Adrian melemparkan pena yang di genggamnya, hingga cairan tinta tumpah tercecer di lantai. Dia meluapkan emosi yang sejak tadi dia redam, ketika Sintia masih berada di hadapannya.
"Kalian sudah membunuh anakku agar tidak menghalangi hubungan kalian! " Adrian menggeram.
Tiba-tiba Ferdian masuk ke dalam ruangan Adrian, tanpa mengetuk pintu. "Adrian kamu harus lihat ini!"
"Ada apa Pa? Aku sedang sibuk," balas Adrian.
"Mengapa dia memutus ... ow apa ini? Seperti tinta." Ferdian bertanya ketika melihat ceceran tinta di lantai.
"Apa yang ingin Papa katakan?" Adrian bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Feridan tentang ceceran tinta.
"Panggilah cleaning servis kemari untuk membersihkan ceceran tinta ini!"
"Nanti saja. Tadi Papa mau bilang apa?" tanya Adrian kembali. Dia ingin Ferdian segera beranjak pergi dari ruangannya.
"Riko tiba-tiba menggagalkan rencana kontrak kita secara sepihak, lihat ini!" Ferdian menyidorkan ponselnya ke hadapan Adrian.
Wajah Adrian menegang, nuka Riko menggagalkan kontrak, itu berarti mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kontrak bernilai fantastis.
"Apa kamu membuat kesalahan ketika ke sana tempo hari?" tanya Ferdian.
"Tidak ada. Dia bahkan sepakat untuk segera menandatangani kontrak kita. Apa mungkin dia mendapat kesepakatan yang lebih baik dari pihak lain?"
"Kita kehilangan proyek milyaran," ucap Ferdian dengan risau.
"Aku akan menemui Riko langsung untuk bertanya," cetus Ardian. Dia meraih kunci mobil lalu pergi meninggalkan Ferdian, yang masih berada di ruangannya.
Sepanjang perjalanan Adrian berpikir, ini pasti ada hubungannya dengan Kirana. Riko rupanya tidak main-main dengan Kirana.
Setelah tiba di perusahaan Riko, Adrian tidak bisa langsung menemui Riko karena sekretarisnya mengatakan Riko sedang ada tamu di dalam. Adrian pun terpaksa harus menunggu.
Setelah menunggu hampir setengah jam, pintu ruangan Riko terbuka. Saat melihat siapa yang keluar dari sana, Adrian mengerutkan kening.
"Zayn!"
Zayn melihat ke arah Adrian, tanpa berbasa-basi ia hendak pergi meninggalkan Adrian yang tengah menatapnya.
"Tunggu!" cegah Adrian.
Zayn membalikan tubuhnya membalas tatapan Adrian, "Ada apa?"
"Aku ingin bertanya."
"Tentang apa?"
"Sejak kapan kamu mengenal Kirana? Mungkinkah kamu ... yang mengahamili Kirana?" tanya Adrian. Rupanya dia memikirkan ucapan Sintia tadi, ketika datang ke kantornya.
"Kau tak perlu tahu. Kalau pun benar, bukankah kamu juga telah berselingkuh darinya."
"Jika itu benar, kalian tega sekali membunuh darah daging kalian sendiri. Bukankah menikahi Kirana lebih baik atau kamu hanya ingin bermain-main dengannya?" Adrian memicingkan kedua matanya.
"Itu anakmu. Aku bertemu dengan Kirana ketika mengikutinya ke pantai, saat kamu menolak mengakui anakmu sendiri di hadapan istrimu." Zayn menjawab dengan tegas.
Adrian kembali mengingat pertemuannya dengan Kirana saat itu.
"Kamu masih meragukannya ternyata. Kirana memang tidak pantas untuk laki-laki pengecut sepertimu." Selesai mengatakan itu, Zayn pergi meninggalkan Adrian.
Sebenarnya Adrian sendiri merasa malu mengatakan pertanyaan bodoh itu pada Zayn. Padahal dia sendiri yakin jika anak Kirana adalah anaknya.
"Pak Adrian, silahkan masuk! Pak Riko sudah menunggu!" Ucapan sekretaris Riko, mengejutkan lamunan Adrian.
"Sudah aku duga, kamu pasti akan datang menemuiku. Silakan duduk!" sambut Riko ketika melihat kedatangan Adrian.
"Tentu saja, kau tiba-tiba membatalkan kesepakatan kita. Apa ini karena Kirana?" selidik Adrian, tanpa basa-basi.
"Pak Adrian, sekarang kita sedang berbicara tentang bisnis. Mari kesampingkan dulu urusan pribadi kita! Ini tidak ada hubungannya dengan Kirana." Riko menjawab dengan tegas.
"Lalu mengapa Anda melakukan itu? Kita sudah sepakat walaupun belum menandatangani kontrak," tanya Adrian yang keheranan.
"Sebenarnya penawaran yang Anda berikan itu bagus, dan pasti akan sangat menguntungkan bagi kita. Namun, aku menemukan orang yang lebih tepat untuk menangani proyek yang akan aku bangun, dan tentunya untung yang aku dapat akan jauh lebih besar," jelas Riko, sambil memutar-mutar pena di tangannya.
"Boleh aku tahu siapa orang itu?" Adrian merasa penasaran dengan orang yang telah merebut proyek besarnya.
"Kau pasti sudah tidak asing mendengar namanya, itu dari perusahaan Worlieyz."
Adrian memang sering mendengar tentang nama Worlieyz, perusahaan yang bergerak di beberapa bidang konstruksi, jasa, industri bahkan pangan. Itu adalah perusahaan yang sangat besar. Adrian tahu perusahaan milik keluarganya tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan sekelas Worlieyz.
"Aku tahu nama perusahaan itu," jawab Adrian.
"Aku minta maaf untuk ini. Anda pasti paham kita hidup di dunia bisnis, tentu kita akan memilih sesuatu yang lebih menguntungkan bagi pebisnis seperti kita. Ada lagi yang ingin kau tanyakan, Pak Adrian?"
Mendapat pertanyaan itu, Adrian bisa paham bahwa Riko menginginkan dirinya untuk segera pergi dari ruangannya. "Tidak ada, baiklah aku permisi!" Adrian berdiri bersiap untuk pergi.
Saat Adrian akan keluar, dia berbalik untuk bertanya. "Pak Riko, Anda juga mengenal Zayn?"
"Iya. Apa kamu bertemu dengannya tadi? Dia datang kemari sebagai perwakilan dari perusahaan Worlieyz."
"Dia pemilik Worlieyz?" Adrian penasaran, jika benar Zayn pemilik Worlieyz sungguh luar biasa, pikirnya.
"Bukan. Dia hanya sebagai perwakilan dari perusahaan itu," jawab Riko. "Apa dia temanmu atau rekan bisnismu juga?" Riko lanjut bertanya.
"Tidak, bukan itu. Dia adalah rivalku dan mungkin akan menjadi sainganmu juga," jawab Adrian, dengan senyum mengejek.
"Maksudmu?"
"Aku tidak akan menjawab, karena ini masalah pribadi. Tadi kau bilang jangan membahas urusan pribadi." Adrian pergi meninggalkan Riko, yang masih tampak penasaran dengan jawaban Adrian yang terkesan mengambang.
Di rumah sakit Kirana tampak sumringah, karena hari ini dia sudah di izinkan untuk pulang. Dia sudah tidak mengenakan baju pasien lagi.
"Kamu tampak senang sekali," ucap Zayn, memperhatikan Kirana yang sedang memasukan barang-barang pribadinya ke dalam tas.
"Tentu saja, siapa yang akan betah tinggal berlama-lama di rumah sakit."
"Setelah dari sini, ayo kita makan di tempat waktu itu lagi. Aku sudah ketagihan makan di sana."
Kirana belum sempat menjawab ajakan Zayn, karena tiba-tiba ponsel Zayn berdering. "Aku akan mengangkat telepon ini dulu." Zayn lalu keluar meninggalkan Kirana
"Hallo, Ma?"
"Zayn, bagaimana apa kamu mendapat kontraknya?"
"Iya. Dia sepakat dan langsung membatalkan kesepakatannya dengan Adrian," jawab Zayn.
"Bagus, ini baru langkah awal kita. Bagaimana Kirana sekarang?" tanya Sarita.
"Dia sudah diizinkan untuk pulang hari ini," jawab Zayn. Setelah berbincang-bincang sebentar, Zayn pun menutup sambungan telepon dengan ibunya.
Zayn dan Kirana akhirnya meninggalkan rumah sakit. Mereka sepakat untuk makan dulu sebelum pulang, di tempat yang Zayn sebutkan tadi. Tanpa disadari oleh keduanya, Adrian sedang membuntuti mereka, sejak mereka keluar dari rumah sakit.
Zayn memarkirkan mobilnya di tepi jalan yang sedikit agak jauh, dari tempat makan. Tempat makan itu berada di pinggir jalan, dan tidak memiliki tempat parkir. Kirana turun dari mobil dengan dituntun oleh Zayn, karena Kirana masih tampak lemah untuk berjalan. Adrian menghentikan mobilnya agak jauh, untuk menjaga jarak agar tidak diketahui oleh Zayn dan Kirana.
Melihat Zayn memegangi Kirana dengan penuh perhatian, hati Adrian bergemuruh karena cemburu. Adrian berpikir, Zayn bukan hanya mengambil Kirana dan membantu Kirana menggugurkan anak mereka, tetapi juga merebut urusan bisnis yang sudah disepakti bersama Riko.
Sebelum menyebrang, Kirana dan Zayn tampak menertawakan sesuatu. Dalam pandangan Adrian, mereka seolah sedang menertawakan dirinya.
"Apa kalian begitu senang sudah membunuh anakku?" Adrian tersulut emosi melihat Kirana dan Zayn begitu bahagia.
Melihat kebahagiaan Kirana dan Zayn, Adrian menjadi gelap mata. Akal sehatnya tertutup oleh rasa cemburu dan kebencian, yang sudah mulai menggerogoti hatinya.
Dengan menginjak penuh pedal gas, Adrian melajukan mobilnya ke arah Zayn dan Kirana yang sedang menyebrang.
Kirana sekilas melihat ke arah mobil yang dikendarai oleh Adrian yang siap menghantam mereka. Dia hanya bisa ternganga tidak tahu harus berbuat apa, kejadiannya begitu cepat. Mobil itu sudah sangat dekat, sehingga ia tidak mampu untuk berpikir.
BRAKK!!!
Tubuh Kirana dan Zayn terpental. Kemudian mereka tergeletak di pinggir jalan dengan bersimbah darah.
"Adrian!" Kirana berkata dengan lirih, sebelum menutup matanya.
Hai para pembacan Dendam Rana, silakan beri rating dan komentarnya di ulasan ya! Biar author tahu respon para pembaca dan semakin semangat untuk update cerita terbaru. Salam, terima kasih.