelan dari lo. Tapi, ini bukan uang haram kok, Al. Abang gue yang ngasih uang ke gue, terus gue bilang kalo pengin ngajak temen gue jalan-jalan. Diiyain kok sama Abang gue. Suer!" Gea mengacungkan kedua tangannya memperlihatkan kode "peace".
Alira terdiam sesaat. Bingung harus merespon seperti apa. Gea sudah sering memberikan banyak barang-barang yang dia miliki pada Alira. Gea selalu bilang kalau barang tersebut sudah pernah ia pakai, tapi Alira yakin seratus persen bahwa barang itu masih baru. Entah baju, make up, atau keperluan perempuan pada umumnya.
Kali ini, Gea bahkan membayarkan field study untuk Alira. Tidak tidak. Alira tidak bisa menganggap ini sebagai pemberian dari Gea. Ia harus mengembalikan uang Gea secepatnya.
"Gausah mikir buat ngembaliin uangnya. Kalo lo masih mau jadi temen gue," kata Gea sebelum Alira mengeluarkan suara.
"Muka lo serem banget kalo lagi serius," ujar Alira yang justru membuat Gea terkekeh.
"Kalo nggak serius, entar elonya ngeyel terus," balas Gea.
"Tapi, Ge. Uang yang lo keluarin itu terlalu banyak. Gue nggak berhak buat dapatin uang itu dari lo," ucap Alira pelan.
Alira tau jika Gea berasal dari keluarga kaya raya. Sangat jauh berbeda dengan keluarganya Alira. Tapi, tetap saja Alira tidak berhak atas uang milik Gea. Alira berteman dengan Gea bukan karena melihat hartanya.
"Lo ada masalah apa sih? Dari tadi diem mulu kayak perawan mau dikawinin," tanya Gea merasa heran dengan sikap Alira hari ini.
"Nggak ada apa-apa," jawab Alira lesu. "Namanya hidup juga engga bakalan happy terus."
Lagi-lagi Alira teringat permintaan mamanya. Semalam ia sudah yakin akan mengatakan pada mamanya kalau menolak menjadi guru. Apapun alasannya, Alira tidak mau memulai pekerjaan yang tidak ia suka.
Tapi, Alira tiba-tiba ragu. Melihat mamanya kembali pulang ke kampung dan mengatakan kalau beliau akan tinggal lebih lama di sana. Mama bilang kalau di kampung bisa memperoleh pekerjaan yang pendapatannya lebih besar dari pada di kota.
Ya. Tidak selamanya berada di kota besar bisa menjamin kehipudan kita terurus tanpa adanya kendala ekonomi. Lowongan pekerjaan memang banyak. Tapi peminatnya jauh lebih banyak daripada jumlah lapangan kerja.
Dan lagi, usia mama sudah tidak muda lagi. Alira sering melarang mamanya bekerja terlalu keras, karena tidak mau beliau kelelahan. Alira pikir uang yang ia peroleh dari novel sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan mama.
Tapi Alira lupa akan satu hal. Kebutuhan itu akan semakin banyak seiring berjalannya waktu. Alira tidak bisa berhenti berusaha sampai di sini saja. Ia harus bekerja lebih keras lagi.
"Sodara lo ada yang jadi guru, Ge?" tanya Alira.
"Ada. Temennya Abang gue malah banyak yang jadi guru," jawab Gea sambil menguyah cimol yang ia beli di depan gerbang sekolah.
"Seru juga kok jadi guru. Ya walaupun enggak seru terus sih. Ada pusingnya juga kalo pas banyak tugas," kekeh Gea.
Alira ikut tersenyum mendengarnya. Kalau belum dijalankan, memang tidak akan tau rasanya seperti apa. Seperti yang semalam Alira katakan. Alira tidak membenci profesi sebagai guru. Hanya saja, menjadi guru bukanlah cinta-cita Alira.
Jadi, Alira harus bagaimana?
Mau menuruti keinginan mama, tapi Alira jelas tidak menginginkan pekerjaan itu. Kalau Alira menolaknya, alasan apa yang harus Alira berikan pada mamanya? Alira tidak mungkin hanya mengatakn kalau Alira tidak ingin menjadi guru.
"Sumpah. Bisa gila kalo terus-terus mikir kayak gini."
***
22102021 (10.59 WIB)