下載應用程式
59.09% Pendekar Mabuk / Chapter 26: 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps26

章節 26: 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps26

Episode 26

ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat

kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali

ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan dan

bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang

Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.

"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto

dengan suara sumbang karena pengaruh mabuknya

masih ada.

Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak

merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam

berkata riang.

"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan

bersama Selendang Kubur."

"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang

Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."

Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera

muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam

memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk

yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.

"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya

Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si orang sakti

yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor

bergelar si Gila Tuak itu!"

Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum

melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis

Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas

tahun, sangat terpesona melihat ketampanan Suto walau

bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi

dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan

makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang

kehebatan ilmu-ilmunya.

Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan

ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum

sekali padaku?"

"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan

gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita

kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku.

Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan

mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk

bermalam di rumah ini!"

"Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini?

Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit

mengacau.

Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah.

Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling

rumah Kriyo Suntuk.

Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang

mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.

Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para

tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada

mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita

tersebut.

Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat

tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki

berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama

Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak

terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti

yang pernah dilihat oleh Suto.

Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas.

Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan

emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang

berusia antara delapan belas tahun itu, masih betah

memandangi wajah ganteng Suto Sinting.

Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu

sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun,

hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan

galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut

kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis

senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.

"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"

"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau

sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih

tidur?"

"Peri Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu

Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu toh,

Kang?"

"Iya. Mana dia?"

"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum

pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto.

Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan,

rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami tidak ada

yang berani membangunkan Kang Suto!"

"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak

sempat bicara padanya tentang Tuak Setan itu. Hmmm...

pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak

punya kesempatan bicara padanya."

Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam,

yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto,

perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia

masih punya luka bekas pukulan Selendang Kubur. Tak

mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu

keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah

selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi

melesatnya anak panah.

Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang

kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang

berada di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang

itu adalah Peri Malam.

Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya

berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia

sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia

melompat di atas daun demi daun yang digunakan

sebagai pijakan kakinya.

Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman

kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi

pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa

tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-

bisul tersumbul dari dada seorang perawan.

Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia

tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak

bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa

nelayan, setelah itu akan mencapai pantai. Dari pantai itu

pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk

menemui gurunya si Mawar Hitam.

Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri

Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga

perempuan cantik berotak licik itu.

"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali

saat mata Peri Malam itu beradu pandang dengannya.

Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera

disembunyikan perasaan itu.

"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup

keresahan.

"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak

Setan kau serahkan padaku."

Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia

berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas

terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak

bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.

"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"

"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan

Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau

lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun

milikmu itu!"

"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."

"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari

mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya tak

berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam,

membuat perempuan itu makin gelisah.

"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku

menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga? Telaganya

yang mana, aku juga tidak tahu."

"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri

Malam. Jangan kau berdusta lagi!"

"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya

dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha

mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan

denganku dan dia bebas mencintaimu."

"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"

"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang

pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak

tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"

"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil

tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka tersebut.

Sambungnya lagi.

"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk

berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita

secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku

menyakitimu...."

Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah

kau mencintaiku sungguh, Suto?"

"Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku,

karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu

berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal,

kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu

yang amat berharga dalam hidupmu!"

Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat

berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari

pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia

hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri,

sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan

kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah

aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun

mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang

disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun

diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti

bahwa aku sungguh mencintaimu...."

Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-

tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam

sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun

terpental ke belakang secara bersamaan. Sesuatu yang

berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin

berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.

Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan

Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu.

Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan

dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih

dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka

memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan

Suto, seseorang telah berdiri di atas batu dengan tawa

yang terkekeh-kekeh.

Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya

agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru

lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya

yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata

berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira

dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang

punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang

itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot

dengan gigi berjarak renggang karena ompong.

Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain

gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam.

Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang

Pusaka Tuak Setan itu berada dalam genggamannya, ia

tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.

"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan

lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang seketika.

Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam,

dan ia mengumpat.

"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka

mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak kebo!"

"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu

pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan

milik Suto Sinting ini!"

"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama

ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah

lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua

yang tidak bisa menyebutkan huruf R.

"Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap

tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku memang

masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan

membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan

padaku!"

"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa.

"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin

bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak,

kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus

tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku akan minum

Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala

tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"

"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan

pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"

"Hih, anak ingus mau coba tantang aku? Hih,

kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak

Lial ini...!"

Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang

bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat

cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan

senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan,

atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada

korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam

segera mendekati Suto dan berbisik,

"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu,

sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang

menjinakkan kemarahannya, Suto!"

"Aku tak peduli, Peri Malam!"

"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia

pengeltian, jangan coba-coba menantang kemarahanku,

supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia

mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan

saja kalian siap!"

"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.

Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan

beraninya.

"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah?!

Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan

yang bodoh itu! Hiaaah...!"

Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah

memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan

cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak

kambing. Suto segera silangkan bumbung tuaknya

dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam

berteriak cemas.

"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"

Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak

menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju

menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto

sambil berteriak,

"Jangan, Guru...!"

Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh

Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat

melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima

oleh bumbung tuaknya Suto.

Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu

mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke

arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu

kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan.

Wuuugh...!

Kibasan angin itu membentur sinar perak dan

terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!

Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri

Malam terlambat menghindari gelombang ledakan

tersebut.

"Uhhg...!"

Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah

ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar,

membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat

seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak

mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya

mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi

bagian dada.

"Sundari...?!" desis Suto dalam cemas.

"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling

pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam

lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak

kambingnya.

Suto merasakan datangnya gelombang panas yang

menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke

tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam

gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai

daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat

kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di

batu atasnya Mawar Hitam.

"Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan

tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.

Plakkk...!

Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya.

Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar

Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto

segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki,

tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.

Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang

terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal

paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan

bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam

memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.

Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam

terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang

keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.

"Uuhhg...!"

Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah

Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam

berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!

Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa

memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan

bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut dan

menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.

Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk,

lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah

lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung

jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto

mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan

dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu

besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu

terlempar dan menggelinding jatuh melintasi lereng

bukit.

"Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri

Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri walau

satu kakinya telah remuk.

Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan

kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.

Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak

jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi

bumbung tuak itu tampak bergetar.

Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak

jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di

tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang

nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga

Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit

demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan

kiri.

Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci

Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat

pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak

berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya

hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma',

warisan ilmunya si Gila Tuak.

Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa

dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari

genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu

sentakkan tangan kanannya yang masih memegang

tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke

arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di udara itu

pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada

saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk

melompat meraih guci itu.

"Aaahhg...!"

Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang

karena terkena pukulan punggungnya. Kepala Suto

terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan

suara pekik tertahan. Pada saat itulah guci di atasnya

pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu

tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut Suto.

Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam

berteriak keras karena kecewanya.

"Jahanaaam...! Hiaaah...!"

Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan

dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari

arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat

cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.

Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.

"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh

terpelanting dan menyemburkan darah kental dari

mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk

memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah

karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah

Peri Malam.

Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada

Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat

jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu

mengenai batu, dan batu itu hancur lebur dalam sentakan

keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.

Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi

Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat

pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal

itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,

termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan

juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh

mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan

bukit.

Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin

jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam

keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu

bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya

berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang

tersentak-sentak.

Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap

berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun

memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang

saat ia menyebut nama, "Suto...?!"

SELESAI

PENDEKAR MABUK

Ikuti kisah selanjutnya!!!!!!!!

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:

PERAWAN SESAT


Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C26
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄