Aku turun dari bus, menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok ayah dan ibu. Mereka berjanji akan menjemput di terminal pemberhentian ketika kuutarakan keinginanku untuk pulang.
Terlebih, mobil tua itu sudah berada di pemakamannya, berkumpul bersama barang rongsokan lain. Aku sengaja tidak menebusnya, biarlah. Anggap saja benda itu sudah usang dan lebih baik jika melupakannya. Karena ayah berjanji akan memberi mobil baru untukku. Janjinya terus terang membuatku semakin bersemangat untuk pulang.
Mobil baru, dan kehidupan yang baru. Anggap saja itu hal yang menyenangkan di tengah rasa patah hati yang baru kualami.
Aku mendesah mengingat apa yang baru saja menimpaku. Sebuah kebohongan di atas kebodohan. Jika Ryan benar-benar mencintaiku, mengapa ia harus berbohong? Apa yang ia inginkan dariku? Apakah hanya kesenangan sesaat?
Ataukah benar seperti yang wanita itu katakan, ia menginginkan pemuasan dari wanita yang usianya jauh lebih muda dari istrinya?
Ah, sungguh menyakitkan ketika rasa penasaran itu terus saja muncul. Membutuhkan jawaban atas segala pertanyaan, tetapi tak ada satu pun yang mampu menjawab selain Ryan sendiri. Jamun, untuk bertanya pun aku enggan. Aku tidak akan membuka celah lain untuk bertemu dengannya dan kembali disakiti.
Mulai sekarang, bahkan untuk pertemuan dengan dokter Armando, akan kulakukan sendiri. Aku jelas tidak membutuhkan bantuan Ryan, tak akan pernah mengharapkannya lagi.
Omong-omong tentang dokter Armando, apakah semua yang baru saja terjadi ada hubungannya dengan pria itu?
Kedatangan wanita itu tepat di hari setelah pertengkaran Ryan dengannya saat di ruangan. Aku tak mendengar banyak hal, hanya apa yang dikatakan oleh Ryan yang mungkin saat itu terbawa emosi hingga mengatakannya dengan lantang dan penuh penekanan.
Andaikan benar semua itu karena dokter Armando, berarti sejak awal Ryan sudah diperingatkan oleh pria itu, tetapi ia masih terus mendekatiku.
Sial! Tak menyangka diriku sebodoh itu. Sebelumnya tak pernah terjadi hal semacam ini dan sekarang hanya karena hati yang rapuh, sagat mudah dimasuki oleh sembarang cinta.
Jika Clara mengetahui ini, ia pasti akan sangat murka pada Ryan, atau bahkan juga padaku. Mungkin sebaiknya tidak mengatakan apa pun padanya. Tidak, sampai aku siap menerima kenyataan ini.
Sosok tinggi tegap sedikit dempal, mendekat padaku. Dengan lengan kokohnya merengkuh dan mendekapku hangat. Sungguh tak ada yang mengalahkan kenyamanan dalam dekapan ayah. Pria itu mengecup keningku sebelum memindai mulai kepala hingga kaki. Menyadari perubahan yang drastis pada diriku.
"Oh, Jenna-ku sayang, apa yang terjadi padamu? Apa yang terlewatkan oleh ayahmu ini hingga kau jadi seperti ini?" tanya pria itu, sendu. Beginilah ayahku, karenanya aku tak pernah mengatakan apa pun masalahku padanya. Juga ibu.
"Tak apa, Yah ... aku baik-baik saja. Ini hanya karena aku kurang makan," jawabku, asal, tak ingin menambah beban pikiran pria itu.
"Kalau begitu selama di rumah kau harus makan yang banyak. Ibu akan memasak semua makanan favoritmu. Salad ayam dan sayuran, steak ...." Aku hanya mendengarkan ucapan girang yang keluar dari bibirnya. Rasa haru menyelinap ke dalam kalbuku.
Mereka memang selalu jadi tempatku pulang. Selamanya akan begitu.
***
Ayah menghampiriku yang sedang membantu ibu di dapur. Membisikkan sesuatu pada ibu sebelum kemudian tersenyum padaku.
"Kenapa ayah tersenyum seperti itu?" tanyaku, heran melihat tingkah keduanya. Ibu yang sejak tadi sibuk dengan masakan, hanya mengulum senyum. Seolah ada sesuatu yang mereka rahasiakan untuk memberiku kejutan.
"Kami hanya sangat bahagia kau akhirnya meluangkan waktu untuk pulang mengunjungi orang tuamu ini."
Aku tersenyum kecut. Memang, selama ini aku selalu berusaha kabur dari mereka. Bagiku sikap yang mereka tunjukkan padaku terlalu berlebihan, dan membuatku enggan berlama-lama di dekat mereka.
"Seperti yang kalian katakan, ayah, ibu, dan rumah ini akan selalu menjadi tempatku pulang, bukan?! Karenanya aku pulang." Aku kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat kutinggalkan demi merespon perkataan ayah. Ia kemudian mengusap lembut rambutku.
"Jenna, dengar, apa pun yang kau lakukan, kami bangga padamu."
"Eh? Tentang apa ini? Mengapa kalian menjadi cengeng seperti ini? Di mana ayahku yang garang dan selalu bersiap di depan rumah setiap kali ada pria yang berniat mampir menemuiku? Dan mana ibuku yang sangat cerewet dan selalu mengaturku? Kenapa kalian semua terlihat bersedih?"
Ayah menarikku untuk duduk, berhadapan dengannya. Ia menggenggam tanganku.
"Ayah sudah mendengar tentang penyakitmu dari Clara ...," ucap ayah, menjedanya sejenak.
"Dasar spoiler!" desisku.
"Ia tidak bersalah. Ia pun kalut ketika mengetahui kau sakit. Karenanya, ia meminta ayah dan ibu untuk memaksamu pulang. Hanya, kami tidak ingin kau merasa terkekang. Kau sudah dewasa, saatnya kami memberi kepercayaan padamu."
Aku menggigit bagian dalam bibirku, mengangguk paham akan apa yang disampaikan ayah.
Memang, sejak menginjak usia dewasa, ayah tak lagi telalu mencemaskan apa pun yang kulakukan, tidak seperti saat remaja. Hanya mungkin karena seringnya ayah bersikap overprotektif, membuatku enggan terbuka padanya dan selalu menghindar.
Kini aku mulai memahami banyak hal, salah satunya adalah kasih sayang mereka tak pernah salah.
"Dan kami sudah mempersiapkan sesuatu untukmu." Ayah menyerahkan sebuah kunci padaku. Aku ternganga melihat benda yang masih berada ditangan ayah.
"No way ...!" pekikku, girang, sembari tertawa lepas.
Ayah mengangguk kemudian disusul tawa dengan suara bass yang menggelegar.
Aku meraih kunci dari tangan ayah dan berlari kecil ke garasi. Saat pintu terbuka, sebuah mobil Mustang Shelby keluaran terbaru sudah bertengger gagah di sana. Aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Sungguh ini berlebihan tapi aku menyukainya.
***
Malam ini mataku tak mampu terpejam, rasa nyeri di sekujur tubuh tak dapat kutahan. Aku bangkit dan membongkar isi tas, memastikan bahwa aku tidak melupakan obat-obatan sialan itu.
Dan sempurna sudah, semua obat sepertinya tidak terbawa olehku. Aku bangkit dan mengambil semua selimut yang ada, kemudian kugunakan untuk membungkus sekujur tubuh, setelah itu memaksakan diri untuk melupakan segala masalah sejenak dan memejamkan mata.
Satu jam ... dua jam ... bahkan hingga pagi menjelang aku masih di sini, dengan kesadaran penuh. Aku hanya menghela nafas kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.
Bayang-bayang Ryan dan segala yang pernah kami lalui berkelebatan di pikiranku. Meski hanya sebentar, kebersamaan dengannya sungguh meninggalkan kenangan yang dalam, juga menyakitkan. Jauh lebih sakit dibaning saat bersama Blake. Dan itulah konsekuensi yang sebenarnya harus kuterima.
Ponselku berdering lagi. Haruskah aku mengganti nomorku agar tidak diganggu oleh telepon dari para pria ini? Jika itu Ryan, tak tahukah ia bahwa aku sangat terluka? Tak bisakah ia membiarkanku sendiri?
Bagaimana jika itu Blake? Mungkin ia pantas menjadi tempat pelarianku. Setelah apa yang ia lakukan padaku, ia pantas mendapatkan sedikit saja shock therapy, sebagai balasan.
Kuambil benda pipih itu, menggulir dan memeriksa siapa yang mengganggu sejak kemarin. Oh, Blake. Ternyata ia masih punya nyali untuk menghubungiku setelah apa yang kukatakan padanya saat itu.
Sudahlah, biarkan saja. Aku pulang dengan niat agar sebentar saja bisa mengesampingkan semua masalahku. Jika akhirrnya penyebab masalah dalam hidup justru mengetahui keberadaanku, usahaku akan jadi sia-sia nantinya.
Perlahan aku merasakan kantuk mulai menyerang. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang dan tak lama sudah berada di alam mimpi.
***