Sampai di ruang UKS, Alira membantu Alingga untuk duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan tersebut. Alira sempat mencari keberadaan petugas UKS namun tidak menemukannya. Beruntung Alira cepat dalam menemukan kotak obat yang ada di ruangan tersebut.
"Gue bersihin dulu lukanya, ya?" kata Alira pada Alingga yang diangguki oleh cowok tersebut.
Alira mulai membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di kulit dan juga baju Alingga. Sembari mengobati luka Alingga, Alira membayangkan betapa sakitnya tadi saat Alingga terhantam pot yang jatuh dari lantai dua.
"Sorry ya. Gara-gara gue lo jadi luka kayak gini," ujar Alira tanpa menatap wajah Alingga.
Karena Alira belum selesai mengobati Alingga, baik Alira maupun Alingga tidak saling bertatapan satu sama lain.
"Bukan salah lo. Nggak perlu minta maaf juga," sahut Alingga santai.
"Tapi lo luka kayak gini karena nyelametin gue," Alira kembali berucap.
"Masih pegel?" tanya Alira yang beralih menatap Alingga.
Alingga tampak mengangguk kesusahan. Pot tadi benar-benar jatuh tepat di atas leher Alingga. Membuatnya cukup kesulitan untuk menggeraknya lehernya.
"Perlu gue panggilin dokter ke sini?" Alira kembali bertanya. Merasa khawatir dengan kondisi Alingga saat ini.
"Gue masih waras gini, mau lo panggilin dokter?" Alingga balik bertanya.
"Yang waras, kan, otak lo, Al. Tapi leher lo enggak. Emang lo mau kesakitan kayak gini?"
"Cuma luka kecil, Al. Nggak bakal ngebuat gue sekarat," sahut Alingga.
"Kecil kecil tapi tetep juga namanya luka. Entar kalo lo kena kelainan terus nggak bisa gerakin leher lo gimana? Kan serem, Al" ucap Alira terdengar sangat tidak masuk akal.
Alingga yang mendengarnya saja tampak tak percaya. "Ngawur banget kalo ngomong."
"Lo ngedoain gue cacat apa gimana?"
"Ih, enggak gitu. Gue nggak sejahat itu kali buat nyelakain orang yang udah nyelametin gue," kata Alira mengalihkan pandangannya dari wajah Alingga.
"Sikap lo baik ke gue kalo pas kayak gini doang. Kemarin-kemarin kenapa enggak kayak gini sih?" heran Alingga.
"Kan gue cuma ngerespon apa yang lo lakuin ke gue. Salah sendiri elonya nyebelin," jawab Alira jujur.
"Jadi, kalo gue baik ke elo, lo juga bakal baik ke gue?" tanya Alingga lagi.
Alira mengangguk. "Sebenarnya juga gue tiap-tiap hari udah baik sama lo. Tapi elonya aja yang hobi ganggu gue dan nggak ngehargai gue sama sekali."
"Oh ya?"
"Iya lah," balas Alira cepat.
"Enggak seru kalo belum ngejahilin lo tau, Al. Kayak ada yang kurang aja gitu buat gue," kata Alingga membuatnya mendapat jitakan dari Alira.
"Kok lo main kasar sih?" Alingga tampak kesal dengan tindakan Alira padanya.
"Lo dulu yang mulai," kata Alira.
"Kapan gue main kasar sama lo? Gimana bentuknya?"
"Mulut lo itu yang ngebuat gue harus main kasar sama lo."
Alingga terdiam. Menatap wajah gadis yang kini sedang duduk di sebelahnya. Hanya dalam sepersekian detik saja, sikap Alira sudah berubah seratus delapan puluh derajat.
"Al," panggil Alingga.
"Apa?" jawab Alira cuek.
"Emangnya …" Alingga sengaja menjeda ucapannya. "Kapan mulut gue main kasar ke elo? Nyentuh bibir lo pake tangan gue aja gue belum pernah, apalagi pake mulut gue."
"Atau lo lagi ngode sama gue biar gue ngelakuin hal kayak gitu sama lo?"
Pletak!
Alira langsung memberikan jitakan pada dahi Alingga. Membuat Alingga kembali meringis karenanya.
"Ngeres banget mikirnya," ujar Alira merasa terhina dengan ucapan Alingga tadi.
"Kok ngeres sih? Normal dong kalo gue mikir gitu. Kan elo duluan yang bilang kalo mulut gue--"
"Kasar omongannya, Alingga" potong Alira cepat. "Sumpah ya, ngomong sama lo bener-bener nguras emosi."
Lelah sendiri Alira menghadapi makhluk semacam Alingga. Ada saja hal yang Alingga lakukan yang sengaja menyulut emosi Alira. Sepertinya yang ada di dalam otak Alingga hanya hal-hal konyol yang disiapkan untuk menganggu ketenangan Alira.
"Ya maap sih. Elo juga salah, ngomong kok setengah-setengah," Alingga tetap memberikan pembelaan diri.
"Makanya nanya dulu kalo emang belum paham. Bukannya ngasih pengertian ngeres kayak tadi," sahut Alira masih tampak judes.
"Gue kasih pengertian kok lo nggak suka sih. Harusnya seneng dong diperhatiin sama cogan kayak gue, Al" Alingga mulai membanggakan diri.
Tersenyum lebar di hadapan Alira. Dan sebentar lagi akan semakin menjadi-jadi memamerkan kehebatannya.
"Target lo salah. Gue bukan satu diantara ribuan fans alay lo," kata Alira tersenyum sinis.
"Iya emang. Lo bukan fans gue," kata Alingga. "Lo lebih cocok jadi pasangan hidup gue daripada cuma jadi penggemar gue aja."
Alingga memajukan wajahnya ke arah Alira sembari tersenyum. Jika saja Alingga mengatakan hal tadi kepada gadis selain Alira, tentu akan membuat gadis tersenyum tersipu malu. Merasa senang karena diberikan kata-kata manis oleh Alingga.
Namun bagi Alira, ucapan manis Alingga hanya tipuan saja. Tidak benar-benar tulus mengatakan hal tersebut pada lawan bicaranya. Dan Alira, tidak mau jatuh dalam tipuan yang sudah direncakan oleh Alingga.
"Pacar pacar pala lo peang!" Alira menjauhkan dirinya dari Alingga.
"Kalau pun cowok di dunia ini tinggal satu, dan itu adalah elo. Gue bakal milih hidup sendirian seumur hidup."
Alingga terkekeh mendengarnya. "Lo bisa ngomong gini, karena masih ada banyak cowok di sekitar lo."
"Coba aja kalo sekarang tinggal gue doang cowok yang ada di deket lo. Atau bahkan di dunia ini. Gue nggak yakin kalo lo bisa tetap megang apa yang barusan lo ucapkan."
"Lo ngeremehin gue?" tanya Alira.
"Bukannya ngeremehin. Justru omongan lo tadi kerasa kayak lo lagi ngeremehin sesuatu yang belum tentu terjadi sama lo. Gimana cerita lo bisa memutuskan sesuatu, padahal lo sendiri belum ngalamin," papar Alingga tampak serius.
Alira terdiam di tempat. Tidak tau harus menjawab ucapan Alingga dengan kata-kata seperti apa. Kadang Alira suka mengeluarkan kalimat yang belum sempurna ia cerna di otak.
Bisa jadi karena Alira terbawa emosi karena ucapan lawan bicaranya. Karena Alira terlalu cepat mengambil keputusan, tidak jarang Alira termakan oleh omongannya sendiri. Ya, seperti yang sedang Alira rasakan saat ini.
Debat dengan Alingga memang harus menyiapkan mental yang kuat. Apalagi Alingga sangat gigih untuk menindas Alira, dalam artin ingin membuat Alira kalah dengan argumennya. Tapi naasnya, apa yang diucapkan Alingga tadi hampir sepenuhnya benar.
"Alira."
Panggilan dari Alingga membuat Alira mendongakkan kepalanya. Loh, sejak kapan Alingga sudah beranjak berdiri? Bahkan sekarang Alingga sudah berada di dekat pintu UKS.
Apa Alira terlalu lama melamun? Astaga … benar-benar memalukan. Bisa-bisanya Alira terlihat bodoh di depan musuh bebuyutanya.
"Apa?" tanya Alira lesu.
Membuat Alingga tersenyum karenanya. Alira terlihat jauh lebih menggemaskan jika sedang malu-malu seperti ini.
"Thank's ya udah ngobatin gue," kata Alingga sambil tetap menampilkan senyum di wajahnya.
Kemudian berlalu pergi dari UKS, meninggalkan Alira yang masih tetap berdiam di tempatnya.
***
05102021 (19.47 WIB)
Hai! Gimana kabar kalian? Moga baik-baik aja ya! Terimakasih sudah mampir di Twinkle Love. Kritik dan saran dari kalian sangat diharapkan untuk kelanjutan cerita ini:) See u:)))