Seperti perkiraan Marisa, perpindahan sekolahnya berjalan dengan lancar. Memang meminta bantuan dari pekerja yang kompeten membuat hasil lebih cepat dan efisien. Dalam waktu dua hari Hadi sudah selesai mengurus berkas perpindahan sekolahnya dan dalam waktu satu minggu, semua perpindahan sekolahnya sudah selesai. Begitu juga dengan persiapan apartemen yang akan ditinggali oleh Marisa. Bi Ina menyelesaikan itu dalam waktu lima hari dan sekearang hanya perlu memindahkan barang-barang milik 'Marisa' ke sana.
"Nona, pihak sekolah meminta anda untuk datang dan melakukan tes tertulis sebelum diterima karena dalam kurikulum mereka sekarang ini adalah masa ujian tengah semester."
"Apa aku sudah boleh keluar?"
Hadi terlihat kesulitan menjawab. Mungkin dia juga tidak tahu apa Marisa boleh pergi keluar atau tidak oleh dokter. "Hm, jika bisa aku ingin mengikuti ujiannya di sekolah. Coba kau tanyakan dengan dokter lalu hasilnya bagaimana, kau bisa membahas itu dengan pihak sekolah dan menanyakan kebijakan apa yang bisa mereka berikan dengan kondisi seperti ini."
"Baik, Nona. Saya permisi." Mengijinkan Hadi pergi, Marisa kembali fokus melakukan refisi belajarnya. Setelah menyusun rencana, hari-hari Marisa dilalui dengan belajar. Dia mulai dengan mencari materi untuk murid menengah atas dari kelas satu hingga kelas tiga dan mulai membacanya satu per satu untuk kembali mengingat.
Marisa bahkan meminta Bi Ina untuk mencarikan tutor pribadi untuknya dan Marisa berpikir akan terus belajar dengan tutornya yang sekarang jika dia sudah pindah nanti. Selain belajar, Marisa juga terus diperhatikan oleh dokter untuk kesembuhannya.
Sebenarnya bagi Marisa, kejadian ini tidak terlalu parah. 'Marisa' jatuh dari tangga, tapi bukan dari atas. Dia sudah hampir di bawah anak tangga, sekitar empat anak tangga lagi, hanya saja karena 'Marisa' berlari dan terjatuh dengan kepala terlebih dahulu, itu membuat semua orang khawatir. Mungkin jika dia berada di bagian lebih tinggi, Marisa harus dibawa ke rumah sakit.
"Nona, permisi." Tika masuk dengan ragu-ragu setelah Marisa ijinkan. "Nyonya Seoganda dan Nona Agnes datang untuk bertemu Nona." ujar Tika penuh kecemasan. Dua orang yang datang hari ini selalu berakhir bertengkar dengan Nona mudanya walau sikap mereka baik tapi ucapan mereka selalu membuat Tika berpikir dua kali mengenai maksud dari ucapan tersebut dan membuatnya selalu merasa tidak enak.
Seoganda, itu adalah nama keluarga dari Ayah kekek Darmadji. Keluarga yang memiliki sejarah panjang. Kepala keluarganya dulu saat masa peperangan merupakan wakil dari Jendral yang kemudian menjadi walikota di kota Jati. Ini membuat kepala keluarga Seoganda menjadi wakil walikota. Seiring berjalannya waktu, dari aparat negara, keluarga Seoganda berubah menjadi pebisnis. Fokus utama bisnis mereka adalah pariwisata. Dengan membangun hotel, tempat rekreasi dan juga biro perjalanan, keluarga Seoganda ingin menaikan minat turis ke kota Jati.
Saat menentukan ahli waris dulu, ayah kakek Darmadji memilih adiknya karena mempunyai anak laki-laki dan ini yang membuat Kakek mengambil nama belakang ibunya dan mengubahnya menjadi Darmadji. Sebenarnya, kedua keluarga ini setara hanya saja keluarga Darmadji memang dari dulu keluarga pebisnis. Mereka adalah pebisnis properti.
Jika dilihat, keluarga Darmadji menaik semenjak bisnis dipegang oleh kakek, sementara keluarga Seoganda menurun semenjak dipegang oleh adiknya kakek. Sepertinya buyut 'Marisa' salah menilai orang. Sayang sekali Kakek juga seperti itu dan membiarkan anaknya menikah dengan Lukman.
Marisa menggelengkan kepalanya. "Mau apa mereka ke sini? Ah, biarkan. Aku akan turun menemui mereka." putusnya sambil turun dari kasur dan mengambil jaket. Marisa sengaja berjalan dengan pelan sambil mengingat isi buku dan juga ingatan 'Marisa' tentang kedua tamu itu.
Tantenya, adalah putri dari keluarga pemirintahan karena mereka bekerja di pemerintahan kota Jati. Ayuning, nama tantenya, sejak dulu selalu iri kepada Alisa karena latar belakang keluarga Alisa yang menurut Ayuning tidak sebanding dengannya tapi Alisa mempunyai banyak kenalan dari keluarga kalangan atas di kota Jati. Bisa dibilang dalam kalangan sosialita, Alisa termasuk bagian inti kelompok tersebut sementara Ayuning tidak.
Rasa iri itu membuat Ayuning selalu membandingkan Agnes, putrinya, dengan Marisa. Sepertinya itu tujuan mereka datang kali ini. Marisa berhenti dan mencoba mengingat apa yang akan mereka pamerkan untuk membuat 'Marisa' marah.
Oh! Lolos audisi balet dan mendapat peran utama. Marisa tidak segaja melihat itu diunggahan media sosial Agnes.
Mengetahui ini Marisa jauh lebih tenang dan segera menuruni tangga menuju ruang tamu. "Tante Ayu, Agnes, maaf membuat kalian menunggu lama." sapa Marisa ramah kepada kedua kerabatnya itu yang membuat mereka tertegun. Selama ini 'Marisa' selalu ketus dan memasang wajah tidak suka jika melihat mereka mengunjungi kediaman Darmadji ketika hanya ada dirinya.
Tentu saja karena itu adalah 'Marisa' yang mudah tersulut bukan dirinya yang sudah hampir tiga puluh tahun dan berkeluarga ini. Menghadapi amarah orangtua murid dengan senyum adalah hal yang biasa Marisa lakukan. Apalagi selama kuliah dulu Marisa bekerja juga sebagai customer service, tersenyum kepada umpatan pelanggan dan perlakuan kasar mereka adalah keahlian Marisa.
Ayuning yang melihat keponakannya tersenyum ceria dan bukannya sedih serta muram karena ditinggal sendirian oleh keluarganya terkejut bukan main. Ini bukan Marisa yang dia harapkan untuk dilihat. "Ah....oh...Halo, Marisa bagaiamana kabarmu? Tante dengar kamu sakit?" Dengan cepat, Ayuning menutupi keterkejutannya dan tersenyum dengan lembut sambil mengajak Marisa duduk di sampingnya.
"Aku sudah jauh lebih baik, Tante! Jangan khawatir." jawab Marisa dengan senyuman lebar. "Oh, Agnes. Bagaimana kabarmu? Aku melihat unggahanmu, selamat! Kau hebat!" puji Marisa lebih dulu. Dia sengaja melakukan ini agar mereka berdua tidak punya alasan lagi untuk memberikan ejekan manis karena Marisa sudah mengucapkannya lebih dulu.
Agnes yang tiba-tiba diajak bicara terkejut dan hampir menjatuhkan cangkir teh yang dia pegang. Dia masih belum bisa memproses keadaan dari Marisa yang menyambut mereka dengan senyum, mau diajak duduk bersebelahan dengan ibunya sampai memberikan pujian atas prestasinya. Bukannya gadis busuk ini selalu membenci dirinya dan ibunya? Ada apa dengannya?
"Agnes?" panggil Marisa karena tidak mendapat jawaban dari sepupunya itu. "Oh? Ah iya! Haha... Terima kasih. Aku bekerja keras untuk itu." jawab Agnes canggung dan melirik ibunya memberikan kode untuk meminta tolong karena dia tidak bisa menangani perubahan sikap Marisa ini.
Ayuning sendiri juga bingung harus bagaimana karena tujuan mereka adalah menaburkan garam diluka Marisa tapi ternyata tidak ada luka sama sekali yang bisa mereka taburi garam. "Marisa, apa kau kesepian di rumah?" tanya Ayuning sambil membelai rambut Marisa lembut. "Kau tidak bisa tidur kalau ada petir dan hujan deras tanpa Mario, 'Kan? Tapi sekarang ini dia di luar negeri, kau pasti takut."
Rasanya dia ingin bertepuk tangan melihat Ayuning yang bersikap seperti tante yang penuh perhatian. Mungkin seharusnya Ayuning menjadi seorang aktris daripada hanya menjadi ibu rumah tangga. "Aku sedikit kesepian tapi kurasa ini waktunya aku untuk bisa sendiri tanpa Mario. Aku tidak bisa selamanya bergantung pada Mario, 'kan. Kalau dia sudah menikah, bukankah itu artinya aku tidak bisa lagi meminta bantuannya?"
Diberi jawaban seperti itu Ayuning hanya bisa tersenyum getir. "Menikah....itu masih jauh untuk kalian. Kau tidak perlu terburu-buru untuk berubah."
"Un! Aku melakukannya pelan-pelan. Nanti saat Mario kembali aku mungkin akan tidur dengannya! Hehe." jawab Marisa dengan polos dan manja. Dalam hatinya dia menghela napas, bersikap menjadi anak remaja itu sulit.