Ibrahim Pov
_________________________________________
Hari ini aku tidak mood untuk melakukan apapun, aku hanya ingin duduk disini, di meja kerjaku, memandangi laki-laki yang letak mejanya bersebrangan dengan tempat dudukku, laki-laki yang baru saja melakukan penolakan atas cintaku. Gila! baru kali ini aku ditolak.
Walaupun sebenarnya ini bukan penolakan, tapi lebih tepatnya yang ia inginkan adalah pembuktian, Gabriel masih menganggapku bercanda tentang cinta yang ku utarakan tadi pagi. Beginilah jika terlalu sering bercanda, saat aku serius Gabriel jadi tidak percaya, padahal kurang serius apa aku tadi, aku bahkan menangis di depannya, hal yang paling anti bagiku selama ini.
Gabriel, laki-laki di depanku ini benar benar membuatku gila dan membutakan mataku tentang keabsahan cinta pasangan Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, Layla dan Qais/Majnun, Galih dan Ratna, bahkan Siti dan Sholeh yang tak lain dan tak bukan adalah nama Ibu dan Bapakku. Aku tidak takut jika harus mengukir sejarah baru dengan cerita Gabriel dan Ibra, bagiku cinta adalah cinta, tidak ada perkara apapun di dalamnya.
Aku memangku wajah, memperhatikan Gabriel yang sedang berbincang dengan clientnya menggunakan bahasa inggris, bahasa inggrisnya memang fasih sekali, sudah sewajarnya Mba Mel memilih Gabriel untuk menempati posisinya saat ini, posisi yang sering berinteraksi dengan bule-bule, berbeda denganku yang berinteraksi dengan para pakle, tadi Gabriel mengeluhkan nama Mister Noah, ia mengeluh kalau Mister itu menyebalkan.
Gabriel kelihatan ada masalah besar, sehingga ia tampak serius ditelepon, raut wajahnya begitu gusar, aku jadi kasihan, seandainya saja aku bisa membantu permasalahannya dengan Mister Noah, tapi sayangnya aku hanya bisa membantunya jika kata Noah itu dipisah, noooo ... aaaahhhh, haduh sempat-sempatnya aku berpikiran mesum, dasar Ibrahim Mesum yusuf Al-Muzakky.
"Hei ... ngelamun aja ngeliatin Gabriel, ati ati naksir."
"Eh, Mba Mel, makin cantik aja"
suara yang membuat buyar lamunanku tadi adalah Mba Melanie, manager marketing. Seorang ibu berumur 40 tahun yang masih tampak cantik dan juga pimpinan paling baik serta santuy luar biasa.
Mba Mel berhenti di depan mejaku, "bisa aja bikin orang seneng, ngapain ngeliatin Gabriel?" tanyanya sambil memberikanku coklat batangan, kebiasaanya hampir setiap hari membawakan coklat untuk seluruh bawahannya, termasuk admin dan staff di luar sana.
"Ee ... anu ... itu loh Mba, salut aja sama bahasa inggrisnya, wesewesewes bables anginne gitu" ujarku berbohong mengambil coklat yang ada di tangan Mba Mel, "makasih ya Mba" aku menambahkan.
Mba Mel terkekeh,"hati-hati naksir, mandanginnya kayak tulus banget gitu."
Aku hanya nyengir kuda, ingin rasanya menjawab ke Mba Mel bahwa aku sebenarnya sudah naksir bawahannya yang pintar itu.
"Mba, nanti meeting sama PT ISEPIN ikut kan?" tanyaku sambil membuka bungkus coklat yang diberikan Mba Mel, Mba Mel tanpa segan duduk di atas mejaku, seperti yang kukatakan, dia bos tersantuy di dunia.
Mba mel terlihat kebingungan, ia memukul kepalaku dengan kipas kecil yang ada di tangannya "ishhh jorok kamu Im, emangnya kita ada vendor namanya PT ISEPIN?"
"aitu lho mba, PT ISolusion EPisentral INdonesia, kalo disingkat kan ISEPIN" jawabku mengusap bagian kepalaku yang dipukul Mba Mel, sebenarnya tidak sakit, hanya berpura-pura saja, siapa tahu Mba Mel kasih duit pengobatan, tidak perlu banyak, yang penting cukup untuk naik haji.
"Hahaha" Mba Mel tertawa kencang, membuat Gabriel mendelik meletakkan jari telunjuknya di bibir, Mba Mel merapatkan tangannya meminta maaf, begitulah atasanku itu, dia tidak segan meminta maaf saat mengakui kesalahannya, "gara-gara kamu sih bikin ngakak Mba aja, diomelin Gabriel kan, hihihi" ujar Mba Mel berbicara sedikit berbisik.
"Jadi gimana? ikut kan?" yanyaku lagi.
"Mba ada ketemu vendor baru Im, kamu sendirian aja ya, lagian ... bukannya itu PT nya Rasty ya, sekalian ngedate, abis meeting gak usah pulang deh" jawab Mba Mel.
Entahlah, aku justru ingin Mba Mel ikut, agar aku tidak terlalu lama bertemu Rasty, tapi ternyata hanya Aku sendirian, sial!!
"Ya udah, Mba masuk ya" ujar Mba Mel turun dari meja, untung saja hari ini dia mengenakan celana, "oh iya, ini titip ya buat Gabriel" ujarnya lagi memberikan coklat yang sama denganku, lalu berlalu pergi ke dalam ruangannya.
Aku kembali menikmati coklatku sambil memperhatikan Gabriel, tak lama ia sudah mengakhiri percakapannya ditelepon, ia masih tampak frustasi, ini saatnya Mas Ibra bertindak.
Aku beranjak dari kursiku mendekati meja kerjanya, lalu duduk di atas meja seperti yang Mba Mel lakukan di mejaku, "nih coklat, biar nggak pusing" kusodorkan coklat untuk pria menggemaskan ini.
"Dih ... kok bekas" ujarnya mengerucutkan bibir, sedangkan aku malah tertawa.
Aku merapatkan wajah ditelinganya, kemudian berbisik, "cobain dulu, itu bekas gigitan bibirku, Riel."
"Udah biasa, nggak ada yang aneh, aku udah cobain semuanya, termasuk kontol kamu yang kecoklatan" sahutnya sambil memakan coklat sisaku, "makasih Ibra, kirain boong, ternyata makan coklat beneran bikin agak tenang."
"Coklat yang ini, lebih bisa bikin tenang" candaku menunjuk kearah selangkangan.
Gabriel mendehem lalu menepuk pahaku, "itu sih bukan bikin tenang, tapi bikin tegang."
Ternyata sudah mulai pintar menjawab calon pacarku ini.
"Mas Baim, Pak Wahyu udah nungguin, katanya udah siap berangkat belum?" suara Lusi dengan kepalanya yang menyembul di balik pintu terdengar cukup keras. Aku heran, tidak Lita, tidak Lusi, sama saja, suka main selonong, bukannya ketuk pintu dulu, kalau aku sedang mencium Gabriel bagaimana.
"Iya, ntar gua ke bawah, bilang aja tunggu di lobby" sahutku, Lusi memberiku kode dengan jari pertanda mengerti.
"Loh, katanya bawa mobil sendiri?" tanya Gabriel menghabiskan coklat yang kuberikan, sampai-sampai bibirnya belepotan.
"Nggak jadi, aku nggak mau lama-lama, jadi tugas kamu, kamu bawa mobil !ku buat jemput aku jam 3 sore, oke!"
Wajah Gabriel kebingungan, terlihat seperti keberatan, "nggak mau, ngapain jemput kamu" ujarnya, tapi aku acuh tak mau tahu.
Aku kembali ke meja kerjaku, mengambil tas laptop dan mengeluarkan kunci mobil dari dalamnya, tak lupa Coklat yang masih utuh milik Gabriel kuambil dari atas meja, lalu kembali menghampiri Gabriel.
"Harus mau, nggak boleh nolak, aku mau jalan sama kamu malam ini" aku meletakkan kunci mobilku di mejanya.
Gabriel berdiri dari duduknya, ia masih mau memprotes, tapi aku malah mengusap bibirnya yang belepotan coklat menggunakan jariku, lalu kujilat coklat yang menempel di jariku itu.
"Nih, buat kamu" aku menyodorkan coklat yang utuh, "see you tonight, I Love You, Gabriel."
Aku melangkah keluar ruangan untuk menemui Pak Wahyu, supir operasional perusahaan, aku memang sengaja minta di drop, supaya aku punya alasan untuk tidak kemana- mana bersama Rasty saat meeting selesai.
* * *
"Kamu mau kemana sehabis ini?" tanya Rasty menghampiriku setelah meeting yang direncanakan selesai dan berjalan lancar.
Meeting sialan, tidak penting, aku malah tidak fokus, Alaku justru lebih fokus memikirkan lokasi Dinner nanti malam bersama Gabriel. Memang meetingnya tidak terlalu penting, aku pikir akan membahas tentang apa, ternyata hanya memperkenalkan boss baru Rasty yang mengambil alih project kerjasama antara Perusahaan manapun dengan PT ISEPIN itu. Dan setelah perkenalan tidak penting itu, inilah yang kami lakukan sekarang, semua asyik berbincang satu sama lain, membicarakan kasus artis bahkan membicarakan perekonomian Indonesia, buang-buang waktu saja, tau begini, mending aku di kantor memandangi Gabriel.
"Hei, kamu tu ngelamun aja" ujar Rasty lagi yang berada di sampingku.
"Ahh ... ehh ... a--anu, tadi kamu nanya apa?" aku gelagapan karena aku lupa dengan pertanyaan Rasty sebelumnya.
Rasty cemberut, raut wajahnya marah, tapi anehnya aku tidak begitu perduli, andai saja itu Gabriel, pasti aku sudah memelas meminta maaf.
"Udah lupain aja" ujarnya memalingkan wajah, aku dengan cuek diam saja, "bener-bener ya kamu, nyebelin" ujarnya lagi mencubit lenganku.
Aku heran dengan wanita seperti ini, sebenarnya mau mereka apa, berharap laki-laki peka, mana bisa kalau hanya bungkam seperti itu, apa susahnya mengutarakan sesuatu. Itulah kenapa aku lebih suka Gabriel, kalau sange ya bilang, kalau ada masalah, tinggal bilang, tidak ribet seperti Rasty.
"Aku mau ngajak dinner" Rasty kembali bicara menatapku.
"Nggak bisa, Ras" jawabku singkat.
Rasti mendengus, mungkin kesabarannya habis, tapi biarkan saja, syukur-syukur dia memutuskan hubungan kami hari ini, "kamu tuh kenapa sih?"
Aku acuh memainkan handphoneku menjawab pertanyaan Rasty, "kenapa apanya?"
"Akhir-akhir ini kamu jarang chat aku, bahkan telponpun nggak pernah, kalau kamu bosen sama aku bilang dong" ujarnya sedikit menaikkan nada, namun ia tahan karena takut didengar perwakilan perusahaan lain yang hadir di acara meeting tak penting ini.
"Kan kamu sendiri yang bilang pas pergi ninggalin aku di apartemenku waktu itu, aku telpon katanya minta jangan diganggu dan dihubungin, jadi bukan salah aku" jawabku santai sambil membuka game Flappy Bird, game memainkan burung, mana burungnya lucu seperti burung Gabriel.
"Kalo kamu gini terus, aku minta putus" ancam Rasty.
Aku menoleh sebentar, lalu fokus lagi memencet game burung Gabriel yang berusaha menghindari pipa-pipa panjang.
"Oke" ujarku menjawab ancaman Rasty, Flappy Bird sepertinya menyetujui ucapanku barusan, lihat saja kepalanya manggut-manggut tanda setuju.
"Sumpah, aku benci sama kamu Im, segampang itu--"
"Udah ya, Ras. Jadi kalah kan tuh" ujarku memotong ucapan Rasty.
Rasty mendecih geram, tangannya mengepal, ia pasti marah, kecewa terlihat jelas, tapi apa boleh buat, aku memang sudah tidak mencintai Rasty karena aku mencintai Gabriel. Sebenarnya Rasty cukup baik selama menjadi pacarku, tapi sifat sering ngambeknya yang kurang kusukai, sedikit-sedikit ngambek, sedikit-sedikit ngambek, ngambek kok sedikit-sedikit, sekalian saja ngambek selamanya.
Rasty pergi dari sampingku, tapi ia masih ada di dalam ruangan, hanya saja pindah ke kursi yang lumayan jauh jaraknya dariku.
"Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu, karena kami masih ada urusan lain, jadi kami mohon pamit, terima kasih sudah datang di pertemuan kita kali ini, meeting hari ini cukup, jadi bapak dan ibu sekalian bisa kembali untuk menyampaikan informasi ini kepada bagian terkait di perusahaan bapak dan ibu" ujar si Mansyur, pria tua bekepala botak dengan perut gendut perwakilan dari PT ISEPIN.
Memang minta diisep kepalanya si Mansyur yang licin itu, dengan lantang menyebut ini informasi penting dan dengan sok sibuknya mengatakan ada urusan lain. Sialan, benar-benar membuang waktuku saja, rasanya ingin kusentil kepala botaknya yang bentuknya menyerupai kepala kontol.
Semua yang hadir beranjak meninggalkan ruangan, kulirik jam tanganku, syukurlah jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, harusnya Gabriel sudah bisa pulang untuk menjemputku.
Aku masih duduk dikursi memainkan game Flappy Bird, semua burungnya mungil dan lucu, menggemaskan seperti burung Gabriel, Rasty melewatiku, aku merasakan ia berhenti di belakangku.
"Aku nggak akan ngebiarin kamu gitu aja ninggalin dan nyakitin aku, Im, pokoknya aku nggak terima, kamu harus ngerasain sakit yang aku rasain" ujarnya berlalu pergi.
Sok antagonis sekali si Rasty, terlalu mendramatisir.
NEXT PART"""
_________________________________________
Special Part for Intermezzo
"Litaaa ... tau nggak, tadi gua abis mergokin Mas Baim, sama Ko Briel adegan dewasa, itu hot banget" pekik Lusi menghampiri Lita di meja kerjanya.
"Seriuss lo, iiichhh ... nggak ajak-ajak, gimana, ceritain, pliiis!!!" ujar Lita mengiba.
"Jadi, pas gua nyelonong masukin kepala gua ke ruangan mereka, Mas Baim posisinya duduk di atas meja--"
"Terusss ... teruss iichhh geregetan" ucap Lita tak sabar.
"Terus pahanya agak ngangkang, dan di depannya lu tau nggak litaa, aaaak ...."
"kenapa Lus, kenapa di depannya?" tanya Lita seolah ingin mimisan.
"Di depannya ada Ko Gabriel, lagi ngemut coklat, terus tangannya di paha Mas Baim" ujar Lusi mendramatisir cerita.
"Aaaak ... mau mimisan, iich ... jahat nggak ajak-ajak buat ngeliat" Lita memanyunkan bibirnya.
"Lit, pasti coklatnya abis ditempelin ke--"
"Lusi, ngapain disitu, balik ke meja kamu, jam kerja malah ngegosip" Omel Ibra keluar dari ruangan menuju Ke lobby untuk menemui Pak wahyu.
"Hehehe, iya Mas, maaf" Lusi berlari kecil kembali ke meja kerjanya.
Gabriel POV
_________________________________________
Ibra sialan, aku dipaksa untuk menjemputnya sore ini, padahal aku sudah jujur-sejujur-jujurnya kepada Mba Mel tentang paksaan menjemput Ibra, berharap ia tidak memberikan izin untukku meninggalkan kantor, namun nyatanya, "ya udah jemput aja sekalian langsung pulang, nanggung kalo balik lagi kekantor" ucapan Mba Mel masih saja terngiang di telingaku.
Ngomong-ngomong, dimana pria arab itu, bukannya saat ditelepon ia menyuruhku menjemputnya di Restoran Kencana, sudah 10 menit aku menunggunya di parkiran, namun dia tak kunjung menampakkan batang kontolnya, maksudku ... batang hidungnya.
Aku berusaha menghubungi Handphonenya, tapi tidak aktif, kenapa aku jadi cemas seperti ini, kenapa aku takut terjadi sesuatu dengannya, aku terus mencoba menghubunginya lagi dan lagi, namun tidak aktif, apa mungkin aku menyusul saja ke dalam dan bertanya ke resepsionis restoran yang lebih mirip gedung pertemuan ini. Mungkin sebaiknya aku memang menyusul ke dalam, namun langkahku terhenti saat ojek online menghampiriku, bukan karena akang ojeknya ganteng, sama sekali bukan, tapi sosok Ibra yang ada di boncengan tukang ojeklah yang membuatku terkejut.
"Selamat sore ...." sapa Ibra dengan nyaring saat turun dari boncengan tukang ojek. Di tangan kanan dan kirinya terdapat paperbag yang ia tenteng.
"Oh tuhan, aku nungguin kamu disini, kamu malah enak'enakkan shopping" A
aku langsung memarahinya, tapi sebagai tersangka, Ibra tidak tahu malu, malahan ia mencium pipiku.
"Kalo bisa naik ojek, ngapain minta jemput" sungutku lagi.
Tapi tetap saja, percuma tenagaku habis untuk memarahinya, laki-laki di depanku ini dengan santai menyodorkan paperbag yang ada di tangannya.
Aku meniupkan nafas, berusaha meredam kekesalanku pada Ibra, "ini apa?" tanyaku penasaran.
"Pakaian ganti" jawabnya santai.
"Emang kita mau kemana?" tanyaku memicingkan mata.
"Cari suasana ngentot yang baru, bosen di jakarta mulu" Ibra mengambil kunci mobil yang ada di tanganku, lalu melangkah menuju mobilnya. "Yaah ... malah bengong, ayo ikut, kesambet kontol nanti kelamaan di situ" teriaknya lagi dari dalam mobil.
Daripada urusan makin panjang, lebih baik aku menurut saja apa yang dia inginkan. Aku membuka pintu mobil, Ibra sudah telanjang bulat di kursi kemudi, aku menelan ludah, padahal sudah sering melihat, tetap saja aku menelan ludah jika mendapati tubuh telanjangnya di depanku, pahatan otot tubuhnya, bulunya, iya aku tidak akan melupakan batangnya yang paripurna dengan 2 biji menggelantung dan jembut yang rapi, pria keturunan arab ini memang tampak sempurna.
"Ini kita mau pergi, apa mau main di dalam mobil?" tanyaku kebingungan.
"Kenapa? kamu udah pengen di entot ya?" ia tertawa, "sabar ya sayang" ujarnya lagi.
"Terus ngapain kamu telanjang?" tanyaku memalingkan wajah, mataku tidak bisa dijaga, kalau melihat milik Ibra, pasti mulutku gatal ingin mencaploknya.
"Ganti baju" jawabnya singkat, "kamu juga sekalian ganti."
Aku pikir akan ada sedikit sentuhan, ternyata dia hanya ganti baju, wku masuk ke dalam mobil lalu menutup pintunya, benar juga yang dikatakan Ibra, aku sedikit gerah dengan dasi dan jas yang mengikat tubuhku, aku ikut melepas semua pakaianku, Ibra sudah berganti pakaian memakai baju kaos berwarna hitam dan celana pendek selutut.
"Cepetan, aku merem nih" ujar Ibra di sampingku, dia memang menutup matanya.
"Kayak ama siapa aja, pake tutup mata segala."
"Kamu nafsuin, yang ada makin lama waktunya kalo genjot kamu dulu" ujarnya masih memejamkan mata.
Aku dengan iseng mendekat dan mencium bibirnya, tangannya kutempelkan di dadaku.
"Astaghfirullah Gabriel, kita belum mahram, nikah dulu kalo mau" ujarnya masih dengan mata terpejam.
Bisa-bisanya ia ceramah, lagaknya seperti seorang ustadz, dasar anak Pak Sholeh. Aku mengenakan pakaian yang sama seperti Ibra, aku tersenyum tipis, Ibra bisa tau ukuranku, bajunya pas, celananya juga.
Ibra Melajukan mobilnya, masuk ke dalam jalan tol dan meninggalkan kota Jakarta, melesat menuju barat pulau Jawa. Rinai hujan setitik demi setitik mulai turun dari jingga di atas sana, tidak deras, hanya gerimis, aku sudah tidak lagi bertanya mau kemana, asal bersama pria ini, ke nerakapun tidak masalah karena mata dan hatiku sudah dibutakan oleh cintanya, tubuhku lelah sekali, ingin rasanya tidur sebentar saja, tapi aku tidak enak jika Ibra tidak memiliki teman mengobrol.
"Udah, tidur aja, nanti kalo udah sampe aku bangunin, di dalam dashboard ada bantal kecil, ada selimut, nggak tebel tapi lumayanlah kalo kamu kedinginan" ujar Ibra lembut penuh perhatian.
"AC nya matiin aja kali" aku memberikan usul.
"Ya jangan, aku nggak bisa tanpa AC" ujarnya melarang, "sama seperti nggak bisa tanpa kamu, hehehe" Ibra menambahkan lagi dengan terkekeh menunjukkan gigi-gigi putihnya yang berbaris rata.
"Gombal terus nih anak Pak Sholeh sama Bu Siti" balasku menyebut nama kedua calon mertuaku, aku membuka dashboard mobil dan mengambil bantal yang ia katakan, lalu merobohkan sedikit kursi agar aku bisa merebahkan tubuhku dengan nyaman.
Oh wait, apa barusan aku menyebut orang tua Ibra sebagai calon mertua!?
* * *
Ibra membangunkanku dengan lembut sekali, siapa yang tidak tersentuh jika dibangunkan dengan bisikan serta belaian lembut seperti ini. Ibra mencium pipiku dan berbisik pelan di telingaku untuk membangunkan Aku dari tidurku. Setelah membuka mataku yang terpejam, aku mendapati tangannya ada di pipiku, membuatku ingin mengusel lama di tangannya, tubuhku sudah berselimut, padahal aku yakin aku tidak mengambil selimut itu.
"Ini jam berapa?" tanyaku mengerjapkan mata, lalu menggeliat seperti kucing yang baru bangun dari tidurnya.
"Jam 9 malem" jawabnya lagi.
"Astaghfirullah" aku memekik, "kok kamu nggak bangunin dari tadi" omelku lagi.
"Sekalian syahadat aja, biar besok aku nikahin" jawab Ibra yang malah salah fokus dengan kata pertamaku, "ayo turun, apa mau digendong?"
Aku dan Ibra turun dari mobil, Ibra membawaku ke sebuah hotel, dan plang hotel itu bertuliskan Swissbell hotel dan beralamat di sebuah lokasi di Dago, Bandung. Yang benar saja, jadi selama perjalanan Jakarta - Bandung, Ibra hanya diam sendirian berpusat ke jalan saat melajukan mobilnya, sungguh tidak berperikemanusiaan sekali aku ini, aku masih ingat saat tertidur meninggalkan Jakarta sekitar hampir pukul 6 sore.
Ibra menghampiri resepsionis hotel dan memperlihatkan handphonenya, sepertinya Ibra sudah membooking kamar hotel melalui aplikasi, sehingga tak butuh waktu lama bagi Ibra mendapatkan kunci kamar dengan Mudah.
"Tadaaaa, ini tempat honeymoon kita sayang" ujarnya saat membukakan pintu kamar hotel dengan lebay.
Sama saja dengan kamar-kamar hotel berbintang 5 kebanyakan, tak ada yang beda dari desain modernnya, hanya saja yang membuat pandanganku teralihkan adalah viewnya yang menjorok langsung ke padang rumput dan pepohonan, aku yakin besok pagi pasti indah sekali, malam seperti ini saja sudah indah. Apa tadi mobil Ibra melewati padang rumput itu, aku menyesal tertidur terlalu lelap.
Ada ruang bathtub, ah ... kebetulan ada bathtub, aku jadi membayangkan hal yang iya-iya. Aku menghampiri Ibra yang duduk di pinggir kasur dengan size king bed.
Aku duduk disamping Ibra, lalu tanganku dengan nakal mengusap pahanya, "jadi-- kita ngewski disini nih?" tanyaku Frontal.
Jujur saja dengan suasana menyenangkan seperti ini, aku jadi penasaran ingin mencoba semua penjuru ruangan, apalagi kaca jendela yang langsung menampilkan kolam renang dengan lampu-lampu yang terang.
"Iya, tapi nggak sekarang" Ibra memegang tanganku, "kita jalan-jalan malem dulu" ujarnya mencium punggung tanganku.
"Bosen, udah sering jalan-jalan ke Bandung" ujarku cemberut.
"Aku mau mandi dulu" ujar Ibra mengacuhkanku, ia melangkah menuju kamar mandi, lalu dari pintu kamar mandi Ibra menoleh padaku "kok diem! ayok!"
Aku menatapnya kebingungan, ada apa dengan pria kni, apa maksudnya dengan kata ayok.
"Ayok apaan?" tanyaku kebingungan.
"Ayo mandi bareng!" jawabnya tegas, aku menunduk malu-malu padahal hatiku sangat mau. "Mau nggak?" ia menegaskan.
"Astaghfirullah Ibra, kamu itu bener bener--" ujarku mengelus dada.
"Jadi gimana?" potongnya, membuat lidahku tercekat tak melanjutkan bicara.
"Mauu ... " teriakku menghambur ke pelukannya.
Aku dengan sigap mengalungkan tangan di leher Ibra, matanya menusuk ke kedua bola mataku dengan tangannya yang memegang pinggangku. Ibra langsung memagut bibirku, tak ingin kusia-siakan, Aku membalas pagutannya. Ahhh ... ratusan, ribuan bahkan jutaan kalipun berciuman dengan Ibra, aku tidak akan pernah bosan, aku sangat menyukai setiap ritme bibirnya, tarian lidahnya, gigitan pelannya, dan hisapan demi hisapan lembut bibirnya di bibirku, aku sangat menggilainya.
"Jadi nggak usah kemana-mana?" tanya Ibra lagi memastikan sambil membelai wajah dan memelukku erat di dalam kamar mandi, pantulan bayangan kami terlihat di cermin dinding wastafel.
Aku mengangguk sekali.
"Mau di kamar aja sampe pagi?" ia bertanya lagi.
Aku mengangguk dua kali.
"Mau dientot Mas Ibra ampe pagi disini?" lagi-lagi Ibra bertanya.
Aku mengangguk berkali-kali, dasar Gabriel kegatalan. Ibra tersenyum, jari tangannya mengusap bibirku, aku membuka mulut dan menggigitnya, kembali kami mabuk dalam lumatan bibir yang semakin liar. Aku membuka pakaian Ibra, melempar pakaiannya asal, Ibra juga tidak mau kalah, ia membuka pakaianku dan melemparnya dengan asal-asalan juga.
Tubuh telanjangku digendong Ibra menuju bathtube yang telah terisi air, ternyata airnya hangat, tapi tak sehangat nafasku yang menggebu, nafas yang tak sabar dan memburu, memburu ingin merasakan segera dicumbu. Ibra kembali menciumiku, ia merenggangkan kaki sejajar dengan panjangnya bathtub, tubuh kami terendam sebagian, aku dengan cepat menggoyangkan pantatku mencari kejantanan Ibra, dan ahh ... akhirnya tersentuh oleh belahan di tengah gundukan bokongku.
"Masukin!!" bisikku di telinga Ibra sambil menjilat daun telinganya.
"Dasar binal!" ledeknya membuatku mengerucutkan bibir.
"Biarin, binalnya cuman sama kamu doang" ujarku menjulurkan lidah membalas ledekannya.
Ibra tersenyum lagi, tangannya yang berada di dalam air menggapai batangnya sambil meraba pantatku mencari liang yang bisa ia masuki.
Bleshh
Milik Ibra langsung masuk ke dalam liangku. Ibra menuangkan cairan putih dari botol yang ada di sisi bathtub ke dalam air, tak lama kemudian busa- busa lembut bermunculan, membuat licin seluruh tubuhku yang terendam sebagian. Ibra menggerakkan batangnya naik turun menggenjotku yang ada di pangkuannya, ahh ... nikmatnya tiada dua.
"Udah gampang ya dimasukin, nggak sempit lagi" lirihku, entah kenapa aku takut Ibra sudah tidak puas lagi dengan pantatku.
"Ahh ... mau dower semeterpun, aku bakalan tetap mau lubang ini aja, aku udah nggak mau lubang yang lain" ujar Ibra mendesah.
Pantatku semakin gatal mendengar Ibra mengatakan itu, anusku rasanya semakin kedat-kedut ikut tersipu. Aku jadi bersemangat, kuangkat tubuhku cukup tinggi dan kuhempaskan ke bawah cukup kencang, sehingga air di dalam bathtub tumpah sebagian keluar.
"oh ... wooow" teriaknya, aku merasakan milik Ibra menusuk semakin dalam menembus sampai rektumku.
"Ahh ... Ibra, aku juga cuma mau punya kamu yang nembus lubangku, aku nggak mau punya yang lain" pekikku diiringi desahan-desahan yang memecah di dinding kamar mandi.
Aku sudah tidak perduli, !ku merasa seperti pelacur yang haus akan batang kejantanan, tapi kenyataannya memang begitu, setiap bersama Ibra, darahku berdesir, jantungku berdegup, bibirku minta dicium, anusku gatal ingin digaruk, !ku memang sudah menggilai pria arab yang sedang fokus menggenjot anusku ini, aku tidak ingin kehilangannya.
"Ibra, aku ingin terus seperti ini sama kamu" ujarku pada akhirnya menahan untuk tidak mendesah, setetes air mata keluar dari kelopakku.
"Aghh ... aku juga sayang, aku ... aku mau seperti ini terus sama kamu" jawab Ibra terus menghujamkan batangnya di liangku, namun ia menghentikan kegiatannya, kejantanannya dibiarkan menancap di dalam liangku, ia menyipitkan mata memandangku lekat, "apa ini artinya kita pacaran?"
Aku mengangguk, "aku cinta kamu dari dulu Ibra, dari awal kita ketemu, Alaku semakin cinta kamu, pas pertama kali kamu maksa buat genjot aku, dan semakin sering kamu minta jatah, semakin besar juga cintaku untuk kamu, bahkan aku udah nggak ngijinin batang manapun ngerasain bokongku, sejak kamu pertama kali pengen tahu rasa bokongku. Aku nggak tau apa ke depannya kamu masih punya cinta seperti ini buat aku, tapi yang jelas, saat ini aku mau ngehabisin waktu sama kamu. Aku nggak perduli jika suatu saat kamu ninggalin aku atau aku kehilangan kamu, yang terpenting saat ini, aku mau saat ini terus ada di pelukan kamu, mencium kamu, dan orang yang ngerasain disemprot cairan kamu tiap hari. Aku akan tampung, kamu mau minta tiap jam, tiap hari, tiap waktu, kapanpun kamu mau, karena aku bukan cuma cinta, aku gila, aku tergila gila sama kamu, aku--"
"Cukup sayang" Ibrahim memotong ucapanku, "aku akan berusaha untuk menjadi satu-satunya orang yang akan terus buat kamu bahagia" ujarnya menghapus air mata yang keluar dari kelopakku.
Sialan, aku terlalu banyak bicara tadi.
"Kamu mau ngewek sama aku ampe pagi?" Ibra bertanya sambil mengecup bibirku.
Malu-malu mau tapi aku mengangguk, tentu saja, mana mau aku menolak. Ibra mengangkat tubuhku, ia keluar dari bathtub, membawaku menuju ruangan kaca dengan shower diatasnya. Ibra menyalakan shower dengan air hangat, ia menurunkan tubuhku lalu memepetkanku ke dinding. Aku menunduk malu ditatapnya sangat dekat, tangannya bersandar pada dinding seolah tidak ingin aku kemana-mana, jarinya memegang daguku dan dengan segera memagut bibirku di bawah air shower yang mengucur pelan.
"Emmphh" aku mengerang, tanganku tak tinggal diam, aku memeluk tubuh Ibra, mengusap belikatnya, sehingga jari Ibra yang memegang daguku terhimpit dan terpaksa ia lepaskan.
Ibra mengangkat tubuhku sedikit untuk mensejajarkan tubuh kami, ia merapatkan tubuhnya erat di tubuhku, sehingga batang kejantanannya menghimpit batang kejantananku, dua batang saling bergesekkan. Ah sial, enak sekali saat merasakan denyutan kejantanan Ibra di kejantananku, otot otot uretranya begitu terasa di kejantananku. Seolah mengerti jika aku ingin digesek, Ibra menggesekkan tubuhnya semakin rapat dan erat, sehingga kejantananku yang bertubrukan dengan kejantanan Ibra, ikut tergesek kulitnya yang sudah licin karena air sabun, memberikan sensasi geli-geli nikmat yang menjalar di sekujur tubuhku.
"Aahh ... Ibraku" bisikku mesra ditelinganya.
"Aku Ibrahmu ,Gabrielku" bisiknya tak kalah mesra di telingaku.
Gesekkan tubuh Ibra membuat tubuhku mengejang, meliuk-liuk tak karuan, belum lagi lumatan bibirnya yang lembut dan memabukkan.
"Ibra ... Aku ...ah mau keluar ... aaaahhh" pekikku. Ini gila, hanya dengan menerima gesekkannya aku menyemburkan cairan yang menembak perutnya dan menempel pada tubuh kami berdua.
Ibra tersenyum, ia mematikan shower, bulir-bulir tetesan air shower membentuk titik-titik di tubuhnya yang kekar, membuat Ibra semakin gagah dilihat, beruntungnya aku bisa memiliki pria di depanku ini.
Ibra menunduk, menjilat perutku yang menempel cairan spermaku.
"Ishh ... jangan main jorok" ujarku mencubit pentilnya.
Tapi seolah tidak mau dilarang, Ibra hanya tersenyum, ia mengusap cairanku yang ada di badannya, dengan segera melahapnya juga bersamaan dengan jarinya, aku menatapnya penuh pertanyaan, kenapa dia tidak jijik.
"Kenapa? ini kan punya pacarku sendiri" ujarnya menelan semua cairanku seolah tahu apa yang aku pikirkan.
"Oke kalo mau main jorok, aku juga bisa" jawabku menantang.
Aku berlutut di depan Ibra, kejantanannya yang masih menegang segera kuhisap, ia melenguh kenikmatan, tangannya memegang kepalaku, aku menggerakkan kepalaku maju mundur, menghisap, menjilat dan berganti kocokan.
emphhh slurppp emphhh slurppp
Aku memompa batangnya hingga memutar kepalaku, sssshhh ... kejantanannya membuatku gila.
"Aaghhh ...." desah Ibra beralih memelintir kedua putingnya sendiri secara bersamaan, "kamu belajar dari mana sih?" tanyanya disela kegiatanku melumat batang kejantanannya yang menyentuh tenggorokanku, hingga bulu kemaluannya menggelitik di hidungku.
"Sssshhh" aku melepas hisapanku, "aku kursus sama Pak Wahyu" jawabku asal menyebut supir itu.
Ibra mendelik, "eh apa-apaan" pelototnya tajam membuatku tertawa.
"Ya ... lagian pake nanya belajar darimana, kan bukan sekali dua kali diisep kayak gini" ujarku sambil tetap memberi kocokan pada kejantanannya.
Ibra terkekeh, "abis makin hari, makin lihai, makin enak" ujarnya memuji, pujian yang sangat berarti bagiku, aku menyukai pujiannya.
Kuhisap kedua bola yang menggantung di bawah batangnya, Ibra mengejang, "Ooohhh shit, what the hell" teriaknya menggelinjang, "apa yang kamu lakuin sayang, aagh ..." teriaknya lagi.
"Berisik, kalo nggak suka, aku stop nih!" ancamku mendelik.
"Ohhh aaah ...,jangan doong, terusin, lanjutin" ujarnya
"Ngak ah" tolakku berpura-pura.
"Plis ... lanjutin" ujarnya mengiba membuatku tertawa.
Aku melanjutkan hisapanku di kedua bolanya yang menggantung, bergantian menghisap batangnya, tenggorokanku tersedak beberapa kali karena memaksa batang dan kelerengnya masuk kemulutku bersamaan. Tubuh Ibra kembali menggelinjang, menegang, urat-urat di tangannya bahkan menyemburat, otot-otot pahanya merekat, dan tersemburlah cairan Ibra di dalam mulutku, tumpah ruah bagai air keran bocor, kutelan habis, biarkan dicerna oleh ususku, tak kubiarkan setetespun keluar, rasanya aku ingin dicekoki hingga mati, aku menginginkannya.
"Ouhhh" lolong Ibra mengakhiri semburan cairan yang pelan-pelan habis dari lubang pipisnya, "kamu udah nakal ya sekarang" ujarnya membelai rambutku.
"Udah kan?" tanyaku, "kita draw" tambahku lagi bangkit mensejajarkan diri dengan tubuhnya.
"Hohoho, tidak semudah itu, aku mau ke bagian inti, karena ini rounde kedua, kamu harus siap-siap, ini akan semakin lama dan berpart-part" ujar Ibra mengangkat alisnya yang tebal.
"Lets try" bisikku menggoda