Aimee mendadak kesal ketika pembuat onar lain disebut.
"Kenapa kau harus menyebut namanya sekarang? Kau punya masalah dengannya? Dan kau ingin mencari ribut denganku?" balas Aime sangat ketus.
Tidak pernah mengira pertemuan mereka akan berakhir dengan keributan-keributan tidak berbobot.
Aimee menatap Zack tajam.
"Jangan terus menghalangi jalanku dan menyingkirlah! Aku rasa aku sudah tidak punya urusan apapun lagi denganmu!"
Zack terus memberikan tatapan tidak senang.
Konyol jika memikirkan mereka akan akur setelah bercerai. Tapi, kenapa mereka harus bertingkah seperti anak kecil?!
Zack yakin keributan mereka saat ini tidak pada tempatnya.
Namun Aimee yang tidak bisa membaca arti tatapan Zack dan tidak ingin, berjalan melewati Zack begitu saja.
Sehingga Zack terpaksa menarik lengannya. Sangat kasar dan tanpa aba-aba. Membuat jarak mereka cukup dekat. Hingga Aimee bisa melihat kerutan halus di kening Zack.
Aimee lantas menatap Zack dingin.
"Apa? Apa yang ingin kau lakukan?" tantang Aimee tak mengecilkan sedikitpun nyalinya.
Sehingga Zack menatap mata coklat itu dalam. Berjarak sangat dekat dan kedekatan mereka mengundang kenangan di masa lalu.
Zack tanpa sadar mencengkram lengan Aimee terlalu kuat.
"Lepaskan aku dan menyingkirlah!" ucap Aimee tenang, "Jangan membuatku mengulangnya hingga tiga kali! Jika tidak..."
Memotong dengan cepat dan tepat. Zack mengulas senyum licik.
"Jika tidak apa? Kau akan berteriak seperti seorang wanita yang hampir kecopetan?"
Aimee menegang.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan? Kau bukan ingin mencari masalah denganku, bukan?" sindir Aimee.
Terdiam sejenak dan berpikir. Zack membalas santai.
"Tidak ada gunanya untukku mengusikmu. Tapi, apa kau tidak bisa bersikap lebih sopan lagi padaku?" komplain Zack.
"Kau terus saja bersikap dingin dan tidak bersahabat. Meski tidak ingin, bukankah kau setidaknya harus ramah pada patner bisnis masa depanmu?"
Mengernyit dan tidak suka istilah patner keluar dari mulut Zack tentang hubungan mereka kelak. Aimee menatap Zack sedikit tajam.
"Aku tidak pernah sudih menjadi patnermu. Semua ini terjadi karena terpaksa dan keinginan bodoh Alfin. Aku tidak pernah benar-benar serius ingin berurusan denganmu."
Memahami pernyataan Aimee dengan baik. Zack tidak membantah.
Sebaliknya.
Zack justru bersikap sangat tenang. Meski dia tahu, dia seharusnya tidak menyulut perkara.
"Ya. Tapi aku hanya ingin memintamu menjaga sikap. Terlepas bagaimana masa lalu kita. Aku berharap kau bisa bersikap profesional. Jangan mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan. Kau, mengenal istilah ini dengan sangat baik, bukan?"
Tersindir dan tidak puas menerima teguran. Aimee bersikap acuh.
"Masa bodoh!" seru Aimee perlahan.
Menarik tangan Zack untuk menjauh darinya. Lalu bersikap seperti disentuh sesuatu yang kotor. Aimee mengikuti gaya Zack memperlakukan mantan istrinya saat pertama kali mereka bertemu.
Menepuk-nepuk lengan bekas sentuhan tangan Zack dan bertingkah sombong. Aimee merapikan pakaiannya dengan anggun yang dibuat-buat.
"Aku tidak butuh nasehat darimu. Karena aku yakin, tidak kurang dari satu hari atau minggu? Entahlah. Yang pasti, Tuan Harry Miles akan segera berubah pikiran dan mencabut tugas itu dariku."
Aimee berjalan pergi meninggalkan Zack yang terpaku di tempat.
Melirik Aimee sekilas ketika punggungnya sudah hampir menghilang dari pandangannya.
Tatapan acuh Zack mengiringi kepergiaan Aimee.
Masuk dalam bilik toilet dan melupakan perdebatan mereka tanpa menyia-nyiakan banyak waktu.
Aimee menghubungi Borris lagi. Setelah berhasil kembali ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil.
"Aku minta maaf. Tadi terjadi insiden kecil dan aku terpaksa menutup telepon tanpa pemberitahuan. Kau sekarang ada dimana?" tanya Aimee.
Merasa bersalah dan berjalan menuju ke lobi dengan menggunakan lift.
"Aku berada tepat di depan kantormu. Berdiri sambil menatap papan nama perusahaan tempatmu bekerja dan menatap langit-langit."
Aimee segera berjalan menuju keluar.
Melihat Borris melambaikan tangan ke arahnya dan tersenyum ramah.
Aimee berlari kecil ke arahnya.
***
Sementara di ruangan lain dalam kantor Theo Grup.
Alfin terus berusaha menghilangkan perasaan bete-nya karena gagal menghindari amukan Harry. Sudah akan berjalan keluar pintu kantor. Namun Aimee melarangnya bak superhiro.
Mencegahnya keluar dan menggunakan berbagai alasan dan juga cara agar Alfin tidak sampai lolos.
Sikap sok ikut campur Aimee membuat Alfin terpaksa mendekam di ruang kerja Harry. Duduk dengan perasaan tidak nyaman dan menunggu pembicaraan mereka berakhir. Padahal belum ada pembicaraan apapun yang dimulai.
Alfin akhirnya tidak tahan.
"Bisakah kau mengatakan sesuatu dan tidak mendiamkanku seperti batu?" protes Alfin kewalahan.
"Aku tahu kau saat ini sedang sangat kesal dan marah atau kecewa padaku. Tapi dengan mengacuhkan aku seperti ini, padahal kau yang memanggilku kemari! Perlukah aku keluar dan kembali ke ruanganku?" tambahnya.
Akan lebih senang bila tidak mendapat teguran dan kekesalan. Alfin ragu, Harry akan melepaskannya begitu saja kali ini.
Duduk saling berhadapan dan atmosfer dingin sudah menjalar ke seluruh ruangan.
Oke. Fix! Lain kali jika aku ingin ke ruangan kutub ini. Aku harus mengenakan pakaian tebal berlapis-lapis agar tidak kedinginan.
Suara berat Harry membuyarkan lamunan Alfin.
"Kau melalaikan tugasmu dan melimpahkan tugas penting dariku pada sekretarismu. Kau, ingin bertindak sebagai dewa?"
Bertanya langsung ke inti dan tidak membiarkan Alfin merasa nyaman. Alfin menelan ludah. Menatap mata kelam itu dengan tenang dan tidak terlihat terlalu terintimidasi.
"Aku hanya memberinya kesempatan," balas Alfin lemah.
"Ketika saat ini, sebenarnya akulah yang sedang memberikanmu kesempatan?" balas Harry sarkas.
Mendesah dan merasa alibi Alfin tidak kuat. Harry melihat Alfin terkekeh ringan.
"Tapi, bagaimana menurutmu presentasinya hari ini? Bukankah sangat baik dan seperti memberikan kita banyak harapan?" pancing Alfin.
Berdecak dan seakan hendak memukul. Harry berucap kesal.
"Kau sebut itu sebagai hal baik dan bisa memberikan harapan?"
Alfin mencibir.
"Aku hanya sedang berusaha mencari peluang."
Harry mencibir.
***