"Kau nakal! Harus berapa kali kau buat wanita itu mengerjakan pekerjaanmu terus? Apalagi, proyek ini diberikan Harry langsung padamu. Tapi kau seenaknya menyuruh Aimee yang mengerjakannya?" komplain Isabella.
Sudah pernah bertemu dengan Aimee beberapa kali ketika Isabella mencari Alfin. Isabella tahu Aimee adalah sekretaris yang telaten. Selalu bekerja dengan serius dan sering dimanfaatkan oleh atasannya.
Isabella menatap Alfin penuh ejekan. Mengundang tatapan heran dan tidak setuju Alfin.
"Kenapa? Bukankah kau seharusnya senang, aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk lebih lama bersama denganmu?"
Tersenyum masam dan mengangguk setuju. Isabella membenarkan.
"Ya. Kau benar. Tapi aku hanya takut, kau mendapatkan karma!"
Isabella melepaskan diri dari pelukan Alfin. Mengambil pakaian lengkapnya lalu mengenakannya tanpa mencari tempat yang lebih tepat. Wajah Alfin mengkerut.
"Ada apa? Malam ini kau tidak akan menginap?" tanya Alfin yang heran melihat Isabella sudah bersiap-siap pergi.
Menggeleng dan merapikan make-up ketika selesai berpakaian. Isabella menjawab Alfin segera.
"Tidak. Aku harus pulang ke apartemenku malam ini. Harus bangun pagi-pagi sekali, besok. Karena ayah ingin mempertemukan aku dengan seseorang. Dia juga menyarankan aku untuk jangan datang terlambat."
Alfin putuskan untuk menyerah.
"Baiklah. Kalau begitu akan mengantarmu."
Isabella menggeleng lagi.
"Tidak usah. Istirahat saja dan pikirkan bagaimana kau akan menghabiskan waktu kosongmu denganku nanti."
Mengambil tas dan beberapa barang miliknya. Isabella tidak lupa mengambil kunci mobil dan outer-nya.
Mengecup lembut kedua pipi Alfin.
"Bye bye, Honey. Dan sampai jumpa di lain kesempatan!"
Alfin lalu mengantar kepergiaan Isabella dengan perasaan kecewa. Duduk diam menatap ke luar jendela setelah meneguk habis wine-nya.
Menikmati pemandangan malam sendirian dengan tenang, mungkin tidak seburuk yang dia bayangkan.
Namun, sebuah telepon menganggunya tiba-tiba.
Melihat nama siapa yang tertera di layar ponsel. Alfin agaknya membesarkan bola mata karena terkejut.
Panggilan telepon itu ternyata berasal dari sekretarisnya, Aimee. Mengerutkan kening cukup dalam dan heran. Alfin masih belum menjawab panggilan Aimee.
"Apa yang tikus kecil ini lakukan dengan menghubungi bosnya malam-malam?"
Terus menatap layar ponselnya dengan kebingungan yang terus bertambah, bukan berkurang. Alfin mendumel lagi.
"Dia bukan sedang ingin meminta kenaikan gaji bukan?" protes Alfin karena urusan gaji bukan menjadi bagiannya meski jabatan Alfin tinggi dan Aimee berada tepat di bahwa naungannya.
"Atau, dia ingin menggantikan Isabella bersama denganku malam ini karena dia tahu Isabella meninggalkanku dengan kejam?"
Alfin mengambil ponselnya dengan malas lalu menekan tombol jawab.
"What's wrong? Kau belum tidur juga dan menggangguku malam-malam?"
Jam dinding sudah menunjuk pukul 11 malam. Dan tidak biasanya, Aimee begitu gatal menghubunginya malam-malam. Padahal selama ini, jika Alfin mengganggu Aimee di luar jam kerja. Aimee tidak akan pernah mengangkatnya.
Atau terkadang mendumel tidak karuan dan tanpa henti.
Namun, hari ini nampaknya berbeda.
Sapaan Alfin tidak langsung Aimee jawab.
Hanya keheningan yang Alfin dengar dari seberang telepon. Dan hal itu membuat Alfin memanggil Aimee sekali lagi.
"Aimee? Kau masih di sana? Atau sedang memimpikan aku? Bergerak dalam tidurmu dan tidak sengaja menekan nomor teleponku ketika kau mungkin tidak sadar siapa yang kau hubungi?" cadaan itu tidak membuat suara tawa Alfin dengar.
Melainkan suara serak dan pelan terdengar dari seberang telepon. Seperti meracau dan setengah sadar. Aimee akhirnya menjawab Alfin.
"Aku tidak ingin terlibat dalam proyek itu." ucap Aimee sangat pelan. Alfin menajamkan pendengarannya.
"Apa? Apa yang baru saja kau katakan?" tanya Alfin tidak bisa mendengar jelas.
Aimee mengulangnya.
"Aku bilang aku tidak ingin ikut terlibat dalam proyekmu!" ulang Aimee lebih keras.
Namun perkataannya tidak membuat Alfin bisa mengerti maksudnya.
"Apa alasannya?" tanya Alfin sambil bersandar.
"Kau tidak ingin bekerja denganku lagi?" tambah Alfin. Terdengar mengancam. Tapi itulah gaya bicara Alfin.
Aimee menggeleng dan merengut. Tahu Alfin tidak bisa melihat kesedihan dan kegelisahannya, Aimee membalas.
"Tidak. Bukan seperti itu," ungkap Aimee.
"Aku hanya benar-benar tidak ingin terlibat dalam proyek. Tidak ingin bertemu dengannya dan tidak berurusan dengannya!"
Alfin semakin tidak paham.
"Aimee," panggil Alfin.
"Bisa kau jelaskan, apa yang sebenarnya kau maksudkan? Kenapa aku tidak paham satupun perkataanmu?"
Berpikir lebih keras, Alfin seperti mendapat sebuah firasat.
"Kau mabuk?" tanya Alfin.
"Karena moodmu tiba-tiba jelek. Kau mabuk??"
Bertanya dengan sangat heran dan tidak mengerti. Alfin merenung sejenak.
Sejak kapan Aimee suka minum-minum?
Memejamkan mata sejenak dan menghela napas. Alfin mulai mencoba memahami situasi Aimee.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi, darimana kau mendapat minuman keras? Kau mencurinya?" tuduh Alfin seenaknya.
Tahu dan sadar, dirinya sering bicara omong kosong dan kata-kata tidak berguna.
Suara Aimee membuyarkan tuduhan Alfin.
"Umurku sudah 30. Dan kau terkejut aku mabuk?" tanya Aimee yang tidak paham dimana letak permasalahannya jika dia mabuk. Karena saat ini, Aimee memang sudah sangat dipengaruhi oleh alkohol.
Hanya sekedar iseng melihat mini market untuk mencari udara segar. Mata coklat Aimee tertarik untuk mengeluarkan beberapa kaleng minuman beralkohol dari dalam rak pendingin.
Seumur-umur belum pernah mencicipinya. Tapi tidak pernah penasaran.
Hari ini, karena segala kekesalan dan kekecewaan yang terus dia pendam. Aimee akhirnya gelap mata.
Membeli 5 kaleng minuman sekaligus. Padahal dia selalu memperhitungkan harga.
Belum menghabiskan satu kaleng. Aimee sudah merasa tubuhnya melayang dan pandangannya buram?
"Aimee... ada dimana kamu? Kau pergi minum-minum dengan temanmu?"
***