Aku duduk di kursi yang letaknya ada di pojok guild bersama dengan Lucia yang juga sedang duduk di sebelahku.
"Apa yang kau ingin aku untuk lakukan pagi-pagi begini...?"
"Sudahlah, tunggu saja. Kau sudah setuju sebelumnya untuk memenuhi keinginanku, bukan?"
"Yah, itu benar, sih..."
Lucia memasang ekspresi cemberut dan mengalihkan pandangannya ke jendela yang ada di sebelahnya.
Itu benar, ada sesuatu yang perlu kulakukan. Ini bukan untuk diriku, melainkan hanya untuk memenuhi keinginan egois-ku saja.
Aku sebenarnya juga merasa penasaran akan apa yang bisa saja terjadi jika mereka bertemu.
Apakah itu akan menjadi pengaruh yang baik? Atau mungkin kebalikannya? Entahlah. Yang pasti, aku yakin itu akan menarik untuk dilihat.
Meskipun aku sebenarnya juga tahu kalau aku tidak memiliki hak untuk ikut campur, namun, kurasa mereka membutuhkan sedikit dorongan.
Ini juga masih sangat pagi.
Kurasa belum ada seorang pun kecuali para staf yang sudah datang ke sini.
Masih dengan wajah cemberutnya, Lucia meletakkan dagunya ke telapak tangannya untuk bersantai.
"Apa masih belum datang...?"
Aku bergumam.
Tepat saat aku sedang memikirkannya, dapat terdengar suara dari balik pintu masuk guild.
Aku dan Lucia langsung menyadari dan dengan spontan melihat ke asal suara tersebut.
Saat pintu itu dibuka, seseorang dengan mata yang sedang ditutupi oleh kain sedang dituntun oleh Rord.
Itu benar, sosok tersebut adalah Senya.
"Apa yang mau kita lakukan, Rord?"
"He-He, kamu juga akan tahu sebentar lagi."
"Oh, apa ini adalah sebuah kejutan? Kamu bikin penasaran saja, sih..."
Senya membalasnya dengan senyuman, seperti biasa.
Tapi...
Mengapa kedua tangan Senya sampai diborgol, begitu...?
Aku tidak ingat dia pernah jadi tahanan...
Reaksiku saat melihat mereka masuk ke dalam guild bisa dibilang biasa-biasa saja, aku tidak terlalu terkejut.
Namun, lain ceritanya dengan Lucia.
Di wajahnya, ia terlihat sangat terkejut seperti sehabis melihat pedang Excalibur yang melegenda itu.
Itu benar, dia sedang merasa panik.
Ketika dia hendak beranjak dari duduknya...
"Jangan lari."
Mendengar perkataanku, Lucia terlihat seperti menyadari sesuatu dan segera kembali ke kursinya.
Rord menuntun Senya ke tempat kami.
Kini, mereka saling berhadap-hadapan, Lucia dan Senya.
"Bagaimana, Senya? Apa kamu terkejut?"
"Eh...? 'Bagaimana' maksudmu? Aku kan tidak bisa melihat karena mataku sedang ditutup, Rord."
"Ah, iya, kau benar. Nah, sekarang bukalah penutup matamu itu, Senya."
"Ta-Tapi, kan tanganku sedang kamu borgol."
"Ah, benar juga. Tunggu sebentar, aku akan membuka-kannya untukmu."
Si bodoh itu... dan juga, dapat dari mana dia borgol itu?
Rord lalu melepaskan kain yang menutupi mata Senya.
Aku kembali melihat ke arah Lucia.
Dia melirik Senya berulang-ulang kali dengan wajah panik. Seolah-olah dia merasa bersalah akan sesuatu dan tidak ingin menemuinya.
Yah, itu mungkin saja bisa terjadi.
Lucia dan Senya saling bertatap-tatapan, meskipun Lucia terkadang mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Sekarang, tinggal meninggalkan mereka berdua di sini dan mengamati dari jauh.
Kurasa mereka juga butuh sedikit waktu untuk dapat menyadarinya.
"Aku mau pergi pesan teh dulu."
Aku beranjak dari dudukku dan pergi ke tempat Barten yang seperti biasa sedang duduk di kursi resepsionis.
"O--Oi, tunggu! Bukankah kau bisa memesannya dari sini?"
Akan buruk jadinya jika aku tetap di sana. Itu bisa menganggu waktu tersendiri untuk hubungan mereka.
Aku memberi sinyal pada Rord untuk juga ikut pergi ke tempatku.
Setelah Rord pergi dari sana, suasananya semakin hening.
Lucia hanya bisa melirik seseorang yang ada di hadapannya sekali-sekali.
Awalnya kupikir ini tidak akan berhasil, namun, untungnya Senya-lah yang mulai berbicara lebih dulu.
"Lucia...? Apakah itu kamu, Lucia?"
Lucia mungkin merasa sangat gugup sampai-sampai ia tidak bisa membalas perkataannya.
Ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke bawah untuk menahan emosinya.
"Ini benar kamu kan, Lucia! Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu!"
Senya langsung pergi ke sebelahnya dan menggenggam kedua tangannya dengan erat.
Di wajahnya, Senya nampak merasa senang karena itu merupakan pertemuan yang sudah lama ia tunggu.
"Mengapa dulu kamu pergi dari akademi? Kamu sama sekali tidak memberitahuku dan menghilang begitu saja. Aku merasa cemas. Aku pikir kamu membenciku."
Lucia perlahan demi perlahan mencoba untuk berbicara.
"A--Aku--"
Namun, tepat sebelum ia ingin berbicara...
"Dulu sekali, saat baru masuk ke akademi, aku melihat dirimu yang selalu santai-santai saat pelajaran. Meskipun begitu, seluruh prestasimu sangat sempurna, melebihi semua orang yang ada di sana. Tidak baik untuk mengatakannya, tapi, harus kuakui jika aku merasa iri denganmu yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Aku pikir itu adalah bakat. Namun... ternyata aku salah. Suatu hari, saat aku berangkat terlalu pagi, aku dapat melihat dirimu yang sudah tiba lebih dulu, sedang memulai latihan lebih dahulu daripada yang lainnya. Di kelas, kamu selalu terkesan menyenangkan, aku pikir jika bersama denganmu akan membuat kehidupanku menjadi lebih baik. Karena alasan yang sepele seperti itu, jujur saja, aku merasa tidak pantas untuk berteman denganmu. Tapi, aku yakin jika kita bisa akrab karena memiliki beberapa kesamaan yang 'berbeda'. Karena dirimu, Lucia, aku mulai berlatih lebih dari yang dulu. Memulai semuanya sebelum itu dimulai. Yah, singkatnya, aku ingin jadi seperti diri-mu. Tidak, aku ingin menjadi sosok yang melebihi diri-mu."
"Ba--Ba... Bagaimana bisa aku mengatakan sesuatu setelah kamu mengatakan semuanya..."
Lucia mengeluarkan air mata seperti seorang anak kecil yang sedang menangis di hadapan orang tuanya karena baru saja terjatuh dan melukai kakinya.
Aku tidak tahu itu dikarenakan ia merasa bahagia atau sedih.
Namun... yah, kurasa dia bahagia.
Mereka berbeda, namun, sama.
Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu paham mengenai hal itu.
Namun, kurasa apa yang dikatakan oleh Senya ada benarnya juga.
Hal yang terjadi di antara mereka, aku sama sekali tidak mengetahuinya. Namun, kurasa itu bisa diceritakan pada lain waktu.
"Aku minta maaf, aku minta maaf karena telah pergi tanpa memberitahumu sama sekali. Aku tahu diriku egois karena tidak memedulikan hal sekitar, tapi, bahkan sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya sedang kulakukan. Seolah-olah aku bertindak tanpa berpikir, namun, dalam artian yang tidak baik."
Lucia kini menatap mata Senya secara langsung, tidak menghindari tatapan itu seperti sebelum-sebelumnya.
Senya meresponnya dengan senyuman. Tidak seperti senyuman yang sering kali kulihat pada wajahnya, entah mengapa yang satu ini terlihat berbeda.
"Kalau begitu, teman?"
"Ya, kita masih teman."
Mereka mengaitkan jari kelingkingnya seolah-olah seperti sedang mengikrarkan sebuah janji.
Apa dengan begini masalah di antara mereka sudah diselesaikan...?
Yah, jujur saja aku bahkan tidak tahu sedari awal mereka ini memang memiliki masalah atau tidak.
Aku bahkan tidak memahami apa yang baru saja terjadi. Semua itu terjadi begitu saja.
Tapi...
Sesuatu terlintas pada pikiranku. Situasi yang mengharukan seperti ini mungkin membutuhkan sebuah dorongan yang energik.
"Syukurlah kalian sudah bertemu kembali, ya."
Aku datang menemui mereka sembari membawa empat gelas teh untuk diminum.
"Ya, dan itu semua adalah berkatmu yang sudah mempertemukan kami. Terima kasih, ya, Lort."
"Tidak, tidak, Senya, aku hanya sebagai perantara saja kok."
Yah, meskipun sebenarnya aku merasa agak senang karena telah diakui seperti ini.
"Oi, oi, apakah aku tidak dianggap?"
"Iya, iya, kamu juga kok, Rord. Terima kasih, ya."
"I--Itu bukan apa-apa, kok."
Senya membelai kepala Rord tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena dia sedang ingin melakukannya saja.
Aku jadi iri dengannya yang bisa melakukan apapun sesuai dengan kehendak hatinya...
Meskipun dia bilang begitu, tapi, aku yakin jika dia sebenarnya menyukainya saat dibelai seperti itu.
Sial. Membuatku iri saja...
"Tetapi... aku terkejut. Aku tidak menyangka jika kamu ternyata kenal dengan Lort, Lucia. Bagaimana kalian bisa bertemu?"
"Ya--Yah... ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain kali... tapi..."
Lucia beranjak dari duduknya dan mengacungkan jari telunjuknya kepadaku.
"Kalau begitu, Lort! Besok, kita akan mengambil quest yang sulit! Kau dengar itu?"
"Eh? Besok? Mengambil quest? Apa yang kau maksudkan?"
"Apa kau sudah lupa? Bukankah kau sendiri yang telah mengajakku untuk bergabung ke dalam kelompokmu?"
Eh? Apa aku pernah bilang begitu...?
Tidak... kalau tidak salah saat sedang di hutan--
Memang benar aku telah mengajaknya...
Padahal aku hanya berniat untuk membantu Senya saja, tetapi... aku tidak menyangka jika dia akan mengingatnya...
"Ka--Kalau begitu, mohon bantuannya untuk ke depannya, ya, Lort!"
"O--Ooh, tentu saja..."
"He-He. Lort dan Lucia... kalian terlihat akrab, ya."
Senya tertawa kecil dengan niat tersembunyi.
"Si--Si--Si--Siapa juga memangnya yang akrab dengan sang penculik anak kecil ini?!"
"..."
Mengapa kau malah terlihat panik begitu, sih, Sister?
"Hey, hey, apa aku boleh bergabung dengan kalian? Tidak enak sekali rasanya berada di pojokan dan hanya diam melihati kalian saja."
Barten... sejak kapan dia kemari...?
"Oh! Boleh saja! Lagi pula, ini kan adalah pembicaraan yang teruntuk untuk para gadis-gadis!"
"Pembicaraan gadis-gadis...? Apa itu artinya aku tidak boleh ikut, nih?"
"Kalau itu kamu, akan beda lagi ceritanya, Lort."
"Apa aku boleh tahu apa maksud sebenarnya dari kalimat itu, Mbak Senya?"
Barten, Lucia, Rord, Senya, dan aku tertawa setelahnya.
Sepertinya kalimat yang diucapkan oleh Senya barusan adalah sebuah candaan yang hanya bisa dipahami oleh mereka, gadis-gadis.
"Kalau begitu, waktunya pesta! Semuanya! Lort-lah yang akan traktir!"
Rord naik ke atas meja dan meneriakkannya sehingga orang-orang serta para petualang lainnya yang baru saja datang dapat mendengarnya.
Sejak kapan aku pernah bilang begitu...?
Yah, kurasa tidak apa-apa untuk hari ini... lagi pula, kurasa ini bisa disebut sebagai sebuah perayaan.
***
Aku pergi ke toilet umum yang ada di guild untuk membersihkan wajahku.
"Haah... segarnya..."
Pada saat pertama kalinya aku tiba di dunia ini, aku sempat mengkhawatirkan satu hal.
Itu benar, toilet.
Kupikir aku akan menghadapi masalah besar saat menggunakan toilet yang ada di dunia ini karena kupikirnya toilet pada abad pertengahan itu sangat berbeda dari yang kutahu.
Namun, yang membuatku kembali percaya diri adalah... tampaknya dunia ini sudah memiliki yang namanya 'Toilet Duduk'.
Aku sempat kebingungan akan bagaimana cara mereka memproduksinya karena ini masihlah abad pertengahan.
Yah, tapi ini merupakan suatu hal yang baik bagiku.
Aku jadi tidak perlu repot-repot saat ingin buang air kecil.
Dunia ini memakai abad pertengahan sebagai setting nya, tapi entah mengapa toilet duduk sudah ditemukan pada masa ini.
"--kau baik sekali, ya. Sampai-sampai sempat untuk memikirkan sesuatu seperti mempertemukan dua teman lama meskipun kau sebenarnya sedang memiliki urusan yang sangat penting."
"Barten? Seperti biasa, kau selalu mengetahui apa yang sedang kupikirkan, ya..."
"Ya, begitulah. Soalnya, intuisiku tajam, sih."
Aku membersihkan wajahku yang basah dengan kain lap yang kubawa.
"Karena kau pergi menemuiku seperti ini, aku yakin kau punya sesuatu untuk dibicarakan. Jadi, apa itu?"
"Sudah seperti diriku saja, kau ini ternyata juga memiliki intuisi yang tajam, ya..."
"Sudahlah, cepat katakan apa urusanmu."
Barten menimpa senyuman yang biasanya ia tunjukkan dengan ekspresi serius di wajahnya setelah itu.
Dia diam sebentar dan berjalan mendekatiku.
Membuat kami kini saling berhadap-hadapan.
Barten menyentuh dadaku dengan jarinya dan berkata:
"Kapan kau akan mentraktirku? Bukankah kau sudah pernah berjanji? Apa kau sudah melupakannya?"
"..."
Kupikir dia ingin membahas apa sampai-sampai berani untuk menemui seorang pria di toilet seperti ini...