"Ravi?"
Ravi membuka pintu dan terkejut dengan rumah kecil ini dalam kegelapan. Dia pulang di sambut dengan rengekan dari Raymond, Ravi menghidupkan lampu langsung dihadapkan dengan wajah Raymond yang lusuh di penuhi air mata di wajahnya.
"Ravi? Aku sudah menunggu lama sekali." Raymond berkata sangat pelan, pria itu berdiri kaku di hadapannya dengan tangan melayang hendak meraih Ravi.
Dia tidak tahu harus menanggapi Raymond seperti apa, dirinya sudah terlalu lelah untuk merespon karena sekujur tubuhnya terasa sakit dari waktu ke waktu. Namun, tetap saja dia tak bisa berbuat seperti ini, Raymond telah menunggunya berjam-jam.
"Maaf." Hanya itu yang bisa Ravi katakan.
"Ravi apakah ada seseorang yang—"
"Tidak ada, jangan bertanya apapun tentang itu." Ravi cepat-cepat memotong ucapan Raymond, mengungkitnya kembali akan membuat kepala Ravi bertambah sakit. Dia menarik pelan lengan Raymond untuk mendudukkannya di ranjang mereka. "Mengapa kamu menangis seperti ini?"
Raymond tidak langsung menjawab dia justru meraih tangan Ravi yang berada di lengannya untuk dia genggam erat-erat. "Aku takut, Ravi akan meninggalkanku dan tidak akan kembali lagi."
Ravi menarik tangannya yang langsung membuat Raymond tanpa sadar merengek kecil. "Raymond, aku sudah mengatakannya padamu bahwa aku sedang mencari pekerjaan. Aku tidak akan meninggalkan kamu."
"Tapi Ravi pergi dan aku sendirian." Raymond membantahnya. Mata berbeda warna itu meredup, rambut Raymond yang semula berantakan bahkan sekarang lebih berantakan lagi, Ravi bertanya-tanya sudah berapa lama Raymond menangis.
"Aku sekarang kembali, kan? Raymond, aku sedang mencari pekerjaan, jika aku tidak melakukannya maka kita tidak akan bisa tinggal di sini lagi. Bukannya aku sudah mengatakan padamu bahwa kamu adalah satu-satunya dalam hidupku sekarang."
"Aku bisa bekerja Ravi, aku bisa menjaga kuda, membersihkan kandang dan juga memberi makan."
Ravi terperangah dengan apa yang Raymond katakan barusan, dia tahu sebagian tentang Raymond saat pria itu mengatakannya sendiri padanya akan, tetapi tidakkah Raymond memahami bahwa di sini sama sekali berbeda dengan tempat tinggal Raymond di sana. "Raymond, di sini berbeda dari tempatmu."
Ravi tidak tahu lagi apa yang akan dia katakan pada Raymond, dia mengingat setelah mencium aroma manis keluar dari bungkus kertas yang masih Ravi genggam dan mengeluarkannya segera. "Aku bertemu dengan temanku, dia memberiku pekerjaan dan juga roti ini."
"Siapa Ravi? Apakah dia orang jahat?"
"Tidak, dia temanku. Dia bukan orang jahat." Setidaknya Liam sudah berubah. Sambung Ravi dalam hatinya.
"Kalau Ravi berkata seperti itu. Aku selalu mempercayai Ravi."
Mata Ravi menyipit dan kemudian hanya berucap datar pada Raymond. "Apakah kamu secara tidak langsung mengatakan bahwa aku berbohong?"
"Tidak, Ravi. Aku tidak pernah ingin mengatakan hal-hal seperti itu pada Ravi." Raymond berucap cepat menyambar tangan Ravi yang otomatis menciptakan sinar terang dari sulur-sulur indah yang tercetak pada tangan Raymond yang sekarang tengah menggenggamnya.
Ravi mengerjap dan melepaskan sentuhan yang Raymond berikan padanya. Dia segera bangkit berdiri menuju kamar mandi ketika tiba-tiba merasakan perasaan aneh yang menjalar ke sekujur tubuhnya lewat sentuhan itu. Ravi yakin dengan benar, Raymond pastilah tengah melakukan sesuatu padanya tadi.
***
"Raymond, Liam mengajak kita untuk mengobrol di rumahnya besok." Kalimat pertama yang Ravi katakan setelah dia berhasil keluar dari kamar mandi dengan serangkaian rasa sakit yang terasa tak pernah usai sebelumnya. "Apakah kamu ingin juga?"
Walaupun niat awal Ravi untuk mengajak Raymond dan memperkenalkannya dengan Liam, tetap saja jika Raymond tidak menyetujuinya maka Ravi tidak dapat berbuat banyak tentang itu.
"Aku ingin ikut bersama Ravi," kata Raymond mantap berjalan mendekat ke arah Ravi yang tengah mengenakan pakaiannya. Dia merasakan perasaan panas di tubuhnya dan tanpa sengaja melirik ke arah Raymond yang ternyata tengah menatap Ravi lebih intens dari biasanya.
"Apa yang salah dengan kamu, Raymond?" tanya Ravi cepat-cepat menyelesaikan pakaiannya dan melangkah menjauh dari Raymond yang lagi-lagi menguatkan aroma cokelat leleh di sekelilingnya.
"Ravi, aku tiba-tiba sangat ingin menyentuh Ravi. Apakah aku boleh melakukannya?" tanya Raymond sungguh-sungguh yang langsung membawa kerutan tajam pada alis Ravi.
"Tidak, kamu tidak bisa melakukan itu."
"Kalau begitu, apakah aku boleh mencium Ravi?" Mata Ravi semakin berdenyut mendengarnya, tidakkah Raymond tahu bahwa apa yang dia pinta adalah sesuatu yang salah dan juga tidak pantas.
"Tidak, mengapa pertanyaanmu menjadi seperti itu sekarang?" Ravi mengeringkan rambutnya asal dengan handuk putih di tangannya. Dia melihat ke arah Raymond yang sekarang menatap Ravi dengan pandangan memohon yang cepat-cepat Ravi alihkan. Jika dia tetap melihat Raymond seperti itu bisa saja Ravi akan berubah pikiran nantinya.
"Aku tidak tahu, melihat Ravi tidak mengenakan pakaian membuat aku ingin menyentuh dan mencium Ravi."
Ravi menghela napas kasar setelah mendengar nada rendah dari Raymond. Pria itu masih berdiri kaku di tempat yang sama sementara Ravi tidak tahu lagi dia harus melakukan apa.
"Kita tidak bisa melakukan itu lagi."
"Mengapa? Bukankah Ravi menyukainya?"
Ravi hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Walaupun dia tidak akan mengakui pada dirinya sendiri, Ravi tetap berpegang bahwa mereka memang tidak seharusnya melakukannya karena itu salah dan menyalahi aturan.
"Sepertinya kamu harus mandi untuk menjernihkan pikiranmu, Raymond."
"Sebelum mandi bisakah aku mencium Ravi?" Raymond tampaknya tidak mudah menyerah, walaupun suaranya sendiri tampak bergetar seperti dia bisa menangis kapan saja. Dia bahkan berjalan mendekat ke arah Ravi.
"Raymond, bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak akan melakukannya."
Setelah mengatakan itu ekpresi Raymond menurun, tidak ada harapan lagi di wajah itu dan sekarang telah sepenuhnya tertutup. Ravi benci melihatnya seperti itu, apalagi selama ini dia tahu hidup Raymond seperti apa.
"Raymond, baiklah. Kamu bisa melakukannya hanya satu kali."
Raymond segera berbalik ke arah Ravi senyuman lebar telah bertengger di sana, dia bergerak dengan cepat bahkan sebelum Ravi siap, bibir Raymond telah lebih dahulu menempel pada bibir Ravi. Tidak hanya menempel, tetapi mulai bergerak menghisap, juga menjelajah mulut Ravi hingga dia sendiri merasa kewalahan karenanya. Ravi berpikir bahwa itu hanyalah sebuah ciuman singkat, tetapi dengan betapa aktifnya mulut Raymond sementara tangannya telah berada di dalam kaus Ravi tepat di atas tonjolan kecil dadanya. Ini sudah melebihi apa yang Ravi tawarkan. Namun, entah mengapa tubuh berkhianat Ravi justru membiarkan apa yang tengah Raymond lakukan karena dengan perlahan rasa sakit di dadanya perlahan menghilang.
Kemudian mereka menjadi lebih panas.
Ravi baru mengatakan di pikirannya sendiri bahwa ini adalah perbuatan yang menyalahi aturan, tetapi semenit kemudian Ravi sendirilah yang melakukannya.